Wisuda Revo |
Sabtu, 14 Desember 2013, saya
diundang mengisi Seminar Parenting di TKIT Jabal Rahmah. Sejak awal bunda Widi selaku
panitia sudah mengingatkan saya.
“Bunda, ini TKIT rintisan, jadi
seminarnya nanti sangat sederhana dan yang hadir juga tidak akan banyak. Semua
wali siswa sekitar 60 orang sudah kita undangi, biasanya yang hadir hanya
separuhnya...”
Aku mengiyakan saja. Tak masalah
bagiku mengisi 10 orang, 100 orang atau 1000 orang. Jika saya melakukannya karena Allah, tak akan mengurangi pahala yang kuterima, amin. Maka saya tak
pernah menolak dan pilih-pilh forum. Selama ada waktu luang, hayuk saja.
Eh tapi bukan tentang TKIT yang ini yang ingin kuceritakan. Tapi TKIT yang terkait sejarah anak-anakku.
Saya selalu tertarik mengunjungi
sekolah, utamanya sekolah TK dan utamanya lagi sekolah TKIT. Mengapa? Karena
saya punya ikatan historis dan emosianal terkait dunia perTK-an ini. Diberi amanah 6 anak, tidaklah
hal yang sederhana, saya dan teman-teman mulai galau saat tahun 95-an anak-anak
kami mulai usia prasekolah.
“Kemana akan kita sekolahkan anak
kita?”
“ Ayo kita bikin sekolah sendiri
saja yang sesuai dengan visi kita?”
Demikian diskusi seru saat itu di
kalangan beberapa teman yang sebaya usia anaknya dengan sulungku. Berbekal
keberanian, tekat kuat dan nekat, kami memulainya. Saat itu sulungku berusia 3,5
tahun. Kami membuat kelas percobaan selama 6 bulan untuk mempersiapkan kelas
yang sesungguhnya di tahun ajaran baru nantinya. Kami memberi nama TKIT Salman
Al-Farisi.
Revo dan Ibu guru |
Muridnya hanya 8 orang, 6 orang
anak teman-temanku dan 2 orang anak tetangga tempat lokasi sekolah baru
didirikan di wilayah Sedan, jalan Monjali. Masih kuingat sebagian namanya:
Azka, Umar, Jundi, Farosy, Asma, Hahshoh dan Faliha. Seiring berjalannya waktu,
maka terus bertambah para murid kecil ini.
Yang kami sebut sebagai sekolah
adalah ruang tamu rumah seorang teman, bunda Tri Winarsih, yang saat itu masih
lajang. Rumah beliau adalah satu-satunya alternatif terbaik lantaran rumah telah milik sendiri pemberian orang tuanya (sementara kami para orang tua murid masih
ngontrak). Yang lebih penting karena beliau baik dan merelakan rumahnya “dirusuhi”
dengan keributan embrio TK. Jika pagi hari kami datang, mengubah ruang tamu dan
ruang tengah menjadi kelas tempat belajar. Nantinya siang saat anak-anak telah
pulang, kami gulung sekolah dan menyulap lagi menjadi ruang tamu.
Kami belum membutuhkan meja
kursi, hanya beberapa lembar tikar dan karpet sumbangan orang tua murid,
membawa mainan sendiri, peralatan makan dan lain-lain kebutuhan. Mencari dari
rumah kami yang juga belum memiliki apa-apa, barang yang bisa disumbangkan ke
TK.
Rumah bunda Tri Winarsih ini
terletak di tengan kebun. Di belakang rumah orang. Tidak berpagar pada awalnya.
Tidak ada akses jalan resmi ke rumahnya sehingga harus melewati jalanan tanah
liat yang becek berlumpur kala hujan. Tentu saja situasi demikian lumayan
menyulitkan jika anak-anak melarikan diri dan berkelana di kebun yang banyak
nyamuk atau berlarian di lorong kampung berhujan-hujanan. Di kemudian hari
akhirnya dibuat pagar untuk tidak menjadikan ‘sekolah’ ini terlalu terbuka.
Para guru juga luar biasa. Saya ingat
guru pertama ada bunda Asfiyah dan bunda Partini. Kedua beliau ini baru saja
lulus kuliah dan membaktikan diri menjadi guru tanpa gaji selama
berbulan-bulan. Kami hanya mampu memberi uang tranport Rp.20.000 perbulan
sekedar ongkos ganti naik angkot. Semoga pahala melimpah untuk beliau berdua
dan para ibu guru yang bergabung sesudahnya dan memberi kontribusi yang luar
biasa. Bunda Asfiyah bersama suaminya, sekarang menjadi owner dan pendiri TKIT
Ibnu Abbas yang memiliki 43 cabang terdiri dari PAUD, TKIT, SDIT dan SMPIT.
Studi wisata ke Museum Akmil |
Sebagai kepala sekolah pertama
adalah bunda Dra.Siti Urbayatun Psikolog yang alhamdulillah hari ini sudah
menjadi Doktor dan pengajar di sebuah Kampus swasta besar di Jogjakarta.
Waktu berlalu, dan TKIT kecil itu
makin berkembang. Setelah murid lebih banyak maka lokasi tidak lagi memadai,
maka dicari alternatif dan mendapat tempat yang lebih layak di rumah kontrakan
kepala sekolah yang baru, Bunda Muzna Nurhayati yang hingga sekarang masih
aktif di Yayasan Salman Al-Farisi. Pada masa periode bunda Muzna Nurhayati ini,
TKIT Salman berkembang pesat hingga kini memiliki 3 cabang dan sebuah SDIT.
Sempat pindah kontrak dua kali lagi di daerah Warung Boto, kini TKIT telah
memiliki tanah dan gedung sendiri.
Sebenarnya saya pribadi tidak pernah
menjadi guru, tidak pernah secara resmi menjadi pengurus Yayasan dalam TKIT
ini, namun sebagai wali siswa angkatan pertama, saya dan semua bunda wali siswa menjadi
terlibat dalam tetek bengek perTKan. Rapat evaluasia setiap pekan, dari memilih
guru, menyusun kurikulum, memilih tempat, mencari donasi dan juga mencari
murid. Eh juga menyelesaikan problem murid yang beraneka ragam. Setelah Yayasan
lebih mapan, maka kami undur diri untuk berkonsentrasi pada bidang yang lain. Manajemen
TK kemudian dikelola lebih profesional.
Sedikit yang saya sayangkan,
dikarenakan keterbatasan ekonomi kala itu, kami tidak memiliki dokumentasi foto
rumah ’sekolah’ pertama, murid pertama, kegiatan di kelas dan lain-lain. Saat
itu tidak kepikiran dan tidak memiliki kamera juga.
Begitulah kisah ikatan historis
dan emosionalku terkait TKIT. Sekarang sulungku sudah kuliah semester 7, sudah
hampir sarjana. Demikian pula teman-teman kecilnya di TK dulu. Ini masih episode
pertama.
Wisuda TKIT Salman |
Masih ada episode kedua, saat
anak ketiga siap masuk sekolah, kondisi ekonomiku masih terpuruk dan saya tak
mampu lagi membayar biaya masuk ke TKIT yang kami dirikan sendiri. Jadi apa
yang kulakukan...?
Tunggu tanggal tayangnya ya.
BTW banyak para bunda yang hingga
kini masih merintis TKIT di banyak wilayah, masih mengurusi yayasan, menjadi
guru atau aktif di komite sekolah. Setidaknya para bunda yang memilih menyekolahkan anaknya di TKIT. Silahkan yang ingin berbagi di kolom
komentar.
HIks, aku juga mau nulis ah, bagaimana kami merintis PAUD dulu.
ReplyDeleteAyoo mak, pengalaman kita juga pembelajaran bagi yang lain.
ReplyDelete