Di Bundaran
besar kutemui kemeriahan pasar pagi. Ada banyak aktivitas di pusat kota
ini, pedagang aneka makanan sarapan maupun kudapan, dan juga rupa-rupa dagangan
lain. Banyak juga orang datang berolah raga bersama keluarga atau teman.
Banyak yang bergabung senam bersama, bersepeda, atau berseluncur dengan sepatu
roda. Juga bermain sepak bola bersama teman sebaya.
Untuk anak-anak ada beberapa mainan yang bisa disewa.
Jadilah pasar pagi ini alternatif wisata keluarga di kota Palangkaraya.
Diantara pemilik lapak ada yang menarik perhatian para
pengunjung. Barang dagangannya biasa saja, alat tulis dan perlengkapan sekolah.
Yang istimewa adalah penjualnya: beberapa anak kecil.
Terkadang muncul juga komentar orang:
"Kasihan anak sekecil itu disuruh kerja, kemana orang tuanya?"
"Kasihan anak sekecil itu disuruh kerja, kemana orang tuanya?"
Apakah mereka anak-anak yang tidak mampu? Tidak juga.
Saya beruntung bisa menemui anak-anak 'hebat' ini dan juga ayah bundanya.
Mereka adalah anak berusia kelas 2, kelas 1, dan TK. Sebut saja namanya Qonita, lalu Disya dan dua adiknya yakni 'Aina dan Dira.
Saya beruntung bisa menemui anak-anak 'hebat' ini dan juga ayah bundanya.
Mereka adalah anak berusia kelas 2, kelas 1, dan TK. Sebut saja namanya Qonita, lalu Disya dan dua adiknya yakni 'Aina dan Dira.
Awal mulanya adalah semangat berwirausaha yang diajarkan disekolah mereka. Anak-anak diajari untuk menjadi calon pengusaha oleh ibu guru
mereka. Ternyata mereka cukup berbakat.
Qonita, pemilik lapak itu, masih duduk di bangku kelas 1 SD.
Sejak masih TK kecil, rupanya ia mewarisi bakat dua neneknya yang menjadi
pedagang kelontong dan penjual tahu. Ia meminta ibundanya untuk memberikan
barang dagangan berupa alat tulis. Dijualnya di sekolah saat istirahat atau
sebelum pulang. Ternyata laku dan bahkan memiliki pelanggan.
Aktivitas itu berlanjut hingga Qonita SD sekarang ini.
Sekitar dua bulan yang lalu, ia survai tempat bersama Qodisya bersaudara.
Survei ala anak-anak ini dilakukan pada Ahad pagi saat mereka berjalan-jalan di
Bundaran besar. Pada pekan berikutnya, kongsi gadis-gadis kecil ini minta
ijin kepada ortunya untuk berjualan.
"Itu maunya dia, jadi kami turuti saja. Setiap hari
Ahad kami jadi bergantian menemani anak-anak berjualan. Tidak lama hanya pagi
sampai sekitar jam 8."
Tutur bunda Qonita.
Tutur bunda Qonita.
Pada awal buka lapak, Qonita malu-malu dan bersembunyi di
belakang bundanya. Apalagi jika ada teman sekolahnya menyambangi lapak.
Sekarang tidak lagi. Bahkan ia telah berteman dengan beberapa tetangga
lapaknya. Jika bunda berhalangan dan tidak bisa menemani, maka ayahnya yang
berjaga. Sang ayah tidak duduk manis, tapi joging keliling lapangan, dan setiap
kali mampir ke lapak anaknya.
Qonita adalah anak yang gigih dan punya cita-cita yang
tinggi. Dulu laba acara jualan di sekolah, diinfaqkannya untuk perjuangan
rakyat Palestina. Bersama kakaknya Qonita membuka tabungan donasi untuk
Palestina. Allahu akbar!
Setelah tersalurkan, ia mengetahui bahwa bundanya sedang
menabung untuk bisa berhaji. Maka gantian ia meniatkan seluruh laba tabungannya
untuk mengisi tabungan haji bundanya.
"Aku mau bantu bunda biar bisa pergi ke tanah
suci." Begitu tekatnya.
Maka bundanya menemaninya menukar uang hasil jualan yang
berupa recehan. Ditukar dengan uang lima puluhan ribu dan diantarlah oleh
bundanya, untuk melakukan setoran tunai di mesin ATM.
Qonita kecil telah bisa melakukan setoran tunai di atm dengan ditemani bundanya. Ia melihat sendiri setiap kelipatan lima puluh ribu laba jualannya, menambah saldo tabungan haji sang bunda. Subhanallah.
Minggu ini, libur dulu. |
Sejak meluaskan sayap bisnis dengan lapak di Bundaran besar,
Qonita punya mimpi baru: membeli sepeda. Oleh karenanya, ia menabung laba hasil
penjualannya di rumah, dalam kotak bekas tempat hp sang ayah.
"Sebenarnya saya bisa membelikannya sepeda, tapi
menunggu giliran setelah kakaknya. Namun Qonita berkeras untuk membeli dengan
uang hasil usahanya sendiri," kata bundanya.
Mau tak mau ayah bundanya mendukung keinginan itu. Sebagai
bentuk konkritnya, bunda yang berbelanja barang dagangan, mengantar jemput
mereka dan menemani berjualan.
Hmm memang berapa omset penjualan anak-anak itu?
Ternyata lumayan juga.
"Kadang mencapai Rp. 250.000, kadang 50.000. Tidak pasti"
Ternyata lumayan juga.
"Kadang mencapai Rp. 250.000, kadang 50.000. Tidak pasti"
Yang jelas dari acara berjualan di sekolah setiap hari dan
di Bundaran pada hari Ahad, selama sebulan ini Qonita telah memiliki aset
Rp.500.000. Modalnya Rp.250.000. Jadi sudah laba 100%. Laba yang cukup besar
untuk anak kelas 1 SD setelah dipotong biaya operasional, yaitu sarapan pagi
bersama teman-teman.
Namun uang itu belum cukup untuk membeli sepeda impian
Qonita. Bundanya telah mengantarkannya memilih ke toko sepeda. Ia menginginkan
sepeda cantik seharga Rp.800.000. Jadi ia masih bersabar barang beberapa
bulan lagi untuk mewujudkan mimpinya.
Dalam kongsi itu ada Dira yang belum berusia 4 tahun. Ia
bersemangat ikut hadir menyemarakkan lapak karena ia akan mewarisi sepeda lama
Qonita. Adapun dua kakak Dira, yaitu Disya dan 'Aina, senang dan kompak
saja menemani sahabat mereka. Setelah lelah dan haus, Qonita akan mentraktir
mereka makan dan minum di lapak kuliner yabg mereka inginkan.
Merayakan hasil penjualan. |
Saya pribadi salut dengan semangat anak-anak itu. Juga
dengan bagaimana orang tuanya telaten mendampingi dan mendukung bakat Qonita
cs. Di saat anak lain masih merengek menangis minta dibelikan mainan, minta
dibelikan pulsa atau ini itu lainnya, tak demikian dengan Qonita. Ia telah
berjuang mewujudkan mimpinya. Ia bahkan telah melakukan birul walidain dengan
mengisi tabungan haji orang tuanya. Ia juga telah mengajarkan kepedulian kepada
perjuangan rakyat Palestina.
Orang tuanya tak ingin merusak atau mematikan bakat anaknya.
Mereka menebalkan muka dari praduga atau mungkin komentar negatif orang lain,
justru demi merawat jiwa dan potensi anak-anak itu.
"Tega-teganya orang tua mengkaryakan anaknya."
Mungkin begitu pandangan orang. Tapi orang lain tahu apa?
Anak-anak itu bermain dan bersenang-senang membuka lapak. Jika dilarang justru
mereka akan sedih dan marah.
Mereka menikmati proses menggelar dan menata dagangan,
melayani pembeli, menghitung uang kembalian. Dan kegembiraan bertambah saat
menikmati acara sarapan kuliner yang mereka minati selepas berjualan. Membayar
bubur ayam dan es milo kesukaan mereka, dengan uang hasil jerih payah sendiri.
Dan kegembiraan lebih lagi saat menghitung pemasukan dan
laba. Semua adalah 'permainan' yang menyenangkan bagi mereka. Permainan
yang bisa jadi kelak akan menjadikan mereka pebisnis tangguh.
Jika anda menjadi orang tua mereka, bagaimana sikap anda?
I'm totally proud of them!
ReplyDeleteSubhanallah... keren banget mereka...
Saya juga punya impian bisa mendidik anak-anak saya belajar berwirausaha sejak kecil.
Bukan untuk mengkaryakan mereka, inshaa Allah kami dimampukan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan mereka, namun untuk melatih kreatifitas, inisiatif, daya juang, mental dan kepercayaan diri mereka :)
Makasih sudah berbagi cerita inspiratif mak :)
Semoga tercapai mak. dan dimudahkan mendampingi anak-anak tumbuh dan menemukan potensinya. amiin
DeleteSalut buat ortu nya.
ReplyDeleteKalo baca cerita anak2 Sukses, bikin aku berpikir, "ini ortu nya ngajarin nya gimana ya? Masih Kecil anaknya dah bisa Mandiri".
Makasih sharingnya, Mak Ida
sama-sama. memang perlu orang tua yang tangguh nih
DeleteJiwa empati yang tinggi dari Qonita dengan berinfak u.Palestin ...jempol 2 untukmu Nak, menabung u.bantu Ibunda pergi Haji,Allahu Akbar ..sungguh berbahagia bundanya
ReplyDeleteMakasih mbak Ida
Iya bunda. Qonita enggak banyak bicara, kecil mungil tapi keren
Delete