"Umi aku mau jadi juara..." rengeknya.
"Kenapa pengin jadi juara Po?"
"Aku mau dapat piala...aku belum pernah dapat piala..."
"kalau mau jadi juara itu kan harus ikut lomba Po..."kataku.
"Aku mau ikut lomba..."
Waah malam-malam mau bikin lomba apaan?
"Ayoo kita adakan lomba melukis..."
"Lombanya sama siapa?"
"Sama bang Dif..." Bang Difa adalah kakak Revo yang duduk di bangku klas 6 SD. Revo masih kelas 1. Tentu sangat aneh melombakan dua orang yang berjarak 6 tahun. Revo memahami itu.
"Ayoo kita adakan lomba melukis..."
"Lombanya sama siapa?"
"Sama bang Dif..." Bang Difa adalah kakak Revo yang duduk di bangku klas 6 SD. Revo masih kelas 1. Tentu sangat aneh melombakan dua orang yang berjarak 6 tahun. Revo memahami itu.
"Aku maunya Bang Difa lombanya betulan, nggak boleh pura-puraan..."
"Ya, bak Difa nanti betulan kok nggambarnya..." kataku.
"Betul lho, aku tahu bedanya kalau betulan
atau pura-pura..." Revo masih setengah tidak percaya.
“Betul nih, aku nggambarnya betulan...?” Abangnya
ikut tidak yakin.
“Betulan dong bang...!” jawabku sambil memutar
otak. Revo tentu tidak mau kalah, dan harus menang. Sementara tentu tak adil
jika ia menang beradu gambar dengan kakaknya. Tidak adil juga jika kakaknya
sudah menggambar dengan sungguh-sungguh dan saya ‘mengalahkannya’ hanya demi menyenangkan
Revo.
Cling...aha dapat juga idenya. Lombanya akan
kubuat dalam dua kategori!
Setelah penjurian lomba dengan dua peserta,
keduanya mendapat juara I. Revo juara kategori A, untuk kelas 1-3 SD. Bang Difa
juara kategori B untuk kelas 4-6 SD. Po dapat piala bekas punya kakaknya dulu.
Po senang sekali dan pengin terus belajar. Bang Difa yang sudah memahami acara itu,
hanya senyum-senyum saja. Dan inilah gambar Po sang Juara.
"Cerita dibalik gambar menurut penuturan Revo: Po dan bang Dif lomba sepak bola. Sedang istirahat bolanya ditaruh di atas meja. Ada lampu di atas mereka. Skor sementara 5:2 untuk bang Difa vs Revo. Lombanya masih akan terus berlanjut".
Menjelang tidur nanti, akan kuframe acara lomba kakak adik ini dengan pemaknaan. Sesungguhnya menjadi juara hanya bonus. Bonus dari etos dan kerja keras kita untuk memperjuangkan sesuatu. Juara bukan tujuan, tetapi semangat meraih prestasi, berjuang terus belajar dan berlatih itulah yang lebih penting.
Anak-anak mungkin belum memahami itu, sehingga juara bagi mereka adalah tujuan. Atau jangan-jangan banyak orang tua yang juga berfikir demikian?
Sekarang saya sedang mengikuti perhelatan
menuju Srikandi Blogger 2014 yang diadakan oleh KEB (KumpulanEmak2Blogger).
Sejak semula mengikuti ajang ini, niat saya hanyalah untuk belajar. Alhamdulillah dapat masuk 50 besar. Jujur saya
merasa belum layak untuk maju ke babak selanjutnya mengingat belum banyak yang
saya lakukan di dumay. Saya juga merasa sebagai emak gaptek yang bekerja keras
untuk memahami kemajuan IT dengan berguru pada para emak lain, para blogger dan
bahkan pada anak-anak saya.
Ngeblog bagi saya adalah satu diantara jalan
saya untuk meraih kebaikan diri dan menebar kemanfaatan yang lebih luas. Bukan
menjadi juara. Maka tak perlu pula saya berusaha membaguskan diri semata-mata
untuk meraih juara. Kalau toh ada yang mengapresiasi hobi ngeblog ini, itu
rejeki saya. Rejeki tambahan. Rejeki utamanya adalah pencerahan bagi saya
pribadi dan orang lain.
Saya membayangkan penjurian itu seperti
melakukan proses rontgent atau USG. Tak mungkin seseorang tiba-tiba membaguskan
isi perut dan dadanya agar hasil rontgen-nya bagus. Semua itu adalah aktivitas
jangka panjang yang berefek menyehatkan organ. Bukan kerja sehari dua hari dan
bim salabim hasil lab jadi bagus.
Kalau ditanya apakah senang menjadi juara? Tentu
semua senang, Apalagi jika mendapat hadiah. Hadiah euy, siapa tidak mau hadiah?
Namun jauh lebih senang dan puas jika kita telah memberikan langkah dan usaha
terbaik kita dalam segala hal. Saat demikian, terlepas orang menilai kita
menjadi juara atau tidak, sesungguhnya kita telah menjadi pemenang, mengalahkan
kemalasan, ketidak pedean dan semua hal negatif yang menjadi batu sandungan.
Jadi apakah tetap ingin jadi juara?
Tetap dong, juara di mata diri sendiri maupun
di mata Allah.
Buat para
pembaca masih ada kesempatan mengikuti GA Resensi Buku Wonderful Husband. DL 12
Februari 2014.
Link lomba dan persyaratannya lihat di :
setujuuu :)
ReplyDeleteMasuk 50 besar saja sudah termasuk juara kok Mak :)
ReplyDeletemakasih kunjungannta Salma dan Titis, memang selalu merasa juara kok tiap kali bisa posting...
ReplyDeleteTerus semanagt Mba,,,,,,,,
ReplyDeleteSalam
yang penting semangat ngeblog dan menebar kebaikan pak Indra Kusuma
ReplyDeleteMba Ida salam kenal... saya sdh pernah ketemu mba Ida waktu sama suaminya ngisi acara buat pasutri di Cimahi:D
ReplyDeleteTulisannya keren..... pengen banget ikut GA nya tapi apa daya ga punya bukunya.... lg ga boleh banyak jalan2 keluar dulu :D
salam kenal juga Ida, senang bertemu di dumay. ayooo ikutan, mintakan suami yang membelikan...
ReplyDeleteSubhanallaah... itu jleb jleb sekali ya.. pengibaratan dengan rontgent atau USG.
ReplyDeleteBarakallah, Mbak... maju terus ke babak berikutnya. Amiin
merasa belum berbuat banyak mbak...ya kalau dirontgen apa adanya.
ReplyDeleteTop deh mak Ida dan keluarga always juaraaaa.... jadi ikut terinspirasi.. trima kasih mak Ida :)
ReplyDeletealhamdulillah, dapat lagi satu inspirasi bagaimana menghadapi anak yg meminta jd juara.. :)
ReplyDeleteSemoga sukses ya bu ida dalam ajang SB2014...
Amin makasih Mak Utari, btw siap ikut GA selanjutnya...sepertinya bakal langganan juara nih
ReplyDelete