Bersama
para Nenek (2)
Oleh :
Ida Nur Laila
Beberapa
orang kadang menegurku karena sering membantu nenek ini. Aku jawab, bahwa aku
berdoa pada Allah, di sini aku meringankan ibadah seorang nenek yang baru
kukenal,semoga Allah meringankan beban ibuku di rumah, di tanah air. Ibukulah
yang menunggui rumahku, mengurus anak-anakku selama aku pergi, menyiapkan
seragam sekolah dan makan anak-anakku. Menjaga bungsuku yang baru berusia 4,5
tahun. Semoga Allah memberinya kemudahan, menghilangkan lelah dan menghilangkan sakit ibuku.
Saat di
Mina, aku kadang mengantarkan nenek ke
toilet. Saat mengambilkan makan bergantian dengan teman yang lain, karena aku
kadang tidak mengambil jatah makan. Yang paling berat bagi nenek adalah saat
harus berjalan kaki dari bus ke tenda atau dari tenda menuju ke bus. Kadang bus
tidak dapat parkir ke lokasi yang dekat tenda.
Demikian
pula saat di Arofah, nenek sampai berkeringat dingin menahan sakit lantaran
perjalanan yang lumayan jauh dari bus hingga ke tenda. Apalagi saat
meninggalkan Arofah menuju terminal bus. Kami harus sering berhenti. Hingga
perjalanan yang mestinya hanya 30 menit, kami tempuh dalam waktu 2 jam. Nenek
kesakitan dan kami yang memapah bergantian kecapekan. Kami semua menjalaninya
dengan shabar. Semoga Allah mencatatkannya sebagai amal sholih kami.
Mungkin
orang lain berfikir, berteman dengan nenek tentu merepotkan. Kemana-mana harus
menuntun atau memapah. Namun bagi kami, sering kemudahan dalam proses kami
dapatkan, justru ketika kami bersama nenek. Saya contohkan adalah pengalaman
kami ketika pertama kali mengantri menuju Roudhoh. Taman syurga di Masjid Nabawi
ini, dibuka untuk jamaah perempuan hanya tiga waktu dalam sehari. Yakni pagi
jam 06.00, artinya mengantri harus sejak shubuh, bakda dhuhur dan bakda isya’.
Setelah
sholat shubuh pertama saat kedatangan , kami bersama mengantri Roudhoh. Saya dan
mbak Retna mendampingi nenek, menggandengnya kiri kanan. Kami harus pindah
posisi sampai 9 kali hingga bisa memasuki Roudhoh. Bagi nenek, tentu tidak mudah
posisi duduk, beridi, berjalan, duduk lagi, begitu terus menerus.
Sedikit
berdesak-desakan, Alhamdulillah dapat tempat tepat di bawah tempat adzan Bilal.
Kami bertiga segera berjajar untuk melaksanakan sholat sunnah. Tidak ada yang
mendesak kami atau mengusir kami hingga kami selesai sholat dan berdoa. Padahal
beberapa kali orang disekitar kami diusir oleh para asykar karena mengambil
posisi sholat di bawah tempat adzan tersebut. Kami tidak. Bahkan seorang asykar
seolah menjagai kami hingga kami selesai dan bangkit dengan kesadaran kami
untuk bergantian dengan orang lain.
Kami
bersyukur kepada Allah, mungkin kemudahan dan kelapangan tersebut kami dapatkan
justru karena kami mau sedikit repot membawa serta nenek bersama kami. Hal ini
menambah keyakinan kami bahwa tak ada perbuatan baik yang sia-sia. Semua pasti
telah dihitung oleh Allah dan mendapat balasan setimpal, atau bahkan lebih
baik.
Demikian
pula saat berumrah pertama kali. Kami membawa nenek berthowaf, subhanallah
semua lancar. Saya bisa menahan tidak batal wudhu, dan kami juga dimudahkan
disela banyaknya jamaah yang berthawaf. Justru saat tidak bersama nenek, kami
ingin thowaf, tidak kesampaian lantaran satu dan lain hal. Bahkan dari salah
satu perjalanan, kami sempat berputar-putar lama sekedar untuk mencari toilet.
Itu terjadi saat kami tidak pergi bersama nenek.
Saat thowaf
dalam prosesi haji, bahkan dua kali saya batal wudhu, hingga harus menambah
putaran 2x. jadi total mengelilingi Ka’bah 9x di lantai 3...hhhmmm bayangkan
sendiri.
Banyak
yang menilai nenek ini sungguh beruntung dan dapat mengerjakan haji dengan
lancar padahal keadaan kakinya sedang sakit. Apalagi beliau tidak disertai
sanak saudara. Aku merenungkan perkataan ini. Tidak, menurutku nenek tidak
sekedar beruntung. Beliau pastilah memiliki amal kebaikan yang membuat beliau
dapat melaksanakan semua prosesi dengan lancar. Aku mengamati kesehariannya dan
menyimak sedikit cerita kehidupannya saat
di tanah air. Kesimpulanku nenek memiliki tabungan amal rutin yang selalu
beliau laksanakan.
Sepengetahuanku
nenek orang yang sangat bersih hatinya. Tidak suka berprasangka. Bahkan ada
orang yang telah berbuat kurang baikpun kepada nenek, nenek tidak melihatnya
sebagai hal buruk yang merugikan beliau.
Nenek suka
bershodaqoh. Setiap akan bepergian, beliau menyiapkan uang untuk dishodaqohkan.
Jadi ketika saya menuntun nenek ziyaroh di suatu tempat, jika ada pengemis, nenek
minta berhenti, membuka dompet dan memberi pada pengemis. Sedang kami berjalan
sangat lambat, telah ketinggalan rombongan, nenek tetap minta berhenti sekedar
untuk memberi pada pengemis. Alhasil kami semakin ketinggalan dari rombongan.
Saya cemas, khawatir jika terpisah berdua nanti tersesat, namun nenek nampak
tenang saja.
Nenek juga
sangat pemurah, membeli oleh-oleh untuk semua menantu dan cucunya. Sampai saya
harus memperingatkan tentang banyaknya barang bawaan beliau, mengingat untuk
berjalan saja kesulitan.
Nenek sangat
rajin beribadah, sholat malam, sholat rowatib, tilawah Qur’an, berdoa. Dan lagi
sebelum tidur selalu membaca Alfatihah, surat Al-Ikhlash, Al-Falaq dan Annas.
Kemudian membaca ayat kursi dan berdzikir tashbih, tahmid dan takbir 33x.
Selain
itu nenek juga orang yang senantiasa syukur nikmat. Setiap kali mendapat sajian
makanan, beliau selalu berkata :
“ Wah
makanannya enak sekali....” Dan
memakannya dengan lahap.
Hal ini tentu membuat
kami merasa selalu diingatkan untuk mudah menyukuri nikmat Allah yang disajikan
di tanah suci. Kadang kami yang muda mengkritisi rasa dan jenis makanan yang
yang disajikan. Nenek tidak pernah mencela makanan, apa yang dihidangkan,
dinikmati dengan gembira.
No comments:
Post a Comment