(Ini adalah kisah
Ibu sahabatku, seorang ibu yang merawat tiga penderita kanker dan memiliki
anak-anak yang bermasalah hukum)
“Biarlah kuurus
anakmu yang sakit-sakitan ini...” kata perempuan muda itu pada adiknya.
Ya ia bukanlah
perempuan yang kaya raya, tetapi hatinya seluas samudra. Melihat adiknya yang
kesulitan ekonomi di pelosok Gunung Kidul itu, ia menawarkan diri mengambil
anak angkat, salah satu kemenakannya.
Kemenakan perempuan
berusia tujuh tahun itu badannya ringkih. Sejak kecil sakit-sakitan. Tubuhnya
kurus dan pucat menagih iba pada setiap yang memandangnya. Bude yang akan
mengambilnya telah memiliki 2 anak lelaki, jadi ia mengambil kemenakan
perempuan, sebut saja Lastri.
Demikianlah
kesehatan Lastri membaik dalam perawatan budenya yang punya usaha katering
kecil-kecilan. Dengan itu makanan dan gizi Lastri tercukupi. Tak seperti kala
bersama emboknya di gunung, lebih sering makan nasi tiwul lauk oseng pepaya
atau sayur rebung tanpa gizi memadai. Mereka hanya bisa makan hasil kebun
karena tak punya cukup uang uang berbelanja.
Kakak angkatnya
yang juga sepupunya tidaklah bisa dikatakan baik. Mereka cenderung nakal dan
suka merepotkan ibu angkatnya. Namun setidaknya mereka tak pernah
mengganggunya.
Setelah mengambil Lastri, Amini memiliki satu anak lagi, laki-laki.
Setelah mengambil Lastri, Amini memiliki satu anak lagi, laki-laki.
Dalam keadaan fisik
yang lemah, budenya tetap menyekolahkan Lastri, hingga lulus SMA. Lastri lalu
menikah dengan pemuda pilihannya. Di kemudian hari ia menyadari bahwa ia telah
salah pilih.
Pernikahannya tidak
bahagia. Suaminya meninggalkannya saat tahu Lastri menderita anemia yang berat
pada masa kehamilan pertamanya. Ternyata ia menderita kanker darah. Tentu
karena ia sedang hamil, maka ia tak bisa berobat. Setelah melahirkan bayinya,
Lastri makin terpuruk.
Budenya tetap
telaten mengurusnya, akhirnya Lastri meninggal hanya beberapa bulan setelah
melahirkan bayi kecil. Cerita Lastri memang telah berakhir, namun kisah hidup budenya
yang sebut saja namanya Amini, terus berlanjut.
Sekarang ia punya
momongan bayi kecil sebatang kara, cucu dari anak angkatnya. Namun ia
mengajarkan si kecil ini untuk memanggilnya ibu. Setiap kali menatap si bayi,
Amini akan berurai air mata mengenang penderitaan hidup ibu bayi itu. Juga
menerawang masa depan si bayi yang diberi nama Dewi.
Dewi tumbuh
sehat dan pesat. Itulah matahari
dalam keluarga ibu Amini. Tiga anak lelakinya bak berandalan. Mereka menjadi
nakal dan susah diatur karena pengaruh salah pergaulan.
Setiap kali sedih
dengan anak lelakinya, ibu Amini menghibur diri dengan kelucuan Dewi.
Adapun ayah Dewi, entah dimana dan entah bagaimana kabarnya.
Kegembiraan tak
selamanya hadir. Datang berita bak petir di siang bolong. Suami Amini
terdeteksi menderita kanker paru. Ya ia memang perokok berat yang tak mau
insyaf. Telah lama batuk-batuk namun tak jua mau berobat. Setelah sesak tak
tertanggungkan dan batuk darah, barulah ia mau periksa. namun
Sekarang Amini
merawat suaminya. Selama lima tahun ia banting tulang, menghidupi keluarga dan
membiayai pengobatan suaminya. Usaha kateringnya hampir bangkrut lantaran
kurang terurus.
Sekian waktu dalam
penderitaan yang sangat, suaminya akhirnya berpulang. Air mata Amini tumpah
merelakan tubuh kurus belahan hatinya memasuki liang lahat. Amini kembali
tenggelam dalam lembah duka yang dalam.
Dewi adalah
penghiburnya lantaran pada masa SD itu Dewi sering menjadi bintang kelas dengan
kecerdasannya. Kasih sayang Amini tercurah untuk Dewi yang belum begitu faham
asal-usul dirinya.
Adapun tiga anak
lelakinya. Sungguh adalah ujian yang lainnya.
Musibah datang
silih berganti. Anak pertamanya kena narkoba, hingga harus direlakannya masuk
ke panti rehabilitasi narkoba setelah tertangkap polisi. Anak keduanya masuk
penjara karena ikutan gengnya mencuri di sebuah toko.
Bayangkan seorang
janda paroh baya. harus mengikuti sidang-sidang dan menengok putranya di
penjara. Membantu putranya yang melepaskan diri dari jerat narkoba. Dan
membiayai seorang cucu angkat yang sebatangkara.
Dunia seakan kiamat
pada tahun itu. Amini terhempas dalam jurang yang dalam. Dalam proses hukum itu
ia berkenalan dengan seorang polisi duda yang jatuh kasihan padanya. Singkat
cerita si polisi banyak membantunya dan akhirnya Amini sepakat untuk menikah.
Sesungguhnya ia teramat lelah menjalani hidup sendirian dalam kubangan masalah
yang begitu berat.
Bayangkan, kemarin-kemarin
seringkali pada malam hari ia harus berkeliaran mencari putranya yang tak
kunjung pulang. Kadang ia harus memapah si sulung yang mabuk berat untuk bisa sampai
ke rumah pada dini hari. Amini berharap, seorang lelaki pendamping hidup akan
menguatkannya. Sekalipun usianya sudah hampir 50 tahun.
Namun siapa yang
tahu tentang masa depan?
Tak lama, hanya
beberapa bulan setelah menikah, ternyata sang suami jatuh sakit. Makin lama
makin berat. Vonis itu datang. Suaminya, polisi yang gagah perkasa itu
mengidap kanker usus besar.
Mula-mula hanya
sering berdarah saat buang air besar. Dikira ambeian biasa. Dalam pemeriksaan
yang intensif karena kondisi fisiknya menurun drastis, datanglah kepastian itu.
Dunia kembali gelap
bagi Amini. Anak pertamanya belum lagi keluar dari panti rehabilitasi. Anak
kedua masih dipenjara. Dan kini untuk ketiga kalinya. Ia harus merawat
penderita kanker.
Amini memang
terlahir sebagai perempuan kuat. Ia dengan penuh ketabahan menjalani semua.
Bersama Dewi yang beranjak remaja, mereka bahu membahu mengurus pasien dan
menjalankan usaha kateringnya.
Dalam keadaan
ekonomi yang berat, mereka terus tegak melawan badai rumah tangga.
Merawat penderita kanker
usus besar itu lebih berat lagi. Suaminya tidak bisa buang air dan harus
dibuatkan lubang pembuangan. Setiap kali harus dirawat dari infeksi sekunder
dan baunya luar biasa.
Allah Maha Besar. Keadaan
sulit ini yang membuka hati anak pertama dan kedua. Hidayah telah datang.
Melihat tubuh
ibunya yang makin kurus dan terus bekerja lembur untuk menghidupi keluarga, dua
anak lelaki ini menjadi sadar. Saat mereka keluar dari tempatnya masing-masing,
mereka seolah terlahir sebagai jiwa yang baru. Mereka bekerja keras membantu
sang ibu mencari biaya hidup dan pengobatan.
Tuhan berkehendak
lain, setelah semua daya upaya, sang suami itu akhirnya meninggal.
Amini kembali
berkubang duka. Namun ia tak bisa lama-lama meratapi nasibnya. Kenyataan hidup
harus dihadapinya. Kini dua anaknya telah bangkit sedikit demi sedikit bisa
membantunya membiayai kuliah Dewi.
Apakah derita Amini
telah berakhir? Ternyata tidak juga.
Kabar buruk datang
lagi. Penyakit gula darah kini menjadi jodoh baru melalui masa tuanya. Sudah agak
terlambat mengetahuinya. Amini terpaksa berhenti bekerja. Ia harus menjalani
diet ketat untuk menjaga kesehatannya.
Saya bertemu Ibu
Amini, sebagai pasien gula ia nampak tegar, sehat dan ramah. Sekalipun
gurat-gurat derita telah terprasasti pada wajahnya. Namun ia tak
mengeluhkannya. Termasuk saat ia tak dapat lagi merasakan sakit karena
pengaruh penyakit gulanya.
Mozaik kisah
hidupnya telah menguras air mataku.
Setiap kali saya
tercenung dan bertanya-tanya...adakah perempuan yang sekuat Amini?
Catatan: Saya
pernah minta ijin untuk membuat novel kehidupan ibu sahabatku ini. Karena belum
kesampaian, kutulis saja dalam kisah pendek ini.
Berat perjalanan Ibu Amini ya Mak Ida. Namun sungguh beliau orang yang sangat kuat dan tegar. Berkali-kali kehilangan namun berkali-kali mampu menjalani jalan hidupnya. Semoga bu Amini bisa mengatasi penyakitnya.
ReplyDeleteAmiin...mengamini semua doa kebaikan
Deletewaduh sedihnya cerita kehidupan ibu amini ya mbak ida, tapi memang sungguh luar biasa kuat dan tetap tegar beliau.
ReplyDeletebener perjalanan hidupnya membuat kita tak layak mengeluh
Deletewah alhamdulillah gak sabar nunggu baca lewat buku ^-^
ReplyDeletehehe doakan sempat menulis ya
DeleteYa Allah, ujiannya banyak sekali...ujianku ternyata belum seberapa :(
ReplyDeleteiya mak. hidup ini menjadi berat pada sebagian orang
DeleteMasya Allah Mak ... mewek saya membacanya. Perempuan sekuat bu Amini ujiannya dahsyat sekali ya. Semoga surga balasannya
ReplyDeleteAmiin mak mugniar. kapan-kapan saya ceritakan kebaikan bu amini yang lainnya lagi. ia masih punya segudang kebaikan
DeleteSubhanallah... Semoga Ibu Amini selalu dilimpahi kasih sayang teramat banyak dari Allah... amiiin
ReplyDeleteamiin...alhamdulillah walaupun masa tuanya tetap berat namun secara ekonomu sudah ditopang anaknya.
DeleteSungguh mengharukan , dijaman seperti ini masih ada yg kayak gitu.
ReplyDeleteenggak menyangka ya mak
DeletePerempuan langka, luar biasa ketabahannya.
ReplyDeleteYa mak, saya juga banyak bejara darinya.
DeleteTerima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
ReplyDeleteSegera didaftar
Salam hangat dari Surabaya
matur nuwun pakdhe
DeleteSaya kirim email ya padhe. japri monggo direspon
ReplyDeleteKenak banget di hati,,,,bagus cerpennya Mbak,,,
ReplyDeleteeh ini kisah nyata...
DeleteBenar-benar ketangguhan seorang ibu luar biasa! Seringkali seorang lelaki dituntut untuk kuat, tetapi dengan kesabaran perempuan lebih kuat daripada lelaki yang konon katanya diwajibkan kuat.
ReplyDeletemakasih pak taufiq...seninya harus kuat dalam kelembutan
DeleteSedihnya mak Ida.....Selamat Hari Ibu dan selamat tulisannya telah menang kontes.
ReplyDeleteWah, artikelnya menang kontesnya Pakde, Selamat yah sudah terpilih menjadi pemenang
ReplyDelete