Hidup berkeluarga mengalami
pasang surut, susah senang silih berganti. Demikian pula masa kecilku. Kuingat
mushibah besar seperti saat rumah kami roboh. Atau saat seluruh anggota
keluarga terserang sakit. Peristiwa sakit berjamaah yang pertama terjadi saat
saya kelas 5 SD. Pulang sekolah kudapati bapak, ibu,dan 2 adikku sudah terbaring lemas. Bapak memohon
padaku :
“Nduk, kamu pergi ke Puskesmas,
naik sepeda, bilang sama petugas Puskesmas bahwa kita semua diare parah, tidak
kuat berjalan ke Puskesmas...”
Kakakku belum pulang dari
sekolahnya di SMP. Saya, anak kelas lima SD, saat itu memberanikan diri
bersepeda sendirian, sejauh 1,5 km jarak dari rumah ke Puskesmas yang jalannya
lumayan menaik terjal. Dan dengan nafas terengah dan gemetaran karena takut dan
cemas, matur pada bu mantri perawat
tentang situasi di rumah. Puskesmas sudah sepi pengunjung jam 13 lewat itu. Bu
Dokter juga tidak ada di tempat. Saya pulang berbekal oralit, pil anti diare
dan anti muntah.
Kalau dirunut sebab musabab
acara muntaber masal ini adalah karena ibuku mendapat provokasi dari tetangga. Saat itu ekonomi memang
berat, bukan hanya di keluarga kami, juga di lingkungan sekitar. Tetangga
mengajari ibu untuk membuat nasi aking. Nasi sisa dikeringkan dengan
menjemurnya di panas matahari. Setelah kering betul bisa ditanak lagi dan
dimakan dengan parutan kelapa. Kami pernah menikmatinya beberapa kali, dan
terasa cukup lezat untuk dinikmatri di hari minggu pagi sebagai pengganti nasi.
Namun hari minggu kemarin mungkin apes. Mungkin nasi aking itu mengandung jamur
yang meracuni. Jadi semua keracunan kecuali aku dan kakakku yang hanya makan
sedikit.
Selalu kuingat peristiwa
itu, merasa menjadi pahlawan keluarga. Bertindak saat ayahkupun tak berdaya.
Peristiwa kedua adalah saat
saya duduk di bangku SMA kelas 2. Bermula dari acara sunatan adik bungsuku yang
duduk di kelas 5 SD. Malam hari saat
acara puncak, kakakku yang kecapekan jatuh sakit, lumayan parah. Maka
malam itu juga kami melarikannya untuk opname di RS di Solo. Tentu saja bapak
dan ibu sebagai shohibul acara tak mungkin menunggui kakak, maka menjadi
tugasku untuk menunggui kakak di RS. Sore hari berikutnya datang mushibah
kedua. Ibuku terpeleset saat menggiring ayam ke kandang. Peristiwanya sudah
sore, menjelang petang. Tanah liat merah licin telah mengglincirkan ibu setelah
sebelumnya hujan lebat turun. Tangan ibu patah di pergelangan sehingga harus
masuk RS dan dipasang pen.
Bapak pontang-panting
mengurus kakak dan ibu di dua RS yang berbeda yang berjarak 30 km. Tentu tetap
sambil masuk kerja. Adikku yang barusan disunat tentu tak bisa apa-apa. Kami
keluarga inti yang tak punya pembantu rumah tangga. Nah disinilah peran besar
dari adiku yang duduk di kelas 2 SMP.
Anak ke tiga ini tadinya
adalah cowok ABG yang agak bengal, kurang menurut pada ayah dan ibu. Mungkin
bagi orang kebanyakan, kenakalannya biasa saja. Tapi bagi kami, keluarga
santri, bapakku Hakim Agama, apa yang dilakukan adikku sudah dianggap melampaui
batas. Misalnya saja ia berani
merokok diam-diam di belakang rumah. Atau keluyuran pada malam hari,
kongkow-kongkow di pos ronda. Berbekal bantal dan buku pelajaran, ia mengaku
belajar dan tidur di pos ronda. Jika kami sekeluarga pergi bersama, sekedar
jalan-jalan pagi ke waduk Gadjah Mungkur, adikku ini menolak ikut dan memilih
meringkuk tidur.
Kami semua prihatin dengan
kelakuannya yang suka membantah. Apalagi ia kadang kasar kepada adiknya, si
bungsu yang saat itu sedang sunat.
Mushibah beruntun yang menimpa
keluarga kami membawa dampak besar terutama pada adikku si nomer tiga.
Tiba-tiba saja ia menjadi baik. Dialah yang ikut bolak-balik mengurus ibuku,
mengurus adikku. Apalagi saat bapak kemudian sakit batuk darah lantaran
kecapekan dan seringkali harus berkendara menembus hujan untuk mengurus segala
sesuatunya.
Sekitar 20 hari kakakku
opname, kebetulan juga pas libur kenaikan kelas jadi aku bisa penuh
menungguinya. Ibuku hanya opname 5 hari. Kadang gantian aku yang pulang saat bapak
kelelahan, terutama hari Minggu saat bapak tidak ke kantor.
Di rumah suasana sungguh mengenaskan. Rumah kami kotor oleh bekas-bekas punya kerja yang belum sepenuhnya dibersihkan. Banyak barang-barang yang belum dikembalikan dan adikku si nomer tiga yang melakukan acara pengembalian dan pembersihan sedikit demi sedikit. Aku menangis saat ia memasak bakmi dan telur menyambut kepulanganku dari Rumah Sakit. Menangis haru karena tak pernah sebelumnya ia berlaku demikian dan sedikit geli dengan gorengan telurnya yang gosong.
Sesungguhnya selalu ada hikmah
di balik mushibah. Allah pasti punya rencana dengan semua peristiwa. Jika
ditanya, tak ada yang mau mendapat mushibah. Apalagi mushibah beruntun seperti
yang kami alami. Akan tetapi jika mushibah itu menjadi sarana pencerahan bagi
yang mengalami, tentu menjadi nikmat yang layak disyukuri.
Kami tetap bersyukur dengan
semua yang terjadi, adikku yang sunat dan belum bisa segera bangun, kakakku
yang opname cukup lama di RS, ibuku yang patah tangan dan harus menggendong
tangannya selama dua bulan, serta ayahku yang batuk darah cukup lama. Semua itu
menjadi harga kembalinya adikku si nomer tiga yang tadinya seakan menjauh dari
keluarga. Kami menyebutnya kembalinya si
anak hilang. Ya karena sekalipun fisiknya kadang ada bersama kami dalam
satu atap, namun kadang jiwanya seakan tidak bersama kami. Mushibah telah
mencerahkan jiwa kami, jiwa adikku dan menyatukan kami menjadi keluarga yang
bahagia tanpa ganjalan berarti.
Sekarang mushibah masal
terjadi di negeri ini. Adakah yang mencoba memahami, mungkin Allah tengah
mengingatkan kita semua. Atas segala salah dan dosa. Saat gunung Kelud meletus,
tiba-tiba saya merasa bahwa mungkin teguran ini lantaran kita kurang peduli
pada saudara-saudara kita yang terdampak erupsi gunung Sinabung. Jadi didekatkan mushibah debu itu merata
nyaris di seluruh pulau Jawa. Eh maaf jika saya dianggap mengada-ada.
Apakah mushibah erupsi,
banjir dan tanah longsor ini bisa mencerahkan bangsa ini? Apakah bisa
menyatukan bangsa ini? Terlebih menyongsong perhelatan besar 9 April 2014 yang
menentukan masa depan bangsa.
Apakah masyarakat akan
kembali ‘terbeli’ suara dan hak pilihnya dengan uang yang mungkin hasil
korupsi? Hmm sebagai praktisi politik saya miris menyaksikan transaksi politik yang merambah
hingga ke pelosok desa.
Bencana apalagi yang
diperlukan agar menjadikan bangsa ini melakukan taubatan masal dan melakukan
proses demokrasi dengan bersih dan adil? Semoga cukup ini saja ya Allah,
jadikan kami tercerahkan dan memutus generasi dengan memilih para Wakil Rakyat,
para pemimpin negeri yang bersih dan peduli.
Ayoo berikan suaramu untuk
kemenangan kebaikan dan harapan masa depan yang lebih baik. Tinggalkan yang
tercoreng korupsi jama’i dan hutang masa lalu yang belum terbayar. Jadikan 9
April 2014 sebagai tonggak kemenangan seluruh bangsa dari semua keterpurukan.
Semoga semua mushibah ini
mencerahkan dan menyatukan, amin.
Untuk membantu meringankan
penderitaan saudara kita yang sedang terkena mushibah, yuuk sisihkan sebagian
rejeki kita untuk menyumbang melalui KEB peduli di bawah ini:
Banyak hikmah yang dapat di petik dari postingan ini Mbak...dan di paragraf akhir, saya jadi tahu kenapa Mbak Ida terpilih jadi wakil rakyat :)
ReplyDeleteSukses dengan langkah hebatmu Mbak... :)
makasih mak Lies
DeletePengalaman masa kecil memberi kita kenangan berarti yang berdampak pada kita di hari ini ya mbak. Sukses selaku u mbak.salam
ReplyDeleteMakasih mak Lies hadie dan puteriamirilis. semua peristiwa akan menimbulkan jejak dalam diri kita.
ReplyDeleteBerharap bukan musibah yang menyatukan kita. Tapi manusia seringkali keras kepala sehingga Allah menyatukan dengan cara yang keras pula. Artikel yang membuat merenung....
ReplyDeletemakasih kunjungannya mak Lusi. doa orang baik semoga menjauhkan dari adzab dan mushibah.
Delete