Melanjutkan catatan perjalanan Wong mBantul pergi ke Singapura. Catatan bagian pertama telah saya muat di sini.
Sempat lelap sesaat, daku
segera terbangun oleh pengumuman bahwa sesaat lagi akan mendarat di Bandara
Internasional Changi airport.
Senyatanya tidak segera.,
cukup lama pesawat memasuki awan badai. Putih pekat serasa tak berujung.
Pesawat berguncang layaknya jalan berlubang. Aku tak habis berdzikir mengusir
bayangan buruk yang sempat hadir. Cukup lama, namun bukankah waktu sangat
relatif?
Terus melaju tanpa parameter
lantaran putih pekat dimanapun, dalam guncangan yang tiada henti. Saat seperti ini rasanya dekat dengan maut. Tak
ada yang abadi, situasi sedikit mencekam itu berakhir juga. Tepat di dekat area
pendaratan, langit cerah, pesawat mendarat dengan sempurna. Soft landing.
Memasuki belalai berkarpet
tebal, kami melangkah mengikuti arus, mampir toilet, jalan lagi dan mendapati
kantor imigrasi di lantai dasar. Changi sungguh besar.
Walaupun saya tidak punya kesempatan memutarinya, tak bisa dibandingkan dengan
Bandara Jogja yang mungil. Mungkin saking besarnya, area kedatangan ini terasa
lengang.
Alhamdulillah urusan dengan
imigrasi lancar saja. Aku sedikit menyesal tak jadi membawa buku dalam kardus
lantaran ada info kalau kemungkinan akan menyulitkan di proses pemeriksaan
imigrasi Singapura. Ternyata tidak.
Keluar dari Bandara, telah
menanti mas Damar dan Hanif putranya yang baru berumur belum genap 2 tahun. Mas
Damar tinggal di Singapura sejak tahun 2004, saat menempuh S1 atas beasiswa
pemerintah Singapura. S2 dan S3 juga. Sekarang bekerja sebagai kompensasi
beasiswanya di bidang teknologi. Mas Damar ini asalnya dari Temanggung. Istrinya bernama Dewi.
Kejutannya adalah, mbak Dewi berasal dari Minggir, Sleman.Ternyata cuma tetangga.
Hari ini kebetulan mbak Dewi sedang ke Jakarta untuk mengurus aplikasi beasiswa
S3. Senang bertemu dengan keluarga muda yang penuh semangat.
Kota Singapura
Menyebut kota rasanya aneh
juga karena sepertimya seluruh wilayah Singapura yang kami lewati ini seperti
kota. Dari atas pesawat, yang nampak adalah gedung - gedang menjulang di sela
dedaunan. Jadi seperti dua macam hutan. Hutan beton berpadu dengan hutan
tropis.
Ternyata saat di darat, tak
jauh berbeda. Subhanallah. Aku tak bisa menahan
dzikir itu berkali- kali.Dari atas pesawat nampak kalau kota ini sangat
teratur dan bersih. Bersih sungguh. Ternyata bukan hanya dari
ketinggian, ternyata memang bersih. Setidaknya sepanjang jalan yang kami kewati
saat naik taksi dari bandara menuju apartemen tempat keluarga Mas Damar
tinggal. Bersih dari sampah, bahkan sampah dedaunan yang kubayangkan pasti
sangat banyak produksi hariannya, bersih dari gelandangan dan bersih dari
motor.
Sedikit sekali motor yang
melaju. Bahkan mungkin hanya ada kurang dari sepuluh motor yang kami temui
sepanjang perjalanan sekitar 10 km. Taksi bandara tertib memakai
argo. Sopir mengingatkan aku untuk memakai seat belt. Taksi melaju lancar di
kecepatan 90-100 km perjam. Menurut mas Damar, macet hanya terjadi di pagi dan
sore hari. Itupun tak separah Jakarta.
Hmmm Nampaknya banyak yang
harus ditiru dari Singapura sebagai sebuah kota. Paling tidak 3 hal: bersih, aman
dan tertib. Kapan tiba saatnya Jakarta dan
kota-kota besar di Indonesia bisa seefisien Singapura. Taman-taman sungguh terawat,
lebat, rimbun dan rapi. Pohon-pohon terekspos dengan baik lantaran dilakukan
pemangkasan yang rapi. Jadi pohon-pohon di tepi jalan berbaris layaknya etalasi
seni.
Sampai juga kami di
apartemen. Kami naik ke lantai 9 apartemen yang disewa mas Damar sekeluarga. Apartemen
itu berukuran sekitar 6 x 10 m. Terdiri dari 2 kamar, satu ruang tamu, ruang
makan dan dapur jadi satu, satu kamar mandi. Sebagai keluarga muda, mereka
sungguh efisien dalam perabotan, rapi dan bersih.
Kami menempati satu kamar
ber-Ac. Siang hari apartemen ini sungguh sepi padahal penghuninya jumlahnya
ratusan dalam satu gedung. Padahal gedungnya banyak dalam satu kompleks. Kami hanya
berpapasan dengan dua orang. Selebihnya hanya angin yang berbisik. Siang itu
kami pakai untuk istirahat sejenak. Satu catatan tentang Singapura yang sunyi
di siang hari.
Jalan-jalan
Setelah tuan rumah
melaksanakan sholat Jum'at, kami makan siang nasi kotak. Nasi lauk ayam sambal
dan lalapan timun dan kol, terasa enak di perut yang lapar sejak pagi. Perut terisi, kami
bersiap untuk jalan. Tujuannya tak lain ke patung ikon Singapura, merlion.
Apartemen tempat kami
transit terletak di wilayah West Coast, kami turun, menyeberang jalan dan
mencegat bus. Naik bus dapat dengan membayar tunai 1.50 yang dimasukkan di
kotak uang, atau menggesek kartu. Kartu prabayar ini bisa juga untuk naik
kereta api MRT atau untuk berbelanja. Kami turun di halte clementi untuk bergan
moda transportasi. Naik MRT itu kereta api yg cukup nyaman. Nunggunya tidak
lama, berhentinya juga tidak lama, jadi mudah memperkirakan waktu tempuh ke tempat
yg dituju.
Turun di stasiun Rafles Place dan keluar lewat Exit B. Di bawah
gerimis tipis, kami berjalan ke arah gedung perkantoran, di belakang gedung
perkantoran itu kami menyambangi Singapura river. Sungai yg membelah Singapura
ini lumayan bersih. Para wisatawan dan pejalan kaki berjalan menyusuri jalan
tepi sungai yg ditanggul tinggi. Sajian pemandangan adalah jembatan yang
artistik, di seberang jalan nampak museum, gedung-gedung menjulang memagari
sungai, juga taman-taman yang indah.
Di dekat sungai itu ada
Hotel Fullerton, berjalan ke belakang hotel ini akan sampai ke pertigaan jalan. Kami menyeberangi jalan yang
paling besar. Turun dari jalan tersebut
ke arah bawah akan melihat pinggiran laut. Nah berjalan sedikit lagi mengikuti
tepi laut patung merlion sudah dekat.
Banyak wisataan
terkonsentrasi di sana sepertinya wajib berfoto denggan latar patung ini jika
mengunjungi Singapura. Ternyata informasi yang saya dapat, ada beberapa patung
serupa dalam ukuran yang berbeda dengan versi yang sedikit berbeda, terdapat di
beberapa wilayah di Singapura.
Sedikit tentang riwayat ikon
Singapura ini saya kutipkan dari Wikipedia:
Merlion atau Singa laut (Hanzi : 鱼尾狮; pinyin: Yúwěishī)
adalah patung yang berkepala singadengan badan seperti ikan. Namanya merupakan gabungan dari ikan duyung dan
singa. Merlion dirancang oleh Fraser Brunner untuk Badan Pariwisata
Singapura (STB) pada 1964 dan dipergunakan sebagai logonya hingga
1997. Perdana Menteri saat itu, Lee Kuan
Yew, meresmikan upacara pemasangan Merlion di Singapura pada 15
September 1972.
Merlion tetap menjadi lambang merek
dagangnya hingga sekarang. Ia juga seringkali muncul dalam suvenir yang
disetujui oleh STB. Patung asli Merlion berdiri di mulut Sungai
Singapura sementara sebuah replika yang lebih tinggi dapat ditemukan
di Pulau Sentosa.
Tinggi Merlion ini 8,6 meter dan beratnya 70 ton. Patung
Merlion dibangun dari campuran semen oleh seniman Singapura, Lim Nang Seng.
Menurut kampanye publikasi Badan Pariwisata Singapura,
makhluk berkepala singa dan bertubuh ikan ini mengingatkan akan kisah tentang Sang
Nila Utama yang legendaris, yang melihat seekor singa selagi berburu
di sebuah pulau, dalam perjalanannya ke Malaka. Pulau itu
belakangan dikenal sebagai pelabuhan Temasek, yang
kemudian menjadi Singapura.
Puas berfoto, kami duduk
minum kopi di kafe tepi muara sungai untuk melepas lelah dan memperhatikan
wisatawan berbagai negara yang terus datang dan pergi. Melanjutkan perjalanan,
kami naik bus untuk menuju stasiun terdekat.
Kunjungan selanjutnya adalah
kawasan wisata Pulau Sentosa. Di sana terdapat Universal studio yang sangat
terkenal. Cara ke Sentosa Island: Naik
MRT dengan tujuan HarbourFront. Lalu dari HarbourFront ikutin papan petunjuk
arah. Bisa naik bus, train (kereta) dari Vivocity atau dengan kereta gantung. Sampai
di sana, kami berputar-putar saja melihat bangunan dan gedung yang ada.
Layaknya kawasan Ancol di
Jakarta, Sentosa adalah pulau terpisah dari pulau induk Singapura. Letaknya
sangat dekat dengan Batam. Di sana banyak atraksi yang konon menarik, yaitu:
Sayangnya di sini juga
terdapat lokasi perjudian yang besar dan buka 24 jam. Puff.
Mas Damar harus sholat asar
dan mushola sungguh jauh, maka ia mencari ruang transit bayi. Di sana ia dapat
menemukan air untuk berwudhu dan tempat privacy utk melaksanakan sholat.
Karena sudah menjmak sholat,
kami menunggu sambil mampir ke toko permen candylicious dan melihat aneka
asecoris yg dibuat serius berbentuk permen. Bahkan ada pohon permen, buahnya
bergantungan aneka bentuk permen raksasa. Di sini juga ada patung merlion
bermotif permen dan mobil permen. Membeli permen harus hati-hati lantaran ada
juga beberapa tempelan pembaritahuan bahan permen. Misal ada konten pork
gelatin atau konten alkohol.
Lelah berjalan dan
foto-foto, kami memutuskan untuk pulang karena hari sudah menjelang petang. Tak
satupun atraksi yang kami lihat, namun kami tidak kecewa. Kelak masih mungkin
untuk kembali lagi bersama anak-anak. Di area stasiun ada mall dan kami
menyempatkan berkeliling membeli obat flu untuk suamiku yang sedang menderita
flu berat. Daku sendiri alhamdulillah tinggal sedikit batuk, dan sudah berbekal
obat batuk dan aneka suplemen dari tanah air.
Malam ini kami kembali naik MRT,
naik bus, lalu mampir makan di rumah makan muslim milik orang India. Letaknya
persis di seberang apartemen.
Kembali naik ke lantai 9,
daku merasa lelah sekali dan tak sanggup lagi keteka beberapa teman berkumpul
dan berbincang hingga larut malam. Daku pamit duluan dan hanya pak Cah yang
menemani mereka berbincang. Esok perjalanan masih panjang. Semoga kami sehat
dan dimudahkan.
Catatan rangkaian perjalanan Singapura-Johor ini juga bisa dilihat di sini dan di sini.
Catatan rangkaian perjalanan Singapura-Johor ini juga bisa dilihat di sini dan di sini.
Salam kenal ya Mbak...
ReplyDeleteCeritanya seru sekali dan bisa silahturahim dengan orang Indo ya....Oya, Mbak Dewi itu memiliki kembaran kan ya? Saya belum pernah ketemu dengan Mbak Dewi. Tapi, wajahnya mirip dengan orang yg saya kenal di Swedia ini dan pernah bilang kembarannya itu tinggal di Singapura. Namanya Desi. Monggo mbak nyasar di cerita saya:http://afrinalaksmiarti.wordpress.com/2013/11/28/mama-dan-ghaisa-sepuluh-jam-jelajah-singapura/
Asik banget maak.. nemenin suami jalan2 terus yaa :D
ReplyDeleteMak Afrina Laksmiati, kemarin nggak sempat nanya ya tentang keluarga mbak Dewi...bisa jadi ya...okee nanti saya kunjungan balik. Mak Leyla Hana, iya nih seneeng...
ReplyDeleteselamat berwisataaa...senang pastinya yaa...ikutan GAku mba, tentang jalan-jalan lho...gampang kaan :D...cek di sini yaa... :D..http://indahnnuria.blogspot.com/2013/11/my-itchy-feet-2-giveaways-for-dear.html
ReplyDeleteSelalu kembali terkenang pengalaman pahit kalo liat bola biru universal studio, haha.. hape kuilang disituu
ReplyDeletesudah dapat ganti yang lebih baik kan mak Nurul Noe?
ReplyDelete