Barusan marak
di media tentang Raeni, gadis pintar lulusan terbaik Unes Semarang. Anak
seorang tukang becak yang beruntung mendapat beasiswa Bidik Misi dan berhasil
dengan sangat baik.
Setiap awal
tahun ajaran, saya selalu ngenes
menyaksikan tidak semua anak bisa melanjutkan sekolah. Ah ternyata memang
inilah kenyataan negeri yang katanya menerapkan wajib belajar 9 tahun. Pada kenyataannya
masih banyak anak yang belum beruntung mengenyam bangku pendidikan.
Puisi ini
tadinya saya ikutkan salah satu lomba yang kemudian saya tidak tahu
kelanjutannya. Apakah memang ada yang menang atau tidak. Kemungkinan saya
memang tidak menang lantaran tidak dihubungi oleh panitia.
Namun karena
ini adalah ungkapan jiwa dan keprihatinan, tetap saja saya muat di blog.
Silahkan
menikmati apapun rasanya.
Mimpi Sekolah Anak Pengais Sampah
Ada anak bertanya pada bapaknya
“ Buat apa kita tinggal di sini bapak?
Padahal hidup kita menderita?”
Sang bapak menatap nanar anaknya, lalu
membuang mata ke sungai keruh didepan mereka
“Mimpi ibu kota anakku...” desisnya
pilu
Si anak tujuh tahun tak juga mengerti.
Kata-kata sarat arti dari lelaki kurus
legam yang ia panggil bapak
“Bukankah kita punya tempat di desa,
yang konon damai sejahtera?
.... aku ingin bersekolah bapak,
bukan saja mendorong gerobak sampah”
Tanya lirih sang anak melimpah ruah
Bapak itu menelan ludah
Menyesali masa yang hilang
Ia terlanjur menjual sawah warisan
Untuk bekal merantau ke ke ibukota
Kata orang ibu kota tempat uang
Tempat gemerlap dan kesuksesan
Ia nekat pindah
Mengais nafkah tanpa pendidikan berarti
Tertolak di sana-sini
Hidup mengontrak rumah petak
di tepi sungai berteman banjir musiman
Hingga nyawa merenggut istrinya
Karena tak mampu membayar rumah sakit
Konon ada kartu Jakarta sehat
Tapi ia tak memilikinya
Karena ia penduduk haram ibukota
Tak dikenali entah siapa
Di atas jembatan, melintas anak-anak
berseragam merah putih
Dengan ransel di pundak
Riang benyanyi lagu Indonesia Tanah Air
Beta
“Aku ingin sekolah bapak...”
Si anak berbisik lirih
Dan si bapak kembali menelan ludah
Mengelus rambut anaknya yang memerah
Dari sudut matanya mencurah
Gundah
Sekeruh sungai di bawah
Langit memburam kelam
Dan awan meluruh
Menjadi bah
“ Banjir...banjir...”
Bapak dan anak bergegas
Kaki-kaki tak beralas
Menuju gubuk petak memelas
Mengais sisa baju dan perkakas
Gelombang air berjibun
Menyeret tiada ampun
Bapak dan anak saling teriak
“Bapaaak...!”
“ Naak...”
Dua tangan saling gapai
Berlomba dengan keruh menderas
Pekik dan air mata kini tak berarti
Tertimbun lumpur, sampah dan kepanikan
Esok hari orang ramai temukan jasad
anak dan bapak
Yang tak mereka tahu entah siapa
Jasad tak bernama
Tak dikenali
Berlabuh di kamar mayat
Berbulan kemudian,
Mimpi
sekolah si anak pengais sampah
Berakhir di ruang pratikum bedah
Mahasiswa kedokteran
Mimpi sekolah si anak pengais sampah
Maujud dalam sumbangannya
Mencerdaskan para calon dokter
Semoga kelak, para mahasiswa
mengenangnya
Derita jasad bapak anak yang entah
siapa
Mayat yang hancur tak bersisa
Oleh gunting pisau pinset
Bahan pratikum mereka
Yang tinggal potongan tulang belulang
dan daging
Tak berbentuk lagi manusia
Mimpi sekolah di anak pengais sampah
Terkubur bersama ratusan potongan jasad
tak dikenali
Tak diakui
Oleh siapapun
Namun sangat berarti
Bagi terdidiknya para dokter
Inilah ironi negeri ini
Derita seseorang
Menjadi berkah bagi yang lain.
Jogjakarta, 8 Februari 2014
:(
ReplyDeletemakasih ekspresinya mak,
Deletemiris memang melihat kenyataan pendidikan di tanah air. Bahkan capres belum menyentuh esensi pendidikan dengan konsep yang brilian. Sistem calo dan biaya yang tinggi, juga ketidakjelasan arah kurikulum membuat anak2 semakin kacau. Semoga ada setitik harapan ya Mbak...aamiin
ReplyDeleteiya makasih udah berkunjung
Deletependidikan di indonesia gak merata. Kasian orang2 gak mampu.
ReplyDeleteiya betul bingits mak
Deletehiks..sedih mak:(
ReplyDeletetetanggaku juga ada mak.
Deletekemarin aku juga lihat si Raeni di Hitam Putih
ReplyDeletememang Indonesia ini masih belum bisa makmur, tapi bukan berarti harus putus asa
kadang juga sedih lihat nasib perantau2 di Jakarta
iya betul...lingkaran suh waktu untuk menguraietan benang kusut yang but
Deletesedih sekali bu, ayo pastikan orang disekitar kita bisa mengenyam pendidikan dengan upaya apapun.
ReplyDeletebetul banget...tanggung jawab sosial juga bukan hanya negara
Delete