Oleh : Cahyadi Takariawan
"Kami di sini memohon diusahakan
pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu
menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin
akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap
melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama"
(Surat Kartini kepada Prof Anton dan Nyonya
pada 4 Oktober 1902).
***************
Pada setiap bulan April, masyarakat Indonesia selalu
mengingat dua kosa kata berikut: emansipasi dan Kartini. Sebenarnya apa itu
emansipasi, dan siapakah Kartini? Mengapa keduanya harus selalu berhubungan?
Kita coba memahami keduanya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan makna
emansipasi dengan dua pengertian (1) pembebasan dari perbudakan; (2)
persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak
kaum wanita dengan kaum pria). Kartini adalah tokoh wanita Indonesia. Demikian
penjelasan dari KBBI Online. Wikipedia Indonesia memuat makna emansipasi
sebagai berikut: “emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk
menjelaskan sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan
derajat, sering bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara
lebih umum dalam pembahasan masalah seperti itu”.
Dari penjelasan tersebut, bisa dipahami bahwa yang
dimaksud dengan emansipasi adalah persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan,
seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria. Namun, apakah Kartini
pernah menyebut kata ‘emansipasi’? Ternyata tidak. Itu bukan istilah yang
digunakan oleh Kartini untuk menyebut sisi perjuangan yang dilakukan. Jika pun Kartini
disebut sebagai tokoh yang mengusung emansipasi, pasti tidak pernah bisa
dilepaskan dari latar belakang dan kultur yang berada di sekitarnya. Kartini
mewakili bangsawan Jawa, sosok ningrat yang dikekang dengan berbagai aturan
tradisi.
Kartini lahir di desa Mayong, Kabupaten Jepara, 21 April
1879 dan meninggal dunia di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur
25 tahun. Sebagai anak seorang bupati, Kartini hidup dalam keluarga yang
berkecukupan. Saat kecil, Kartini dimasukkan ke sekolah elit orang-orang Eropa,
Europese Lagere School (ELS) dari tahun 1885-1892. Di sekolah ini, Kartini
banyak bergaul dengan anak-anak Eropa.
Ahmad Mansur Suryanegara mencatat, “Sebagai keluarga
priyayi Jawa, kultur mistis dan kebatinan begitu melekat di lingkungan tempat
tinggalnya. Namun bagi Kartini, ikatan adat istiadat yang telah berurat akar
dalam itu, dianggap mengekangnya sebagai perempuan. Setelah tamat dari sekolah
ELS Kartini memasuki masa pingitan. Sementara itu, Kartini merasakan betul
betapa haknya mendapatkan pendidikan secara utuh dibatasi. Di luar, ia melihat
pendidikan Barat-Eropa begitu maju”.
Kartini banyak bergaul dan melakukan korespondensi dengan
orang-orang Belanda berdarah Yahudi, seperti J. H Abendanon dan istrinya Ny
Abendanon Mandri, seorang humanis yang ditugaskan oleh Snouck Hurgronye untuk
mendekati Kartini. Ny Abendanon Mandri adalah seorang wanita kelahiran Puerto
Rico dan berdarah Yahudi.
Kartini dan
Perjuangan Kaum Perempuan
Perjuangan Kartini
kita kenal tertuang dalam buku yang memuat surat-surat Kartini kepada
sahabat-sahabatnya di Eropa, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn
Pane diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini diterbitkan
semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia
Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911.
Credit |
Buku ini dianggap
sebagai pemikiran besar yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang
sangat berpikiran maju pada zamannya. Konon, saat itu, tidak ada wanita yang
berpikiran sekritis dan semaju itu. Benarkah klaim ini? Klaim yang selalu
diajarkan di semua sekolah kita setiap memperingati Hari Kartini.
Padahal dua abad SEBELUM Kartini lahir, di Kerajaan Aceh
Darussalam sudah ada empat perempuan yang menjadi Sultan (Sultanah) dari 31
Sultan yang ada. Mereka adalah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin (memerintah
tahun 1050-1086 H), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086-1088 H), Sri Ratu
Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 H), dan Sri Ratu Kamalat Syah (1098-1109 H).
Aceh dipimpin oleh
Sultanah perempuan selama empat periode (1641-1699 M). Posisi Sultanah menjadi
bukti nyata bahwa kaum perempuan di Indonesia sejak lama sudah memiliki
pemikiran yang maju dan perjuangan yang besar.
Jika Raden Ajeng Kartini berdiskusi melalui surat
menyurat dengan Abendanon, maka para perempuan Aceh sudah berperang melawan
penjajah bersama para lelaki, bahkan beberapa di antara mereka menjadi Panglima
Perang memimpin kaum laki-laki. Di antara yang sangat terkenal adalah Laksamana
Malahayati yang gagah berani dalam memimpin armada laut Kerajaan Aceh
Darussalam melawan Portugis. Malahayati tercatat sebagai Laksamana Perempuan
Pertama di dunia. Dialah yang memimpin armada perang Kesultanan Aceh menggempur
armada-armada Portugis dan Belanda di Selat Malaka. Armadanya terdiri dari 100
buah kapal. Tiap kapal terdiri dari 400 - 500 pasukan.
Malahayati hidup di masa Kerajaan (Kesultanan) Atjeh
dipimpin oleh Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV yang memerintah antara tahun
1589 -1604 M. Malahayati pada awalnya dipercaya sebagai kepala pengawal dan
protokol di dalam dan luar istana, berpasangan dengan Cut Limpah yang bertugas
sebagai petugas Dinas Rahasia dan Intelijen Negara. Setelah menyelesaikan
pendidikannya di Meunasah/ Pesantren, beliau meneruskan pendidikannya ke Akademi
Militer Kerajaan, “Ma’had Baitul Maqdis”, akademi militer yang dibangun dengan
dukungan Sultan Selim II dari Turki Utsmaniyah.
Akademi ini didukung oleh 100 dosen angkatan laut yang
sengaja didatangkan dari kerajaan Turki tersebut. Disini pula dirinya bertemu
jodohnya sesama kadet yang akhirnya menjadi Laksamana, namun sampai kini nama
suaminya belum dapat diketahui dengan pasti. Lulus dari akademi, Malahayati
diangkat menjadi Komandan Protokol Istana Darud-Dunia Kerajaan Aceh Darussalam,
begitu juga dengan suami yang diangkat menjadi Laksamana.
Nama Malahayati sangat ditakuti oleh Armada-armada
Portugis, Belanda dan Inggris. Karena Malahayati lah yang berhasil membunuh
Cornelis De Houtman di tahun 1599. Cornelis De Houtman adalah orang Belanda
yang pertama kali menancapkan kuku imperialisme di Indonesia. Sungguh sangat
sulit mencari perempuan segagah Malahayati di zaman sebelumnya atau sesudahnya.
Yang relatif satu generasi dengan Kartini, juga sangat
banyak tokoh perempuan lainnya. Di Aceh ada Cut Nyak Din (1848 – 1908), yang
memimpin perang melawan Belanda setelah suaminya, Teuku Umar, syahid. Kita juga
mengenal Teungku Fakinah (1856 – 1938), seorang ustadzah yang memimpin resimen
laskar perempuan dalam perang melawan Belanda. Bahkan usai perang, Teungku Fakinah
mendirikan pusat pendidikan Islam bernama Dayah Lam Diran.
Kita mengenal Cut Meutia (1870 – 1910), yang selama 20
tahun memimpin perang gerilya dalam belukar hutan Pase dan akhirnya meninggal
dunia karena bersumpah tidak akan menyerah hidup-hidup kepada Belanda.
Ada pula Pocut Baren (1880 – 1933), seorang pemimpin gerilya yang sangat berani
dalam perang melawan Belanda di tahun 1898-1906. Berikutnya Pocut Meurah Intan,
yang juga sering disebut dengan nama Pocut Biheu, bersama anak-anaknya—Tuanku
Muhammad, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin—berperang melawan Belanda di hutan
belukar hingga tertawan setelah terluka parah di tahun 1904.
Sejarah juga mencatat Cutpo Fatimah, teman seperjuangan
Cut Meutia, puteri ulama besar Teungku Chik Mata Ie yang bersama suaminya
bernama Teungku Dibarat melanjutkan perang setelah Cut Meutia syahid, hingga
dalam pertempuran tanggal 22 Februari 1912, Cutpo Fatimah dan suaminya syahid
bertindih badan diterjang peluru Belanda.
Salah seorang pemimpin gerilya Aceh Darussalam, Pocut
Baren, namanya diabadikan menjadi nama sebuah resimen laskar perempuan Aceh
“Resimen Pocut Baren” yang merupakan bagian dari Divisi Pinong di Aceh semasa
revolusi fisik melawan Belanda. Resimen perempuan Aceh ini sangat ditakuti
Belanda karena terkenal tidak pernah mundur atau pun melarikan diri dalam
setiap pertempuran. Mereka bahkan pantang menyerah hidup-hidup kepada penjajah.
Sangat mungkin, disebabkan ruang gerak perempuan Aceh
yang sangat luas, maka mempengaruhi cara berpakaian mereka. Prof. Dr. Hamka
menulis, “Di seluruh tanah air kita ini, hanya di Aceh pakaian asli perempuan
memakai celana. Sebab mereka pun turut aktif dalam perang. Mereka menyediakan
perbekalan makanan, membantu di garis belakang dan pergi ke medan perang
mengobati yang luka.”
Buya Hamka juga menyatakan, “Pikirkanlah dengan dalam!
Betapa jauh perbedaan latar belakang wanita Aceh 358 tahun yang lalu itu dengan
perjuangan wanita zaman sekarang. Mereka itu didorong oleh semangat jihad dan
syahid karena ingin bersama menegakkan agama Allah dengan kaum laki-laki, jauh
daripada arti yang dapat kita ambil dari gerakan emansipasi wanita atau
Feminisme zaman modern sekarang ini.”
Sangat Banyak
“Kartini” Lainnya
Kita ingat Sekolah Kartini baru berhasil didirikan tahun
1915, setelah 11 tahun dari wafatnya Kartini. Bisa dikatakan Kartini belum
berhasil mewujudkan cita-cita besarnya saat masih hidup. Kedua adiknya --yaitu
Kardinah dan Rukmini-- dibantu oleh TH Van Deventer serta JH. Abendanon yang
mewujudkan mimpi-mimpi Kartini melalui Yayasan Kartini. Berbeda dengan Rohana
Kudus. Ia berhasil mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia di tahun 1911 ketika
Rohana berusia 27 tahun.
Rohana Kudus (1884-1972) hidup
sezaman dengan Kartini, usianya lebih muda lima tahun. Ketika Kartini
mencetuskan ide-ide perjuangannya melalui korespondensi surat dengan para
sahabat Belandanya, maka Rohana mengeluarkan ide-ide perjuangannya melalui
koran yang ia pimpin. Rohana
Kudus mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916).
Selain itu ia menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke
Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis perempuan pertama di negeri ini. Rohana
Kudus menyebarkan idenya melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak
dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio
(padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Jika Kartini
dianggap memiliki pembelaan yang kuat terhadap Islam, Rohana Kudus juga memiliki
visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita
menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan
kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan
perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak
dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi
dengan mempunyai ilmu pengetahuan”, begitu kata Rohana Kudus.
Dewi Sartika
(1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum perempuan. Ia bahkan
berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri
yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Sekolah ini merupakan Sekolah Perempuan pertama di tanah Jawa, bahkan
Sekolah Perempuan pertama se-Hindia Belanda. Sekolah ini bediri di tahun
wafatnya Kartini.
Di Sulawesi Selatan tercatat nama Siti Aisyah We
Tenriolle, seorang Ratu dari Kerajaan Tanette yang menjadi ratu perempuan
terlama di Indonesia (1855-1910). Siti Aisyah We Tenriolle adalah seorang ratu
yang cerdas. Tak hanya cakap di bidang pemerintahan, ia juga berhasil
menyelamatkan sastra warisan dunia I La Galigo. Suatu epos terpanjang
di dunia.
I La Galigo adalah suatu sajak mahakarya, yang
mencakup lebih dari 6.000 halaman folio. Setiap halaman naskah tersebut terdiri
dari 10-15 suku kata yang berarti cerita I La Galigo ditulis dalam
sekitar 300.000 baris panjangnya. Satu setengah kali lebih panjang dari epos
terbesar anak Benua India, Mahabharata yang hanya terdiri dari 160.000-200.000
baris.
Tidak hanya cerdas di bidang kesusateraan, Siti Aisyah We
Tenriolle juga cerdas di bidang pemerintahan dan pendidikan. Aisyah berhasil
mendirikan sekolah bagi rakyatnya. Sekolah tersebut tidak hanya
diperuntukan bagi laki-laki, tetapi juga perempuan. Meski kurikulumnya masih
sangat sederhana, hanya membaca, menulis dan berhitung tapi pada masa itu
tergolong sudah sangat hebat.
Karena pada masa itu anak perempuan banyak tidak
bersekolah. Aisyah lah tokoh yang pertama kali mendirikan sekolah yang menerima
murid putra dan putri dalam satu kelas. Dia berhasil mewujudkan kesetaraan hak
pendidikan bagi laki-laki dan perempuan jauh sebelum Kartini dilahirkan. Aisyah
menginginkan rakyatnya melek pendidikan, tidak terkecuali perempuan.
Ternyata, para tokoh perempuan itu semua sudah sederajat
dengan kaum laki-laki dalam berbagai dinamika kehidupan, baik sebelum era
Kartini, maupun pada era Kartini. Sudah ada perempuan menjadi Sultan di
Kerajaan Aceh selama empat periode kepemimpinan. Sudah ada perempuan menjadi
Laksamana Perang. Sudah ada perempuan menjadi Sultan di Sulawesi Selatan,
bahkan menjadi Sultan perempuan terlama di Indonesia. Sudah ada perempuan
mendirikan koran dan sekolahan.
Kartini bahkan hanya ‘surat-suratan’ saja. Tidak
mendirikan sekolahan, tidak membuat koran, tidak memimpin perang melawan
penjajahan, juga bukan Sultan atau Bupati. Terus, mengapa yang diperingati
adalah Kartini? Mengapa bukan Malahayati? Mengapa buka Dewi Sartika atau yang
lainnya? Benarlah kata Remmy Sylado, “Sejarah hanya selera. Yang kuat itu yang
menang”.
Kartini Tekun Belajar Agama Islam
Kartini
mengalami proses pembelajaran Islam yang sangat terbatas. Pada awalnya ia hanya
mendapatkan pengajaran baca tulis Al Qur’an, namun tidak diberi penjelasan
makna dari apa yang ditulis dan dibaca tersebut. Hal ini tampak dari surat
Kartini kepada Stella:
“Mengenai
agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya
mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena
nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak
mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh
diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti
bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa
yang dibacanya” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899).
“Kupikir,
pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang
dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa
Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang
kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa,
asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” (Surat Kartini
kepada Stella, 6 November 1899).
“Dan waktu
itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa
manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal
perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya,
dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku
apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia
itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya” (Surat Kartini
kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902).
Suatu ketika,
Kartini menghadiri pengajian di rumah Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat
yang juga adalah pamannya. Pengajian dibawakan oleh seorang ulama bernama Kyai
Haji Mohammad Sholeh bin Umar, atau dikenal Kyai Soleh Darat, tentang tafsir
Al-Fatihah. Kartini tertarik sekali dengan materi yang disampaikan. Usai pengajian,
Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat.
Berikut ini
dialog Kartini sebagaimana ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh
Darat.
Kartini : “Kyai, perkenankanlah
saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun
menyembunyikan ilmunya?”
Kyai Soleh : “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”
Kartini : “Kyai, selama hidupku
baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk
Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan
rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa
selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran
dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia
dan sejahtera bagi manusia?”
Setelah
pertemuan itu Kyai Soleh Darat mulai menuliskan terjemah Al Qur’an ke dalam
bahasa Jawa. Pada pernikahan Kartini, Kyai Soleh Darat menghadiahkan kepadanya
terjemahan Al-Quran yang diberi judul “Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran”,
jilid pertama terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan
surat Ibrahim. Kartini mulai mempelajari Islam melalui kitab yang ditulis Kyai
Soleh Darat. Tapi sayang, tidak lama setelah itu Kyai Soleh Darat meninggal
dunia, sehingga Al-Quran tersebut belum selesai diterjemahkan seluruhnya ke
dalam bahasa Jawa.
Kartini belum
mengenal “tarbiyah”, belum mengenal bimbingan keislaman yang intensif. Kartini
belum bertemu ustadz dan ustadzah yang berkafa’ah syar’i yang bisa
membimbingnya secara rutin dalam kajian Islam pekanan. Maka pemahaman keislamannya
masih sangat terbatas, namun ia memiliki semangat yang tampak dari berbagai
tulisan suratnya.
Kartini
menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa Allah yang telah membimbing
orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya, minazh zhulumati ilan nur.
Rupanya, Kartini terkesan dengan kata-kata itu. “Dari kegelapan menuju cahaya”.
Dalam surat-suratnya kemudian, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “dari
gelap menuju cahaya” ini. Istilah “dari gelap menuju cahaya” yang dalam Bahasa
Belanda adalah “Door Duisternis Tot Licht” menjadi kehilangan makna setelah
diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Akhirnya
sampailah, “Hari yang membawa perubahan dalam jiwa kami. Sudah kami dapatkan
Dia (Allah, pen) yang bertahun-tahun lamanya didahagakan oleh jiwa kami dengan
tiada setahu diri.” Selanjutnya Kartini menyatakan kepada E. E. Abendanon.
”Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu bahwa
sepanjang hidup ada gunung kekayaan (Al-Qur’an, pen) di samping kami” (15
Agustus 1902).
Menurut Ahmad
Mansur Suryanegara, Al-Qur’an yang dikaji Kartini telah menumbuhkan sikap baru,
“Kami bersedia, bersedia berbuat apa juapun, bersedia memberikan diri kami
sendiri.” Selanjutnya Kartini bersedia berkorban dan korbannya ini dinilai
sebagai, “Bersedia menerima: luka hati, air mata darah akan mengalir
banyak-banyak, tetapi tiadalah mengapa: kesemuanya itu akan membawa ke arah
kemenangan. Manakah akan terang, bila tiada didahului gelap gulita. Hari fajar
lahir pada malam” (17 Agustus 1902).
Jadi, Apa
Perjuangan Kartini?
Jadi, bagaimana kita bisa menganggap Kartini
mencita-citakan persamaan antara perempuan dan laki-laki seperti paradigma Barat?
Apa ini bukan propaganda Barat untuk menunjukkan keberhasilan mereka dalam
mencerahkan perempuan Indonesia melalui Kartini? Kasihan Kartini, kalau kita
posisikan seperti ini. Nyatanya, Kartini bahkan menyerang peradaban Barat. Hal
ini tertuang dalam surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober
1902:
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa
masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya.
Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu
sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat
ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai
peradaban?“
“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid
kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan”
(surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 10 Juni 1902).
Yang diperjuangkan Kartini adalah pengajaran dan
pendidikan untuk kaum perempuan. Bukan memperjuangkan emansipasi. Perhatikan
surat Kartini berikut:
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan
pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan
anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya,
tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar
wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang
pertama-tama" (Surat Kartini kepada Prof Anton dan Nyonya pada 4 Oktober
1902).
Sebagai seorang muslimah, Kartini juga menyerang upaya
Kristenisasi terhadap umat Islam yang dilakukan penjajah Belanda. “Bagaimana
pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa
semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? Bagi orang
Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa
yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan
mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” (Surat Kartini kepada
E.E. Abendanon, 31 Januari 1903).
Ahmad Mansur Suryanegara memberikan catatan, “Di tengah
perjuangannya menentang adat dan mencari ajaran agama, Kartini mendapatkan
semacam ajaran agama Kristen dari Ny. van Kol. Tetapi Kartini sekalipun masih
muda, namun tidaklah kehilangan identitasnya sebagai pemeluk agama islam. Tidak
silau dan terpukau oleh kemajuan Barat, Kartini menunjukkan kematangan
sikapnya: ‘Yakinlah Nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami (Agama Islam,
pen) yang sekarang ini’ (21 Juli 1902). Demikianla jawaban Kartini menolak
ajakan Ny. van Kol”.
Jika Kartini sekarang masih hidup, sepertinya beliau akan
sedih melihat peringatan Hari Kartini selalu dikaitkan dengan emansipasi seperti
yang dipahami masyarakat Indonesia sekarang ini. Seakan dia mengajak berperang
melawan kaum laki-laki untuk menuntut persamaan hak. Padahal Allah sudah memberikan
persamaan hak, derajat dan posisi antara laki-laki dan perempuan, tanpa harus
dituntut. Kartini bahkan berjuang untuk membuat Islam bisa diterima secara baik
oleh umat lain.
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat
umat agama lain memandang agama Islam patut disukai” (Surat Kartini kepada Ny.
Van Kol, 21 Juli 1902).
“Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang” (Surat
Kartini kepada Ny. Abandanon, 5 Maret 1902).
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu:
Hamba Allah (Abdulloh)” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 1 Agustus 1903).
“Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Alloh,
tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan”
(Surat Kartini kepada Nyonya Abandanon, 1 Agustus 1903).
“Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan
mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa
sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia
punm ia sebenar-benarnya bebas” (Surat kepada Ny. Ovink, Oktober 1900).
Bahkan peradaban Barat tidak memberikan contoh perjuangan
emansipasi seperti yang diopinikan selama ini. Lihat saja Amerika Serikat yang
sudah berusia lebih dari duaratus tahun, Presidennya selalu laki-laki. Belum
ada perempuan yang dianggap pantas untuk menjadi Presiden Amerika Serikat.
Lebih maju Indonesia dong...:)
Jadi, apa sebenarnya emansipasi itu? Dan siapa yang
memperjuangkannya?
Bahkan Kartini sendiri mungkin tidak mengerti.
Bahan Bacaan :
A. Mansur Suryanegara, Kartini Dan Pembaharuan Pemikiran Dalam
Islam, Panji Masyarakat No. 358 Th XXIII hal 38 – 40: 1 Mei 1982, 7 Rajab 1402 H.
Cahyadi Takariawan, Terlalu
Banyak Pahlawan Perempuan, Bukan Hanya Kartini, dalam http://www.kompasiana.com
Rizki Ridyasmara, Emansipasi
Wanita, dalam http://www.eramuslim.com
Luar biasa!
ReplyDeleteSetelah membaca ini, saya jadi ikut bertanya: (lepas dari segala perjuangan Kartini terkait pendidikan perempuan) mengapa hanya nama Kartini yg lpaling sering dikenalkan ke generasi penerus bangsa?
hmm iya, mengapa? karena sejarah penulisan sejarah berpihak pada penguasa.
Deletemakasih sudah mampir
Nyimak...
ReplyDeletesilahkan sambil nyamil dan ngeteh mak
Deletemakasih mak sharingnya... :)
ReplyDeletemasama maks
DeleteNyimak dulu mak
ReplyDeletesiiplah
DeleteKalau mau mengikuti hukum Islam, maka sebenarnya perempuan itu dimuliakan di dalam Islam
ReplyDeletemakasih...bener bangets
DeleteIzin copas ya bu.. trimakasih
ReplyDeletesilahkan...silahkan
DeletePerjuangan yang semangatnya harus tetap dijadikan motivasi bagi para perempaun..
ReplyDeleteohya, para aktifis feminis itu kira-kira udah baca buku Door Duisternis tot Licht belum ya?
hehe...silahkan ada yang mau jawabkah?
DeleteMantab nih artikelnya pak cah :) TFS
ReplyDeletemakasih mbak nana
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletesungguh mencerahkan. gak sadar selama ini pelajaran sejarah di sekolah telah membuat saya tersesat auh dari peta sejarah yang sebenarnya...
ReplyDeleteboleh di share kah bund ?
boleh banget, silahkan
DeleteKeren deh artikelnya,. terimkasih mba infonya
ReplyDeletehehe makasih ya
DeleteGa pusing mba bkin artikelnya? reperensinya bnyak bner
ReplyDeletesekalian bikin makalah seminar
DeleteWow ..... amat detil, Mak. Kata "emansipasi" memang merusak. Saya kira itulah juga yang jadi penyebab mengapa ibu rumah tangga yang hanya berdiam di rumah dianggap rendah oleh banyak orang, gara2 racun bernama emansipasi itu.
ReplyDeleteOya, sekadar tambahan, Mak ... ibunda Siti Aisyah We Tenriollelah yang pertama kali mengumpulkan epos La Galigo yang panjangnya mengalahkan Mahabharata itu. Aisyah yang kemudian membantunya. Tentang ibunda Aisyah sudah pernah saya tulis di blog saya, beliau perempuan hebat juga
makasih mak tambahannya...banyak mutiasa yang belum terangkat dalam khasanah kita ya
Deleteilmu yang sangat bermanfaat nih, terimakasih :)
ReplyDeletesama-sama
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletesaya selalu percaya penulis yang hebat adalah (mereka) para pembaca yang hebat. Bagi saya paradigma setiap orang selalu mengesankan. Terimakasih senang sekali membaca artikel ini.
ReplyDelete