(Cerpen ini ditulis putri keempatku saat usianya 11 tahun, hari ini ia telah 15 tahun)
Menggapai bintang? Itulah
cita-citaku. Memang kedengarannya mustahil, tapi aku akan berusaha untuk
mencapai Rekor Dunia “Orang Pertama yang
Membawa Bintang ke Bumi”.
Mungkin setiap orang akan tertawa eh menertawakanku
jika mendengarnya. Maka, rahasia ini
hanya kuberi tahu padamu. Aku selalu mengagumi bintang yang bertaburan dan
berkelap-kelip di langit. Pada malam hari, aku sering memandanginya bersama
ayah dan ibu. Aku sungguh ingin pergi ke sana.
Aku menulis cara-cara untuk menggapai bintang.
Beberapa cara telah kutulis:
# Memohon pada ayah untuk pergi ke luar angkasa menaiki
roket bosnya ayah. ( Ayahku seorang Astronout ).
# Meminta ibu mengajari cara mengendarai pesawat /
helikopter. ( Ibuku agen mata-mata ).
# Memohon kakakku meminjam balon udaranya. ( Kakakku penyewa
balon udara di tepi pantai ).
Yah... itulah beberapa cara yang kukira bisa untuk
mewujudkan impianku.
Semua sudah kucoba, tapi selalu saja gagal, ayah, ibu dan
kakakku tidak ada yang mau menuruti keinginanku.
Inilah
kenyataan yang kuhadapi. Hari ini,
Aku sedang berada di kamar
rumah sakit. Hanya bisa tidur terdiam. Tak bisa melakukan aktivitas yang lain. Betul-betul
hanya tidur, makan, dan ke kamar mandi.
Susahnya menjadi orang yang mengidap penyakit “kanker”. Itu yang kudengar dari bisik-bisik
mereka, aku kena kanker paru-paru.
Aku hanya dapat berharap
impianku tercapai. Mungkin tiba-tiba ada bintang yang jatuh di kamarku. Mungkin
juga ada alien yang datang membawakan bintang untukku. Tapi, tentu tak semudah
itu. Itu hanyalah angan seorang anak yang mengidap penyakit kanker, okay, it is
me.
Saatnya waktu makan, suster
membawakan makanan yang menjijikkan, seperti semangkuk sayur, yang isinya
brokoli, kembang kol, kubis, wortel, dan entah apa nama yang lainnya. Aku di
paksa memakan itu. Ihhh sungguh menjijikkan. Aku tidak mau makan itu. Saat
melihat saja ingin muntah, apalagi saat memakannya, hiii. Itu seperti sayur
yang diblender, ditambah dengan isinya lagi, dan diberikan padaku. Sebenarnya kenyataannya memang tak seperti itu. Lebih
baik dari yang kuceritakan, namun bagiku itu sangat buruk.
Suatu
ketika,
Aku baru mau berbicara, sebelumnya aku tak pernah berbicara
sejak masuk ke ruangan ini.
“Ibu, bintang itu sebesar apa
ya?” tanyaku yang tiba-tiba. Ibu senang aku mau berbicara.
“Bintang itu lebiiih besar dari
bumi, sangaaat besar,” jawab ibu sambil memperagakan. Aku kembali murung.
“Ada apa nak?” tanya ibu
kemudian. Aku menggeleng saja. Lalu aku merasa dadaku sangaaat sesak. Aku
sangat susah untuk bernafas. Aku menangis. Lalu ibu memanggil dokter dan aku di
bawa ke suatu ruangan. Aku disuntik dan aku tertidur.
Aku bangun. Melihat keadaan
sekeliling. Tak wajar seorang anak perempuan berumur 7 tahun berada di sini, Terlalu
muda untuk sakit. Kata-kata ibu masih terngiang dalam benakku.
“Aku tak bisa menggapai bintang
jika bintang begitu besar,” batinku. Aku sedih, dalam hati aku menangis. Aku
terlalu sedih hingga tanpa sadar aku mulai menangis. Ibu kaget dan ingin
kembali memanggil dokter, tapi kucegah.
“Jangan,”
kataku sambil menggenggam tangan ibu.
Tiba-tiba
sesaknya menyerang kembali dengan ganasnya. Aku menangis sambil
meraung-raung dan menggeliat. Tangan ibu
yang semula kupegang kulepaskan. Dadaku sangat sakit seperti dipukul
menggunakan pemukul kasti berkali-kali. Sangat sakit. Aku tak tahan menahannya.
Entah apa yang harus kulakukan selain menahan.
Dokter kembali dengan ibu. Aku
ditenangkan. Tapi tak bisa. Aku terus menangis. Sampai akhirnya aku mulai
tenang. Lama-lama semua itu surut, kecuali sesaknya. Semakin menyesakkan.
Aku berbisik pada ibu, “Bawakan
bintang ke bumi, dan tercapailah impianku ...Terhembuslah nafas terakhirku.
Mataku tertutup untuk selamanya. Namun seolah aku bisa melihat Ibuku menangis
sesenggrukan.
Esoknya...
Inilah hari pemakamanku. Aku
dibawa ke kuburan. Ada orang yang menggali, setelah itu aku dimasukkan dan
ditimbun. Orang-orang berdo’a. Ibuku menangis lagi. Wajah ayahku sedih. Tak
pernah kulihat ayah sesedih itu. Biasanya wajah ayah seharusnya selalu ceria.
Semua orangpun pergi, kecuali ibu. Ibu memeluk
batu nisanku sambil menangis, menangis dan menangis.
Ibu dan ayah akan
mewujudkan cita-citaku. Bulan depan mereka
berangkat untuk misi ilmiah. Ayah dan ibu beserta tim yang lain berangkat
menuju bulan, bukan ke bintang, Kata ibu kita tidak mampu mencapai bintang. Bintang
sangat panas.
Perjalanan ke bulan tentu sangat
lama. Akhirnya sampai juga. Lalu ayah
membawa batu bulan yang besar ke bumi.
Butuh waktu yang lama juga untuk sampai ke bumi, tapi mereka kembali dengan
selamat. Tercetaklah Rekor, bahkan Rekor Dunia “Orang Pertama yang Membawa
Bulan ke Bumi”.
Ibu teringat, saat –saat terakhir hidupku. Ibu menangis lagi.
Seandainya bisa, aku ingin menghiburnya :
“Jangan sedih ibu, aku sudah
bahagia di sini. Aku senang ibu telah mewujudkan impianku”.
Walaupun ibu tak pernah
mendengar suaraku, hanya desau angin di sela pohon kamboja.
karya : Kuni Hamda Abida (11 tahun)
waw mbk kuni pinter bikin crpen.. keren mak.. saya saja ga pernh bikin cerpen nih.hehehe
ReplyDeleteMakasih mak...mungkin karena dia suka membaca sejak SD jadi kata-katanya berwarna...hehe
ReplyDelete