Belum lama
kami terkaget-kaget dengan beberapa peristiwa tentang ‘anak yang belum
sebagaimana yang diharapkan’.
Eh apaan
sih?
Iyah, ini
penting buat anda yang baru menapaki kehidupan rumah tangga, baru punya anak
kecil-kecil atau bahkan anda yang baru merencanakan berumah tangga.
Lah, buat orang
tua yang anaknya sudah gede apa enggak penting?
Ya penting
juga, cuma sudah agak telat.
Ceritanya
ini adalah curhatan beberapa bunda yang anaknya telah menapaki jenjang SMA dan
perguruan tinggi. Beberapa bunda mengeluhkan anak pertama yang terasa agak ‘jauh’
dengan keluarga. Baik secara kejiwaan maupun ideologis.
Orang tuanya
menjalani kehidupan yang cukup religius dan si anak mengambil jarak untuk
memiliki pandangan sendiri tentang keyakinan hidup. Hmm.
Tentu saja
yang demikian berdampak pada cara hidup dan takaran yang berbeda. Misal ibunya
sejak kecil membiasakan berjilbab, dan setelah si anak jauh dari orang tua,
membuka jilbabnya.
Kasus lain,
orang tua melarang pacaran, dan si anak justru memilih pergaulan bebas.
Ada lagi anak
yang ‘bersembunyi’ dari jati diri orang tuanya karena ia merasa tak ‘sesolih’
bapak ibunya.
Yang lebih
ektrim adalah anak yang memilih ‘murtad’ karena bujukan pacarnya. Ia memilih
kawin lari meninggalkan keluarganya.
Ada lagi
anak yang stress dan harus mendapat perawatan medis dan psikis untuk memulihkan.
Ada yang kecanduan game, rokok dan narkoba...
Ternyata
tidak mudah ya membersamai anak kita, membesarkan, mendidik dan mengarahkan.
Duuh saya
tidak sedang menakuti, jadi jangan takut punya anak.
Curhatan dan
diskusi para bunda ini berujung pada mengenang masa lalu. Masing-masing mencoba
memutar ulang, bagaimana dulu si anak yang dianggap ‘bermasalah’ ini terlahir,
tumbuh dan berkembang dalam keluarganya. Sampailah kami pada beberapa
kesimpulan yang mirip.
Para bunda
mengakui betapa sibuknya mereka dulu ketika anak-anak ini memasuki masa emas, 0-7
tahun. Anak-anak ini ‘disambi’ beraktivitas,
berorganisasi, bekerja dan ada pula yang berdakwah. Terkadang mereka harus
dititipkan kepada nenek, pembantu atau tetangga. Terkadang anak-anak ini ‘terlantar’ di sekolah dan telat
menjemputnya.
Sebagian dari
mereka bahkan telah diberi ‘beban’ menjaga adik pada usia mereka yang sangat
muda.
Mungkin saat
itu tak pernah ditanya, apa yang mereka rasakan. Apa yang mereka fikirkan
tentang ‘kesibukan orang tuanya’.
Atau kosa
kata mereka belum sampai pada satu kata: terabaikan.
Yah mungkin
mereka belum bisa mengenali perasaan terabaikan atau tersisihkan.
Setelah
mereka besar, mereka baru bisa berkata:
“Orang tuaku
lebih mementingkan pekerjaan dari pada aku”
“Orang tuaku
lebih mementingkan teman-temannya dari pada aku”
“Orang tuaku
lebih mementingkan organisasi dan kegiatannya dari pada aku”
......
Lalu mereka
mungkin mengatakan:
“Aku tak
ingin menjadi seperti orang tuaku”
“Aku mau
kebebasanku untuk menjadi diriku sendiri”
“Tak masalah
aku berbeda dengan orang tuaku”
......
Terbentanglah
jarak psikologis, jarak ideologis dan jarak-jarak yang lain, sekalipun mereka
tetap satu rumah.
Para orang
tua ini butuh energi besar untuk mengarungi jarak tersebut. Mereka rela banyak ‘mengalah
‘ untuk meraih kembali masa-masa yang tak dapat di putar ulang.
Memang
hidayah milik Allah. Memang sejarah anak kita belum selesai. Demikian pula
sejarah kita. Jadi semoga masih ada harapan.
Bersyukur
jika ada orang tua yang mau memulai ulang menuliskan sejarah baru bersama
anaknya.
Bukan sekedang
blaming dengan mengatakan:
“Saya sudah
berusaha, namun anaknya memang susah diatur...”
“Memang anakku
wataknya keras begitu”
“Itu
terpengaruh teman-temannya...”
Orang tua
hanyalah manusia biasa. Bukan nabi ataupun rasul. Mungkin dalam sikap
kondisionalnya ada salah, khilaf dan ketidak sengajaan. Dan juga ketidaktahuan.
Namun tak ada kata terlambat untuki memperbaiki.
Saya selalu
mengajak diri sendiri untuk memulai dengan taubat. Saat seseorang merasa punya
masalah dengan anak atau suami atau orang lain, mulai saja dengan taubat.
Mohon ampun
pada Allah dan meminta maaf pada si anak. Itu yang disebut restart, memulai
dari nol.
Mohon ampun
pada Allah disertai muhasabah, apakah
kita telah sempurnakan kewajiban ibadah kepada Allah dengan sepenuhnya? Terus
tambah taqarrub dengan ibadah wajib
dan raih cinta Allah dengan ibadah sunah. Hiasi dengan kemuliaan akhlaq.
Lalu kepada
anak, mulailah dengan meminta maaf.
“Maafkan
bunda ya nak. Sebagai manusia pastilah bunda punya salah padamu. Bahkan mungkin
banyak. Bunda ingin memulai dengan benar. Memulai lagi menjadi sahabatmu.
Maafkan bunda untuk semua keterlanjuran...”
Permintaan
maaf yang disertai perubahan sikap kita.
Biarlah anak
heran dan mencerna. Mungkin butuh beberapa waktu baginya untuk menyambut itu. Tapi
bersabarlah untuk terus mendekat meraih hatinya.
Sebagian
orang mungkin punya pendapat sebaliknya:
“Mengapa aku
yang harus minta maaf? Bukankah aku telah berusaha menjadi orang tua yang baik.
Dan kini kenyataannnya anakku yang banyak berbuat salah dan menyakiti hatiku...?’
Huff.
Kalau pernah
dengar istilah orang tua yang durhaka kepada anak, ya kira-kira inilah contohnya.
Merubah
orang lain haruslah dimulai dengan merubah diri kita menjadi lebih baik. Mustahil
memaksa anak menjadi lebih baik jika orang tua tak merusaha menginsyafi
dirinya.
Duuh panjang
banget, apa hubungannya dengan judul di atas?
Mengingatkan
saja, bahwa menjadi orang tua adalah kontrak seumur hidup, 24 jam sehari dan 7
hari dalam sepekan. Tak ada cutinya. Sejak mereka dalam kandungan hingga
terlahir dan dapat mendengar, melihat atau memikirkan dan merasakan.....dan selamanya sampai ajal menjemput.
Mereka
belajar cepat setiap harinya, mencerna dan menyimpulkan.
Oleh karenanya
jangan lewatkan satu hari saja, atau
bahkan satu jam saja dengan mengabaikan anak kita. Apalah lagi memberi contoh
buruk, memberinya beban diluar kesanggupannya...
Godaan era
gadget sekarang bukan hanya anak tersisihkan oleh pekerjaan orang tua, tapi
juga sosialita orang tuanya.
“Mamah pilih
aku apa Facebook?”
“Papah pilih
aku apa hp?”
Kira-kira
itu pertanyaan anak sekarang.
Segera letakkan
gadget anda, peluk dan cium dia. Temani bermain dan belajar, sebelum anda
menyesal 10 atau 15 tahun lagi.
Anak kita
semestinya menjadi hal penting dalam hidup kita.
Saya juga
sedang dan terus berjuang misalnya di sini.
Tentang rahasia
nasehat yang didengarkan, baca di sini.
terima kasih mak, udah diingatkan...
ReplyDeleteSama2. Saya sedang bicara pada diri sendiri juga
DeleteTerima kasih sudah diingatkan, Bu.. Semoga saya belum terlambat, karena si sulung baru 3,5 tahun.. :)
ReplyDeleteYuup mari hiasi harinya dengan cinta dan perhatian
Deleteindeed, saya sudah berpikir gitu sii mak, makanya mau memperbaiki diri... well, anak itu penyelamat kita kalau kita mati nanti, iya kan? kalo bekalnya ga full, yang mau nyelametin kita siapa? huks huks...
ReplyDeleteiya bener banget. anak yang berbakti jadi jalan syurga untuk orang tuanya.
Deleteterimakasih sudah mengingatkan mak,,,, hiks hiks
ReplyDeleteiya maks hiks...hiks
DeleteTerima kasih Bu...ini menjadi pengingat bagi kita orang tua...
ReplyDeleteMemang anak adalah anugrah yang terindah...sudah selayaknya kita orang tua mensyukurinya dengan memberikan porsi lebih dari kehidupan kita untuk membersamai mereka, berkontribusi lebih dalam pembentukan karakter dan potensi mereka. Karena pada akhirnya kita lah orang tua yang akan di minta pertanggung jawaban oleh Allah SWT di akhirat kelak akan titipan amanah-Nya, yakni anak kita.
Bener bangets makasih ya udah berkunjung
DeleteThanks mak
ReplyDeletesama-sama . makasih udah mampir
DeleteTerima kasih
ReplyDeletekembali kasih mak een
DeleteSaya simpan sebagai tabungan saya nanti. Juga untuk saya bagikan ke yang lainnya. :)
ReplyDeletesilahkan, moga kelak jadi bunda sholihah amiin
Deleteiya bener juga ya mak...
ReplyDeleteyuup mak
Deletejadi sedih bacanya mak, semoga belum terlambat memberi perhatian kepada anak. ini juga yg membuat saya ingin segera berhenti kerja
ReplyDeleteya mak...waah jadi pengin peluk anak ya....
DeleteMbak....saya ibu yg bekerja dr gelap pulang gelap, tp urusan makanan & keperluan anak saya pegang sendiri, kecuali ketika saya bekerja. Anak2 makan makanan yg saya masak. Dr jam 3 pagi saya sdh menyiapkan semua keperluan anak2 sampai saya pulang, langsung anak2 saya take over lg, memasak u/ makan mlm, belajar & menidurkannya. Stlh itu saya msh menyiapkan bahan2 u/ masak bsk pagi. Saya sll menanyakan sarapan apa yg mereka mau, bekal apa yg mereka inginkan & makan siang apa yg hrs saya siapkan. Anak2 jarang jajan krn saya membuat camilan kesukaan anak2 sendiri. Rata2 saya tidur diatas jam 11 mlm. Hr libur anak2 ga boleh sama pengasuhnya, saya yg urus. Dr mulai sarapan mengantar jemput sekolah, istilahnya semua. Emang ga capek begitu setiap hari? Yaaa capek lah, tp itu yg hrs saya lakukan krn tanggung jwb sbg ibu & saya melakukan itu lebih dr 25 th. Anak2 lbh memilih masakan saya & anak2 sangat dekat dgn saya sampai saat ini. Si kk udah 26th yg tetap minta bawa bekal ke ktr & si ade..udah semester 5. Kami begitu kompak seperti teman yg saling sharing tetang apa saja. الْحَمْدُلِلَّهِرَبِّالْعَالَمِينَ Mbak. Memang saya melihat kecenderungan ibu2 jaman sekarang, melupakan tugas utamanya u/ mengurus rt & anak2, tp bkn hanya terjadi pd ibu yg bekerja diluar ktr loh, ibu2 yg tidak bekerja pun tdk menjamin anak2nya baik.
ReplyDeleteSalut mba ningsih Ali, betapa besar pebgorbanan seorang ibu. Yap betul ibu bekerja di luar maupun di rumah sama2 harus merenung, sudahkah kita menjadi ibu yang baik bagi anak2 kita?
Deletebeginilah contoh ibu yang selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. empat jempol deh mbak ningsih. makasih sudah berbagi tips....
DeleteSubhanallah, trmksih sdh diingatkan bu ida n bu nigsih, salut banget sama bu nigsih. smg sy bs berubah mnjadi ibu yg makin baik buat anak2. Ini tulisan saya... monggo mampir...
Deletehttp://jilbabcantiqmalang.blogspot.com/2014/10/belajar-menjadi-ibu-sepanjang-hayat.html
Maak, ah tulisan ini membuatku kemali merenung. Meski selalu di rumah bersama anak, aku aja merasa anak berguitu cepat besarnya. Biarlah rumah sedikit berantakan, biarlah resolusi sedikit terlambat dicapainya, yang penting mereka tak terabaikan ya maak :)
ReplyDeleteyuup benar mak. barang retak bisa diganti, rumah berantakan bisa diperbaiki...namun jiwa anak matri terus kita rawat agar berkembang sehat dan uth. makasih udah mampir
Deletepesan yang baik sekali buat para orang tua..
ReplyDeletesaya belum berkeluarga mba, tapi kalau lihat temen bicara main hp atau fban juga kesel rasanya..
ya mbak tina...hehe semoga kelak selalu ingat saat menjadi orang tua
Deletesaya pegang gadget nih mbak sekarang hehehe tapi anak-anak lagi sekolah, nanti pas pulang udah selesai deh bw nya. Terima kasih sudah diingatkan
ReplyDeletehihi mama Cak vin pastilah mama penuh perhatian dan cinta. makasih udah mampir
DeleteMakasih Mba Rahmi. Semua memang butuh tekad dan perjuangan, selamat berjuang ibu2
ReplyDeleteselamat berjuang semua...setiap lelah ada nilainya di sisi Allah
DeleteTerima kasih mba untuk nsehatnya, ini akan sangat berguna apalagi buat saya jika memiliki sebuah keluarga suatu saat nanti. Semoga nasehat ini tetap saya ingat :)
ReplyDeletesaya doakan segera berkeluarga dan jadi ayah dan suami yang baik
DeleteYa begitulah Mak, saya jadi mikir apakah dengan jadi ibu yang bekerja tetap bisa jadi ibu yang baik bagi anak-anakanya?
ReplyDeleteTapi insya Allah bisa ya, berkaca pada ibu-ibu bekerja yang juga sukses jadi ibu teladan. :)
sip mak. belajar dari orang lain memang penting....makasih udah mampir
Deletejustru saya sangat bersyukur karena orang tua ku nggak ngerti pake internet, haoe juga ala kadarnya, so, perhatiannya pada kami anak-anaknya full time :) tengkiyu share ilmunya mak,
ReplyDeletesama2 mak
DeleteWaduh, ada yang sampai memilih murtad ya, Maaak.
ReplyDeleteada mak. alhamdulillah beberapa tahun kemudian balik ke rumah ortunya dan masuk islam kembali.
DeleteIzin copas ya Bu. Semoga ALLAH selalu memberkahi Ibu dan keluarga. Aamiin
ReplyDeleteamiin silahkan. mohon cantumkan link url postingan
Delete