Oleh : Ida Nur Laila
Pada era globalisasi ini, privacy
individu menjadi sesuatu yang langka dan sulit. Bagaimana tidak, informasi,
melalui media informasi telah merambah ke seluruh pelosok dunia. Menembus
rumah-rumah bahkan ruang-ruang pribadi kita.. Kita tak dapat menutup telinga
dan mata begitu saja karena semua itu telah menyatu dalam derap kehidupan
modern.
Di jalan, tidak ada yang bebas dari
pajangan iklan, kios-kios menjajakan majalah dan koran, dalam bus, kereta api,
mobil lagu-lagu dari tape, radio atau televisi tak ketinggalan. Pula di rumah
makan, pusat-pusat pelayanan semacam rumah sakit, apotik bahkan kantor-kantor!
Yang lebih merisaukan tentu saja
televisi dalam rumah-rumah kita. Mengapa merisaukan ?Televisi sebagai media
audio visual merupakan sarana efektif untuk mensosialisasikan ideologi, gaya
hidup serta pembuat opini yang unggul.Televisi dikatakan telah menjadi orang
tua kedua, atau bahkan menggantikan peran orang tua, bahkan George Gerbner, seorang
pakar komunikasi dan peneliti TV AS menyebut TV sebagai “ agama masyarakat
industri “.
Sederhana saja contoh tentang kuatnya
pengaruh televisi, anak-anak(dan orang tua juga) begitu begitu akrabnya-kadang
tergila-gila- dengan tokoh-tokoh yang sering mereka tonton seperti sinchan,
doraemon, nobita dsb. Berawal dari rasa senang hingga menjadi mania mendorong
seseorang meniru prilaku tokoh pujaannya, disadari atau tidak, sekalipun untuk
sesuatu yang menyimpang.
Ini baru televisi, belum lagi jika
internet telah menjadi barang yang terjangkau dan dimiliki oleh setiap rumah
sebagaimana televisi yang saat ini menjadi media hiburan paling favorit.
Selamatkan Keluarga dan Anak-Anak Kita
Allah memerintahkan untuk menjaga diri
dan keluarga kita dari api neraka ( QS. At-Tahrim :6). Peringatan tersebut
bukanlah sesuatu yang mudah pada saat ini, kaitannya dengan penjajahan media
informasi kepada keluarga kita. Pada sisi pendidikan seksual saja -yang menjadi
topik kali ini- televisi, radio dan media cetak telah menjadi media sosialisasi yang mengerikan. Banyak
gambar-gambar porno dipajang di tepi jalan.
Konon ukuran porno kita berbeda. Sebagian
berpandangan, dikatakan porno jika menampakkan manusia tanpa selembar
benangpun, adapun selama masih ada
sedikit penutup masih diketegorikan semi porno dan legal untuk dicetak atau
ditayangkan. Gambar-gambar itu telah menjadi konsumsi sehari-hari bergai usia,
sehingga saking biasanya kita menjadi tak jengah lagi akan keberadaannya.
Tidak sedikit iklan-iklan yang
mengkonotasikan mesum. Iklan anak-anakpun tak luput dari sosialisasi hubungan
khusus laki-laki perempuan. Saya sedih menyaksikan sebuah iklan biskuit
anak-anak yang menggambarkan seorang anak perempuan meminta cium sebagai
penukar biskuit yang diminta teman kecilnya, laki-laki. Atau iklan keju yang
menayangkan ucapan terimakasih seorang anak perempuan dengan ciuman malu-malu
atas pertolongan seorang anak laki-laki. Dan masih banyak lagi.
Anak-anak dengan lahap menelan
iklan-iklan ketika mereka menghabiskan jam-jamnya di depan televisi.Pesan-pesan
tersebut terpatri lekat dalam benak mereka, tak saja untuk memiliki dan membeli
suatu produk, tapi juga mengikuti gaya hidup yang ditawarkan.
Meningkatnya perilaku penyimpangan
seksual dan kekerasan seksual terutama pada dan oleh anak-anak, sedikit banyak
dipengaruhi oleh apa yang mereka tonton. Pengakuan seorang anak muda yang
–ma’af- menggagahi ibunya, katanya selepas menonton film yang merangsang tidak
mendapatkan pelampiasan lain selain ibunya. Belum lama juga serombongan anak
belia memperkosa temannya sendiri dengan alasan yang sama.
No comments:
Post a Comment