Seorang ibu
pernah bertanya padaku:
“Bu bolehkan
saya berdoa agar Allah jadikan saya adalah istri satu-satunya untuk suami
saya?”
Saya
tersenyum saja masih menunggu kelanjutan kata-katanya.
“Setiap
habis sholat, saya berdoa agar suami saya setia hanya mencintai saya dan tak
pernah tergoda perempuan lain...”
Saya ingin
tertawa, tapi tidak saya lakukan karena ibu di depan saya bermimik serius.
Bukankah
pasti ada yang melatarbelakangi sikapnya.
Jadi apa
komentar saya?
“Tak ada
larangan untuk melafalkan doa apa saja selama itu adalah kebaikan. Doa terbaik
berasal dari ayat-ayat Alquran dan hadist nabi. Kita boleh mengambil doa para
sahabat dan para ulama. Kita juga boleh menyusun doa kita sendiri. Yang penting
doa kita ikhlash. Berharap hanya pada allah dan rela apapun keputusanNya.
Enggak marah jika pengabulannya tidak sesuai harapan kita...”
“Jadi berdoa
seperti tadi...boleh?” Ia sepertinya belum sepenuhnya menangkap maksudku. Atau
saya yang menjawabnya kurang jelas.
“Doa akan
lebih majas kalau disertai usaha dan
tindakan nyata.
Misal seseorang berdoa suaminya setia, namun
ia tidak setia. Ia berdoa menjadi istri tercinta yang paling disukai suaminya,
namun akhlaqnya membuat suami mau muntah...itu misalnya lho bu. Maksud saya,
ibu boleh saja berdoa, namun doa itu akan menjadi kenyataan jika ibu telah bisa
menawan hati suami melalui akhlaq ibu....”
“Tanyakan
pada diri sendiri: Apakah aku layak untuk dicintai dalam waktu lama? Apakah aku
layak untuk menjadi ‘satu-satunya’ bagi suami...?
Belajarlah
pada Khadijah yang selama dua puluh lima tahun hingga meninggalnya tak pernah
dimadu oleh Rasulullah...karena Rasulullah menemukan semua kebutuhannya pada
Khadijah...”
Ia
manggut-manggut. Semoga ia faham ya...
Eh para pembaca jangan salah faham ya. Saya bukan menentang
poligami, atau pendukung poligami. Sebagai syariat, kita harus menerima bahwa
itu hukum Allah yang memang adanya untuk diterapkan pada situasi yang tepat.
Dalam kasus
diatas, saya tidak menggali masa lalu riwayat rumah tangga mereka yang mungkin
menjadikan ibu itu bersikap demikian. Saya fokus pada situasi saat ini dan ke
depan. Dan tentu saya hanya bisa menasehati yang bertanya. Jika yang bertanya
istri, maka saya hanya menasehati istri. Mana mungkin saya mengintervensi
suaminya sedangkan ia tidak pernah menyerahkan urusannya pada saya.
Terkadang
yang tidak memahami ini menganggap saya tidak adil dan menuduh saya hanya
menyalahkan fihak perempuan. Saya akan berkata:
“Hadirkan
suami ibu agar saya juga bisa menasehatinya. Saya tidak akan mengintervensi
seseorang yang tidak membutuhkan saya. Karena ibu yang datang, maka nasehat
saya untuk ibu. Bukankah lebih mudah merubah diri ibu sendiri dari pada ibu merubah suami ibu. Jika
ibu telah memantaskan diri untuk kualitas yang baik, selanjutnya Allah yang
akan memantaskan jodoh untuk ibu...”
Sebagai
penutup, mungkin kisah yang terjadi di masa Harun Al-Rasyid berkuasa di bawah
ini, bisa menjadi pencerahan.
Diceritakan,
terdapatlah seorang wanita muda yang cantik dan sholehah, namun bersuamikan
seorang laki-laki tua yang buruk rupa, buruk pula perangainya. Mereka tinggal
di sebuah kemah di pinggir desa.
Ia kedatangan seorang tamu laki-laki, yang lalu disuruhnya menunggu dikejauhan hingga suaminya pulang. Ketika datang suaminya, bergegaslah wanita itu mengambil air, kemudian membasuh tangan dan kaki suaminya. Suaminya tidak menunjukkan sikap yang simpatik atas pelayanan istrinya.
Ia kedatangan seorang tamu laki-laki, yang lalu disuruhnya menunggu dikejauhan hingga suaminya pulang. Ketika datang suaminya, bergegaslah wanita itu mengambil air, kemudian membasuh tangan dan kaki suaminya. Suaminya tidak menunjukkan sikap yang simpatik atas pelayanan istrinya.
Sang tamu
heran atas sikap suami tersebut, lebih-lebih sikap sang istri yang menghormati
suaminya sedemikian rupa.
Sang tamu
berkomentar. Mengapa sang wanita harus bersusah payah berkhidmat sedemikian
rupa padahal suaminya sudah tua, buruk rupa dan kasar.
Atas komentar tamu tersebut, sang wanita menjawab.
"Aku mendengar Rasulullah bersabda, bahwa iman terbagi menjadi dua. Separuh dalam syukur dan separuh dalam sabar.
Aku sangat bersyukur Allah menganugerahkan kepadaku wajah yang cantik. Maka aku ingin meyempurnakan separuhnya dengan bersabar atas perlakuan suamiku."
Atas komentar tamu tersebut, sang wanita menjawab.
"Aku mendengar Rasulullah bersabda, bahwa iman terbagi menjadi dua. Separuh dalam syukur dan separuh dalam sabar.
Aku sangat bersyukur Allah menganugerahkan kepadaku wajah yang cantik. Maka aku ingin meyempurnakan separuhnya dengan bersabar atas perlakuan suamiku."
Sebenarnya
saya kesulitan mencari sumber cerita ini karena saya pernah membacanya di buku,
tapi lupa buku yang mana. Hanya saja kisah ini sangat menarik untuk melihat
sesuatu dengan suatu sudut pandang: sudut
pandang ladang pahala.
Setiap
nikmat dan mushibah hanya akan membawa manfaat jika kita memiliki dua sikap
dalam menerimanya: shabar dan syukur.
Nah, masih
adakah perempuan serupa itu di jaman ini?
Bantu saya
menemukannya.
Kayaknya saya juga pernah dengar cerita yg terakhir mak...tp lupa jg dengar dimn dan darimana...
ReplyDeleteMksh mak sharingnya ;)
iya sama-sama mak. makasih telah berkunjung mak Hanna
Deletemasih ada kug wanita yang seperti itu :)
ReplyDeletealhamdulillah, semoga banyak perempuan sholihah ya
Deletesemoga saja bisa dapet istri yang seperti itu
ReplyDeleteamiin hihi.
DeleteDoa dengan usaha ya Maaks...
ReplyDeletebetul banget mak astin.
Delete