Favorit Revo |
“Kalau Umi yang
melanggar aturan boleh ya?”
Aku seperti
tersengat dengan pertanyaan Revo.
“Umi
melanggar apa Po?”
“Tadi Umi
bilang kalau aku boleh makan mie. Padahal kan kemarin aku juga sudah makan
mie...”
Masya Allah.
Kritis betul si revo.
Di rumah
kami berlaku aturan makan mie instan hanya sekali dalam sepekan. Ah tepatnya
aku yang bikin aturan, dan sebagian anak menurut. Tukang melanggar adalah si
nomer tiga yang malam-malam suka lapar dan diam-diam bikin mie.
Kemarin di
rumah sudah pada makan mie rame-rame. Hari ini kami di pantai dan aku sedang
enggak mau pusing membujuk makan Revo, jadi aku mengijinkan ia makan mie.
“Kan umi
tidak melanggar untuk Umi sendiri, tapi memberi ijin kamu...Umi kan belum tentu
sebulan sekali makan mie...” Aku mencoba menjelaskan atau tepatnya membela
diri. Hmm salah ya?
“Tapi kan Umi
tetap melanggar peraturan...” kenceng protes Revo.
“Oke, kalau
begitu nggak jadi saja...Revo siang ini nggak boleh makan mie...makan lauk yang
lain saja...”
“Yaah...aku
kan pengin makan mie...kakak-kakak juga...”
“Naah
sekarang siapa yang pengin melanggar? Umi sebenarnya Cuma nggak mau rame
saja....kita kan mau senang-senang di pantai...jadi nggak usah bertengkar soal
makan...”
“Jadi kalau lagi
senang-senang boleh melanggar...?” tegas Revo minta kepastian.
Hadeuh...!
Ayah bunda,
pengalaman di atas membuat saya berfikir ulang tentang aturan dan
konsistensi. Bagaimanapun anak-anak
memahami segala sesuatu dengan hitam putih. Mereka belum bisa menerima ketika
kita sedikit membuat kebijakan yang luwes untuk suatu aturan pada situasi
tertentu...#halah. Padahal aslinya saya yang nggak mau repot mikir makan
anak-anak sedangkan kita lagi senang-senang di pantai.
Namun
sungguh saya menyesal dan berfikir ulang untuk lain kali memberi prolog sebelum
‘melanggar’ aturan yang saya buat sendiri. Agar anak tidak menganggap orang tua
tidak konsisten.
Misal
seharusnya tadi ada prolog:
“Revo jika
ingin makan bakmi, hari ini ada bonus tambahan boleh makan bakmi karena kita
sedang piknik...” atau semacam itulah. Agar jauh dari kesan melanggar. Hihi
enggak enak rasanya dituduh melanggar terutama oleh anak sendiri.
Jadi,
kututup percakapan tema itu dengan sportif, dan berkata pada Revo:
“Maafkan Umi
ya tadi karena melanggar aturan makan bakmi. Besok-besok Umi berusaha untuk
tidak melanggar. Kalau Umi melanggar diingatkan ya...” Padahal saya tidak
ikutan makan bakmi.
Yang mengejutkan
adalah jawaban Revo.
“Iya Mi..kan
yang melanggar kita semua...bukan hanya Umi...”
Naah kan
saya masih dianggap melanggar!
Memang jadi
orang tua harus konsisten.
Rebutan lotis di perahu |
Hihihi...kritis pisan mas Revo mak..pinter deh... catet ahh biar ga dibilang emak ga konsisten :p
ReplyDeleteiya nih mak Muna...hati-hati banget jadinya
Deletecalon politikus neeh mak :)
ReplyDeleteamiin semoga jadfi orang sholih apapun profesinya
Deletehaha, iya yah, jadi orang tua itu emank repot. Harus konsisten kalau gak di demo gitu :D
ReplyDeleteterus hati-hati nih
Deletehihii Revo pinter deh *towel pipinya :D
ReplyDelete" Emang tante Fenny, aku pinter" kata Revo.
Deletehihihi say beberapa kali juga dikritik anak karena gak konsisten. Suka ada rasa malu dan menyesal sih. Tapi, bersyukur juga karena anak masih mau bersuara untuk mengingatkan kita walopun dalam bentuk protes. Daripada diam-diam, tapi dalam hatinya ambil kesimpulan sendiri kala gak konsisten itu ternyata gak apa-apa. Malah jadinya lebih salah :)
ReplyDeletewaah betul banget mak Myra, alhamdulilah mereka menyampaikan jadi kita bisa evaluasi diri.
DeleteMhihiii, kudu ati-ati banget tuh mak. Anaknya kritis pisan :D
ReplyDeleteurusan makan bakmi padahal...
Deletekalau umi dikritik sama revo...kalau aku sama murid dan itu rasanya jleb banget loh umi..hihihihi
ReplyDeletehihi itulah jafdi bu guru...harus baik terus...
Deleteternyata kita sama ya mbak menerapkan aturan makan mie
ReplyDeleteya mak, jadi ortu mau konsisten kadang harus berdebat dengan anak...toss mak
Delete