Ibu dan aku |
Sejak 15 tahun yang lalu, 3 tahun setelah ayah meninggal, ibu
memilih tinggal bersamaku. Setiap hari kulihat ibu berusaha keras untuk
meringankan beban hidupku.
Saya ibu dengan 3 anak kecil kala itu, setiap hari adalah
atraksi antara membagi waktu untuk anak-anakku, mencari rejeki untuk
menyekolahkan dua adikku dan juga melakukan kerja dakwah. Keberadaan ibu
seperti malaikat penolong yang mengambil alih banyak hal yang tak sanggup
kujangkau dengan tanganku. Ibu mengasuh anak-anak saat saya tidak ada.
Sekalipun ada asisten rumah tangga, namun mereka bukanlah tumpuan untuk
mengasuh anak-anakku. Adapun ibuku, bukankah sudah terbukti dengan olahan
tangannya dan dengan petunjuk dari Allah, kami anak-anak ibu menjadi anak baik.
Ibu bersama anak ke 3 |
Pagi hari adalah pertempuran paling heboh. Anak-anak harus bersiap ke sekolah. Sering kudapati
pada malam hari ibu sudah menjajar tempat minum dan seragam anakku, agar pada
pagi hari saya tak perlu mencari barang-barang itu. Bahkan acapkali kudapati
air mentah dalam ceret sudah nangkring di atas kompor, tinggal menyalakan
kompor. Biar saya tak perlu repot mengisinya. Semua kebaikan itu dilakukan
hingga anakku bertambah menjadi 6. Sekarang ibuku sudah 68 tahun. Kondisinya jauh
menurun, maka banyak kularang melakukan ini itu lantaran khawatir jatuh sakit.
Jika saya terlalu cerewet, ibu akan mengatakan:
“ Biarlah aku membantumu. Aku tahu kamu habiskan waktu untuk
berdakwah, dan inilah cara jihadku...”
Atau jawaban lain yang membuatku meneteskan air mata.
“Aku ingin menebus rasa bersalahku. Sejak kamu SD, kakakmu
mulai sakit, kami sering kurang memperhatikan kamu. Perhatian kami dan biaya
hidup banyak tersedot untuk membiayai kakakmu. Biarlah aku menebusnya, dengan
memperhatikan anak-anakmu...”
Kakakku, Ibu dan aku |
Jawaban kedua ini membuatku terkejut ketika pertama kali
dilontarkan oleh ibuku. Memang kuingat masa kecilku yang berat. Masih sejak SD,
saya harus mengurus dua adik, mulai dari memasak, menyiapkan urusan sekolah,
membersihkan rumah, mencuci baju dan lain-lain pekerjaan yang biasa dilakukan
ibu. Jika kakak mulai opname, minimal selama satu bulan. Selama itulah aku menggantikan
ibu. Ayahku tetap berangkat ke kantor, sepulang kantor akan menengok kami,
memberi uang jatah, dan membantu pekerjaan berat seperti mengisi bak mandi. Lalu
sorenya berangkat ke RS yang berjarak 35 km dari rumah kami, untuk menemani ibu
menjaga kakak. Esok pagi-pagi, ayah berusaha pulang agar bisa mengantar kami
sekolah. Beberapa kali saya pingsan lantaran kecapekan.
Bagiku, semua episode masa berat itu adalah heroisme yang
menempaku menjadi seperti sekarang. Sungguh, saya terkejut saat ibu merasa
banyak bersalah dengan masa kecil saya. Bagaimanapun penyakit yang diderita
kakak adalah pemberian Allah. Jika aku menjadi ibu, tentu juga akan memprioristaskan
kesehatan kakak tanpa bermaksud mengabaikan anak-anak yang lain.
Ibu menunggui anak bungsu |
Saya justru bersyukur melewati masa yang menempa saya menjadi
pekerja keras dan trampil melakukan apa saja. Jika sekarang saya memiliki
sifat-sifat baik, maka itu adalah cerminan teladan dari ibuku. Ibuku yang
pekerja keras, ulet, tabah, kreatif, mandiri, dan suka melayani yang kusaksikan
setiap hari hingga kini. Keteladanan dalam kesahajaan itulah yang menjadi
inspirasiku.
Saya bersyukur dikarunia ibu yang penuh perhatian
dan cinta. Kudoakan selalu kebaikan dan kebahagiaan untuk ibu. Semoga Allah
berikan semua balasan kebaikan dengan syurgaNya, amin.
Selamat hari ibu....bakti dan sayang kami untukmu.
Terharu.... *jadi kangen sama mama....
ReplyDeletemakasih kunjungannya mak Tinanic...
ReplyDeleteterharu mak, beruntung bisa tinggal dengan ibu hingga hari tuanya...met hari ibu ya mak...
ReplyDeleteSama-sama met hari ibu mak enci...
ReplyDeleteSelamat hari ibu untuk ibu ida dan eyang..
ReplyDeletefoto yg terakhir, suka sekali. ekspresinya penuh arti :)
ReplyDeletemakasih mrs amidy. buku sudah saya kirim ya. Mak Muktia, itu hasil karya anakku.
ReplyDelete