Cintaku |
Setelah long week end tanpa Revo, terkadang ada
insiden dimana Revo mogok sekolah
“Kangen Umi...aku sayang Umi...” pelukan erat dan alasan maut yang kadang membuatku
luluh, gantian memeluk dan menciumnya. Saya pun tak tega untuk menolak
permintaannya ‘sekolah di rumah’ pada hari Selasa. Itu yang terjadi
kemarin-kemarin.
Kali ini
saya coba pendekatan lain.
Ahad malam
saya sudah menelpon dari Manokwari memotivasi untuk sekolah pada hari Senin.
“ Halo
poo...”
“Halo Mi...”
“Umi kangen
nih peluk sini muach...muach...Umi gelitikin...”
“Ha..ha...ha...Umi
ngapain....!” teriaknya kegirangan dari seberang.
“Umi kangen
Po...Po kangen Umi kah?”
“Kangeennn....ha..ha...ha”
ia masih tergelak-gelak.
“Besok
sekolah ya....kan Po hebat dan keren...”
“Enggak
mau...kan enggak ada Umi....Umi pergi aku enggak diajak” tawanya terhenti.
“Wee..entar
kalau Revo rajin sekolah, hari Jumat umi ajak pergi naik kereta api nengok mas
Amar...” Mas Amar itu kakak ke 3 yang kuliah di Malang. Revo sangat sayang pada
kakaknya.
“Aku mau
sekolah kalau naik kereta apinya langsung hari Selasa...enggak hari Jumat...!”
Waduuh harus
putar otak cepat nih sebelum melantur...
“Po yang
penting Senin sekolah. Nanti malamnya Umi pulang, kita bicarain kapan ke
Malangnya...”
“Pokoknya
harus langsung hari Selasa...”
Waah
negosiasinya alot juga.
“Okee...Selasa
Umi cari tiket ya....ntar kalau enggak dapat sedapatnya ya....”
“Ya...”
katanya surut.
“Oke
deal...?”
“Deal....!”
“Besok
bangun pagi, nurut sama kak Ja...sekolah ya...Umi peluk sini muach...muach....”
Dari seberang
terdengar tawanya diiringi teriakan sudah...sudah...
Senin malam
jam 8 saya tiba di rumah. Di gang dekat rumah berpapasan dengan si nomer 2 yang
akan berangkat ke Bandung. Kami berhenti dulu untuk menyapa Dija. Anak gadisku
ini mudik Jumat- Senin hanya demi menemani Revo agar tidak kesepian dan mengisi
harinya dengan benar.
Saya
melongok ke mobil menyapa putriku dan ternyata Revo ikut mengantar ke stasiun.
“Po ikut Umi
pulang atau antar kak Ja...?”
“Aku mau ke
stasiun....Umi kangen ya sama aku...?”tanyanya sambil senyum-senyum.
“Iya dong...sampai
ketemu nanti” kami berpelukan dan dadah-dadah.
Pulang dari
stasiun, Revo sudah terlelap. Saya menggendongnya ke kamar, dan ia sedikit
terbangun lalu tidur lagi.
Selasa pagi
kurancang sebaik-baiknya. Aktivitas masak sarapan kuselesaikan jam 05.30. Setelahnya
saya berusaha membangunkan Revo.
Saya
memeluk-meluk, memijit dan membisikkan berbagai kata cinta. Revo terbangun
dengan senyum manis.
“Pilihannya,
pipis wudhu sholat, apa makan dulu, apa mandi dulu, apa....?” saya membuat
penawaran. Revo duduk tegak dengan wajah cerah.
“Kita kan
mau naik kereta api ke Malang...!”
Hadeuh...pagi-pagi
sudah ingat dengan perjanjian. Jadi ibu enggak boleh bohong, maka saya
tersenyum senang.
“Hore...Umi
juga senang kalau sekarang menengok mas Amar...tapi...”
“Kenapa
Mi...?”
“Abi belum
dapat tiket...kan tidak bisa mendadak...jadi nanti Abi cari tiket ya...sekarang
Revo sekolah ...kalau nanti dapat jadwalnya Jumat, tidak apa-apa kan...? Yang penting kita pergi bareng-bareng...horee...!”
Kalimat terakhir
kulagukan dengan seceria mungkin untuk menjadi penekanan...dan mempan! Alhamdulillah.
“Hore...hore...”
kata Revo terpengaruh. Kami berpelukan dengan gembira.
“ Hari ini Umi mau sekolah sama Revo...” kataku.
“Umi mau
ngantar sama nungguin? Sampai selesai?”
“Enggak
sampai selesai, sampai Revo bilang Umi pulang saja...” kataku.
“Aku maunya
renangnya ditungguin...” waah negosiasi baru.
“Umi jemput
saja ya...Umi jemput di kolam renang...trus kita beli makanan enaak...” Revo
sepakat. Alhamdulillah.
Revo sarapan
tanpa rewel, mandi dan sholat shubuh
kesiangan juga nurut saja.
Saat sarapan,
setiap suap saya memeluk dan menciumnya. Wajahnya nampak bahagia.
Demikian
pula setelah mandi, pakai baju, berangkat sekolah, saya banyak mengelus dan
memeluknya. Dasarnya memang kangen sama bungsuku.
Sampai di
halaman sekolah:
“Umi pulang
saja...aku enggak mau ditungguin...!” katanya sambil menjauh dariku.
“Umi cuma mau ngumpulin ini ke ustadzah...”saya
mengacungkan dua map work sheet yang
seharusnya dikumpulkan pada hari Senin, tapi ia lupa mengeluarkan dari tas.
“ Mana aku
saja yang ngumpulin...dadah Mi...” Revo memintanya dan bergegas lari menuju
kelas.
Alhamdulillah,
saya memandanginya dengan gembira. Ia telah berbaur bersama teman-teman dan tak
lagi menginginkan saya menunggui.
Saya berlalu
diam-diam setelah bersalaman dengan ustadzah dan sempat mengintip aktivitasnya
di dalam kelas. Revo bersama kelompoknya tengah membaca Ummi jilid 3 dengan penuh semangat.
Setitik air
bening menetes di sudut mataku. Alhamdulillah ya Allah....kutitipkan putraku
padaMu. Perjuangan masih panjang.....
Udah ah
curhatnya...ini saatnya menjemput ke kolam renang.
curhatnya keren Mak Ida... kelembutan hatimu sudah pernah kurasakan dulu saat di Jakarta mak, lup yu puuuulllll :*
ReplyDeletesayang sekali aku belum pernah dekat secara langsung sama mbak ida ya cuma ada dalam satu ruangan yang sama aja :)
Deletewah, memang kalau jauh dari anak memang kangen..
ReplyDeletekangen berat mak...apalagi sama si bungsu
Deleteberhadapan dengan anak harus banyak tarik ulurnya, ya, Mak :)
ReplyDeleteiya mak Myra, enggak boleh salah, enggak boleh bohong tapi gmana caranya bisa mengendalikan...hehe saya banyak belajar dari mak Myra
DeleteSubhanallah...terimakasih sharingnya Bu Ida.
ReplyDeleteSalam Ukhwah dari Utrecht.
wassalaam
Salam ukhuwah. makasih sudah berkunjung...duuh jauh banget ya
DeleteTetap semangaaaaaat...
ReplyDeletemakasih mas. memang harus selalu semangat
DeleteMamak, aku iri banget dengan kelembutan dirimu.
ReplyDeletejadi pengen meluk :*
sini aku peluk mak ...
DeleteAku terharu baca ini Mak :")
ReplyDeleteiya mak, aku terakhir meneteskan air mata menuliskan ini
DeleteSemua anak kecil tu mang paling ga bisa dijanjiin ya mbak... pasti mereka fa kan lupa dan terus nagih sebelum janji ditepati..
ReplyDeleteHarus byk belajar nih dr mbak Ida biar bisa jd ibu yg sabar ;)
saya juga belajar nih dari mak Muna
Delete