Bersama
para Nenek (1)
Oleh :
Ida Nur Laila
Entah
mengapa saat berhaji aku selalu bertemu dengan para nenek. Mungkin memang
jamaah haji banyak yang berusia tua. Atau mungkin saat di tanah air aku memang
banyak bergaul dengan para nenek.
Nenek
pertama yang ingin kuceritakan adalah seorang jamaah yang bersama kami sejak
dari Jogja dan selalu sekamar denganku baik di Apartemen, di hotel Madinah
maupun di Mekkah. Entah berapa usianya tapi kalau menurut beliau umurnya 65
tahun. Posturnya tidak terlalu tinggi, berkulit bersih dan masih nampak cantik
dengan wajah keturunan Arab. Beliau berangkat berhaji sendirian, tidak ada anak
atau kerabat yang mendampingi. Memang ada saudara jauh yang juga dalam satu rombongan, namun dari kota
lain.
Aku
senang berteman dengan nenek ini karena mengingatkanku pada ibuku, walaupun
ibuku tidak segemuk beliau. Ibu Nur, demikian kami memanggilnya,adalah nenek
yang sangat bersemangat menunaikan ibadah. Semenjak sampai di Apartemen, beliau
banyak menghabiskan waktu dengan tilawah al-Quran. Aku sendiri tadinya
mentargetkan untuk bisa khatam tiga kali selama prosesi haji. Pada
kenyataannya, bu Nur lah yang pertama kali khatam pada 8 hari pertama.
Setiap
malam, beliau kutanya : “ Ibu
dapat berapa juz hari ini...? “
“4 juz
saja bu Ida “
“Subhanallah,
ibu rajin sekali. Saya ketinggalan nih...”
“Bu Ida
kan bisa pergi- pergi ke Masjidil Haram. Saya orang tua, bisanya bertilawah di
sini” kata beliau menghibur. Menghibur aku dan menghibur dirinya sendiri,
kira-kira.
Saat
itu kami masih tinggal di apartemen Syauqiyah, dan kami sebenarnya disarankan
untuk banyak tinggal di ‘Pesantren’ apartemen Syauqiyah. Maksudnya agar tidak kecapekan bolak-balik ke Masjidil
Haram yang memang cukup jauh. Sekitar 30 menit perjalanan kendaraan. Namun
kami, yang merasa masih muda, merasa sayang melewatkan kesempatan sholat jamaah
di Masjidil Haram lantaran besarnya pahala yang dijanjikan Allah. Bayangkan,
kapan lagi bisa mendapatkan pahala sholat 100.000 kali kalau bukan saat berada di Mekkah.
Mungkin
juga pengelola memiliki alasan kekhawatiran atas keselamatan jamaah, karena
tentu saja ada kemungkinan seperti tersesat, kecopetan atau mushibah lain. Hal
demikian memang terjadi pada seorang jamaah asal Sumbawa yang ‘hilang’ sejak
terpisah dari rombongan kami saat menunaikan umroh, pada hari pertama kami
datang ke Mekkah. Hingga tiga hari kemudian beliau ditemukan di halaman masjid
dalam keadaan kehilangan semua barang bawaannya dan juga hilang ingatan sesaat.
Alhamdulillah akhirnya bisa ditemukan dan pulih kembali setelah beberapa hari.
Tentu peristiwa demikian membuat pengelola travel dan para pembimbing lebih
waspada menyangkut keselamatan jamaah. Kami memakluminya.
Namun
tentu permakluman tersebut tidak dapat mencegah kami untuk bolak-balik nekat
pergi ke Masjidil haram. Hmm....
Kembali
ke urusan nenek, Ibu Nur ini menjadi penyemangat bagiku untuk lebih rajin
bertilawah. Aku merasa setiap hari harus ada yang kukejar dalam
bertilawah...dan semangat itu akan mengalahkan keinginan tidur atau rasa kantukku.
Bu Nur
juga rajin sholat rawatib dan sholat malam. Tiap malam beliau seringkali bangun
nomer satu dan membangunkan jamaah lain untuk menunaikan sholat malam. Beliau
menderita sakit lutut sehingga harus sholat dengan duduk. Untuk berjalan atau
berdiri lama, beliau juga kesulitan sehingga kami bergantian menggandengnya
jika berjalan. Aku menawarkan untuk mengambilkan makan setiap hari jika
memungkinkan, karena antrian ambil makan kadang cukup panjang. Maksudku jika memungkinkan
karena aku tidak selalu berada di tempat. Kadang aku pergi ke masjid atau ke
tempat lain.
Selama
di apartemen aku juga menawari beliau untuk menjemurkan baju ke lantai 4. Naik
tangga adalah pekerjaan berat bagi nenek, sementara lift apartemen hanya satu.
Itupun hanya muat 5-6 orang, jadi antrian lift juga panjang.
Bersambung.
No comments:
Post a Comment