Penulis bersama TKW yang rajin mengaji |
Ini cerita oleh-oleh dari Johor.
Aha33d malam, saya diajak seorang
teman untuk mengisi pengajia3333333een di kilang (pabrik) di Senai. Kami berkendara malam
itu berangkat dari hotel Austin Paradisoe tempat saya men33333ginap selama di Johor.
Penuh harap saya menempuh perjalanan sejauh kurang lebih 30 menit. Tak lama
kemudian kami sampai di kawasan pemukiman mirip flat-flat yang cukup banyak. Mereka
menyebutnya hostel. Di salah satu hostel, kami parkir di tepi jalan depan
gerbang masuk. Hostel ini khusus perempuan, maka laki-laki dilarang masuk.
Saya sempat memasuki salah satu ‘rumah’
di lantai 3, tempat tinggal mbak Ita, salah seorang peserta pengajian yang
kebetulan dari Eromoko, Wonogiri, daerah asalku. Pengajiannya sendiri bertempat di
mushola yang terletak di lantai dasar. Setelah berbasa-basi, kami memulai pengajian yang
dihadiri sekitar 25 orang TKW dan disertai Wardan atau kepala asramanya.
Wardan
di hostel ini orang asli Malaysia yang juga menjadi pekerja kilang. Ia sangat
mendukung kegiatan pembinaan pekerja kilang. Saya hanya memesankan untuk
senantiasa mengisi hidup dengan kebaikan, dimanapun berada. Pertemuan sederhana
ini berteman air mineral dan gorengan, macam di Jogja saja ya....
Saat ditawarkan sessi tanya
jawab, seorang perempuan berwajah tirus mengangkat tangan:
“ Nama saya Dede, beberapa bulan
lagi saya habis kontrak. Saya tak ingin lagi kembali ke sini, tapi membaca
tentang kondisi Indonesia saat ini membuat saya takut. Jika pulang nanti, saya
tak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya tidak punya ketrampilan apapun. Jika
harus bekerja, saya terlalu tua untuk memulai bekerja di pabrik. Sementara itu
konon Indonesia dilanda krisis, harga-harga mahal belum lagi kerusakan moral
dimana-mana...”
Kulihat matanya berkaca-kaca. Ia
tidak tengah mengada-ada.
“ Saya ingin tetap di jalan
kebaikan seperti ini, sudah 10 tahun saya bekerja, saya lelah dan ingin
kembali, namun tak tahu lagi apa yang harus saya lakukan. Saya hanya lulusan
madrasah, pernah 6 bulan di Indonesia, setelah 5 tahun di KL. Namun karena tak
ada yang bisa saya lakukan, maka saya kembali lagi kontrak ke Johor ni...”
Mengaji berteman air mineral dan gorengan |
Kegalauan Dede, bisa jadi potret
perasaan sebagian TKW kita. Mengapa kemudian selalu berulang mereka balik lagi
dan mempepanjang kontrak, diantara alasannya adalah “tak tahu harus melakukan apa di tanah air”.
Jika ditarik lebih awal,
kegalauan ini mungkin melanda banyak lulusan SMA atau SMK atau madrasah aliyah
di negara kita. Pada saat tuntutan kehidupan semakin tinggi, biaya hidup dan
gaya pergaulan. Sementara biaya kuliah juga naik drastis, bahkan kampus
ecek-ecek di pinggiran pun paket pendidikan hingga lulus mencapai puluhan juta.
Hanya orang miskin pandai yang beruntung yang dapat kuliah gratis, atau dari
kalangan menengah ke atas yang mampu membayar biaya kuliah. Atau mereka yang
berjiwa kuat yang nekat bekerja sambil kuliah, seperti beberapa anak
tetanggaku...Mereka yang masih meyakini bahwa pendidikanlah yang dapat memutus
rantai kemiskinan.
Lulusan SMA dan lapangan kerja
yang terbatas. Di parik mereka diperlakukan dengan tidak adil. Tenaga out
sourching dihargai dengan ijazah SMP. Padahal anak lulusan SMP belum boleh
langsung bekerja karena belum 18 tahun.
Belum lama terjadi banyak demo
soal UMR. Di Negara kita kisaran UMR satu daerah berbeda dengan daerah lain,
namun tak jauh beranjak dari angka 830 rb – 2,4 juta. Terendah di kabupaten
Wonogiri dan tertinggi di DKI Jakarta. Sumber: http://tai-herdy.blogspot.com/2012/11/daftar-umr-seluruh-indonesia-2013.html
Saya bertanya berapa gaji TKW di
kilang-kilang di Johor ini?
Konon tahun ini seputar 900
ringgit. Bruto. Artinya mereka masih harus dipotong dengan biaya tinggal di
hostel, air, listrik dan biaya permit, imigrasi dll. Konon bersihnya terima
sekitar 600-700 ringgit. Jika di kurskan nilai ringgit
sekarang, sekitar 3.700 rupiah, penerimaan bulanan mereka sekitar 2,4 juta. Memang masih lebih tinggi dari kebanyakan
pekerja di Indonesia.
Mereka tinggal di hostel, sebutan
untuk rumah susun yang disediakan perusahaan, namun biaya sewa dipotongkan dari gaji mereka. Satu kamar rumah terdiri dari 3
kamar, satu ruang serbaguna, dapur dan 2 kamar mandi kecil.. Kamarnya kecil
saja, sekitar ukuran 3x3 meter. Tiap kamar terdiri dari 5 orang penghuni. Jadi
saat semua berkumpul, ruang tengahpun penuh sesak. Pagi hari menjadi saat
tersibuk karena harus antri mandi, antri mencuci dan antri masak. Kadang
penghuni berkurang lantaran ada yang sudah menikah dan pergi ke rumah suaminya,
jadi mereka berangkat kerja dari rumah suaminya.
Mereka juga tidak dapat memilih
teman sekamarnya. Sekalipun tetap diuasahakan sesama negara asalnya, namun
berbeda asal berbeda pula selera makan dan cara pergaulan. Jika tak pandai
membawakan diri, sangat mungkin muncul persoalan. Kehidupan yang tidak mudah,
namun entah mengapa mereka masih menganggap lebih baik dari pada di tanah air.
Beberapa hostel yang lain ada yang lebih memprihatinkan dari yang saya kunjungi
ini. Ada yang tidak memiliki kamar mandi di kamar.
Rekan-rekan yang gigih berdakwah
untuk TKW di Johor ini bercerita, mereka selalu memotivasi pulang TKW dengan
membekali ketrampilan diantaranya dengan membuka pelatihan yang dilakukan tiap week end. Pelatihan ini membekali para TKW lulusan SMA atau madrasah dengan ilmu
pendidikan dasar dan pendidikan usia Dini. Mereka juga diberi bekal ilmu agama,
tahsin (diperbaiki bacaan al-qur’an) dan diajak menghafal al_Qur’an. Jika nanti
pulang ke Indonesia, mereka dapat melamar kerja di PAUD dimanapun
mereka tinggal, atau melamar kerja di sekolah Islam atau bahkan mendirikan Paud sendiri.
Menurutku, ini langkah yang luar
biasa. Teman-teman melalui wadah IKMI (Ikatan keluarga Muslim Indonesia) melakukan
banyak program untuk para TKI. Serasa tiada henti bereka merajut dari satu
program ke program yang lain.
Sebutan ‘pahlawan devisa’ saya
kira menunjukkan ambigunya pemerintah kita. Satu sisi sebenarnya pemerintah
telah disibukkan dengan kompleksitas permasalahan TKI dan TKW ini, sisi lain
pintu menuju kesana terus dibuka lebar-lebar. Pintu resmi maupun tidak resmi.
Entah kapan situasi ini akan terus berlangsung. Negara ‘mengekspor tenaga
kerja’ keluar negeri dan membiarkan mereka terbelit persoalan yang tak kunjung
selesai, belum lagi bayangan ketakutan kegalauan masa depan.
Mari kita yang memiliki
kompetensi dan kepedulian, melakukan penyadaran untuk para siswa SMA dan yang
sederajat, untuk mengasah ketrampilan dan menempa keyakinan, membaktikan apa
yang dimiliki untuk negeri sendiri. Mengurangi tenaga kerja kasar yang dikirim
keluar negeri adalah bagian dari menaikan harkat dan martabat bangsa.
Hey, ini baru pemikiranku, lantas
apa jawabku pada Dede dan kawan-kawan, sekitar 25 TKW yang malam itu masih menatapku
penuh harap?
Baca di bagian ke dua ya.
Bersemangat berangkat seminar dengan 'bus pekerja' dan membawa bekal makan siang. |
mak...bicara mengenai pekerja migran Indonesia memang perasaan bercampur aduk...antara miris dengan nasib yang tidak selalu berpihak, bangga karena mereka punya semangat tinggi untuk memperbaiki nasib, dan geregetan dengan oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang sering membuat mereka terpedaya..tapi itu baru satu sisi mak...kalau mau liat akar permasalahannya, maka kondisi dalam negeri harus diperbaiki..kala di dalam negeri orang sudah sejahtera, TKI pun akan mengalami pergeseran..baik dari segi sektor, hingga kuantitas dan kualitasnya...tidak mudah mak..bahkan cenderung rumit karena banyak faktor dan elemen yang terlibat..tapi harus ada semangat untuk memperbaiki ini semua..harus!
ReplyDeletemakasih kunjungannya mak indah...saya selalu salut pada mereka yang berusaha mencerahkan...
ReplyDeletebu, kalo jadi TKW kisarannya segitu gajinya ya bu. Saya dan teman2 di sangatta cari pekerja kok yo angel. padahal gajine yo kisanran 1,2-1,5 Juta lho. itu diperumahan,,kalo di sawit sekrang per harinya minimal 100ribu. Coba pada hijrah ke KALTIOM ae buk...#kepekiran pnya LPK atau wadah unk nampung lulusan SMA/SMK agar punya ketrampilan dan bs disalurkan di Sangatta dan sekitarnya
ReplyDeleteide bagus bu...semoga segera terealisir amin....mari kita tolong generasi muda kita.
ReplyDelete