Oleh :
Ida Nur Laila
Ada seorang
ustadz yang sangat berkesan di hati para jamaah, diantara beberapa pembimbing
yang menyertai kami dalam berhaji. Beliau berperawakan kecil, wajahnya cerah,
selalu tersenyum dan mudah sekali menghafal nama orang dan sedikit hal ikhwal
jamaah yang baru dikenalnya. Dr. Mushlih Abdulkarim namanya.
Pertama
kali kami mendengar taujihnya yang singkat, kami langsung terpikat. Beliau
tiba-tiba menangis ketika membacakan do’a saat akan memberangkatkan jam’ah haji,
ketika itu kami masih di Jakarta.Betapa halus hatinya. Kami semua ikut menangis
diingatkan tentang tujuan dan niat kami berhaji.
Cara
beliau memenangkan hati jamaah sungguh luar biasa. Misalnya untuk mengingatkan
waktu sholat, tidak ada kata-kata yang sia-sia. Beliau hanya di awal
menyampaikan bahwa beliau akan membaca kalimat dzikir yang menandakan waktu
sholat jamaah akan dimulai 30 menit lagi.
“
Subhanallah... wal hamdulillah... walaa ilaha illallah... wallahu akbar...” demikian
beliau mengucap berulang-ulang.
Apakah
saat kami masih di ‘pesantren’ syauqiyah, ataukah saat di Mina, Arafah dan Muzdalifah.
Jama’ah akan bersegera bangkit, mengambil air wudhu, menggelar sajadah, duduk
bersimpuh dan ikut berdzikir. Sangat sederhana. Tanpa banyak kata-kata.
Setiap pagi,
beliau menyampaikan renungan setelah memimpin qiyamul lail, membuat kami banyak
bermuhashabah tentang jatidiri dan keberadaan kami, tentang hubungan kami
dengan Allah, tentang prilaku kami kepada orang tua, tentang hubungan kami
dengan suami, istri, anak, teman dsb. Muhashabah tentang aneka shifat buruk dan
perbuatan tidak baik yang masih saja kami lakukan...
Setiap
kali selalu saja jama’ah terisak-isak, sekalipun taujihnya diulang-ulang, kami
tidak pernah bosan. Semoga berurai mata adalah ekspresi penyesalan dan taubat.
Menjadi cahaya kesadaran untuk menjadi yang lebih baik setelah melaksanakan
prosesi haji.
Beliau
menyampaikan pengajian sehari tiga kali. Setelah sholat shubuh, setelah sholat ‘asyar
dan setelah sholat maghrib hingga isya. Kadang beliau meminta salah seorang
jama’ah menyampaikan kultum setelah shubuh sebelum beliau berceramah.
Saya
juga senang sekali dengan tadarus terpimpin yang beliau lakukan. Membaca surat
Al Baqoroh beberapa halaman menjelang waktu sholat, beliau membaca dan semua jama’ah
menirukan. Lagunya sederhana, namun sungguh fasih dan enak didengar serta mudah
diikuti. Sampai sekarang saya masih suka menirukan cara beliau membaca
al-Qur’an.
Setiap
ada kesempatan, beliau menyapa jama’ah dan menanyakan ini itu terkait kehidupan
jamaah. Komentarnya selalu menyenangkan dan yang beliau tanyakan akan beliau
ingat.
Ketika
beliau mendengar cerita tentang bagaimana saya memberikan pop mie pada seorang
kakek berkulit hitam di Muzdalifah, beliau menanyakan ulang pada saya. Dan kami
tertawa bersama mengingat bahwa saya tidak bisa bahasa Afrika dan sang kakek
tidak bisa bahasa Ingris, apalagi bahasa Indonesia. Kakek itu tidak tahu cara
membuka dan memakan pop mie. Teman saya dr. Hidayah berusaha menerangkan dengan
bahasa isyarat, bahwa pop mie harus dituangi air panas agar bisa dimakan.
Rupanya sang kakek tambah bingung. Seorang muthowif yang menyaksikan cara kami
berkomunikasi, berinisiatif membelikan air panas, seharga 1 riyal, dan
menyerahkan pop mie yang sudah siap makan itu pada sang kakek.
Yang
masih kami geli adalah bagaimana sulitnya menjelaskan tentang proses
mematangkan pop mie pada kakek tsb. Dan
ustadz mengingat kejadian itu untuk menyapa saya. Itulah perhatian ustadz pada
para jama’ah bahkan atas hal-hal kecil yang dilakukan jamaah.
Jika
teman-teman sedang antri makan dan saya melewatkannya, hanya mengambil roti
saja, padahal ustadz juga sedang mengantri, maka akan bertanya mengapa saya tidak
ikut mengambil makan. Saya hanya menjawab tidak dan tidak menjelaskan bahwa
saya sedang diet garam dan menu saat itu nasi goreng yang konon agak asin.
SYUKRAN
ReplyDeleteafwan
Deleteizin share ya bu..
ReplyDelete