Sunday, December 22, 2013

MANCING MANIA ALA DESA

Kakak pertama mancing saat liburan di Rawa Pening
Entah apakah ada hubungannya dengan acara di salah satu TV swasta atau tidak, yang jelas di kampungku sekarang sedang musim memancing. Memang sejak sebulan yang lalu saya melihat ada sepetak sawah milik salah satu warga yang disewa oleh seseorang dan dirubah menjadi kolam pemancingan darurat. Aktivitas mancing terjadi di malam hari terutama pada malam Minggu.

Kemarin sore saat saya mengisi pengajian di kampung, seorang peserta bertanya OOT.
“ Ibu, boleh saya tanya tentang hal lain?”
“Boleh saja...”
“Ini tentang mancing. Menurut ibu termasuk perjudian atau tidak model memancing yang sekarang digandrungi warga...?”
“Oya, modelnya bagaimana?”
“Mancingnya digelar perjam. Misal 2 jam pertama, tiap peserta membayar 20 ribu untuk ikut memancing. Berapapun hasilnya, itu menjadi hak dia. Trus nanti digelar sesi selanjutnya, membayar lagi 20 ribu. Yang sesi pertama tidak dapat ikan, tidak boleh ikut lagi. Kolam diisi ikan lagi. Nanti ada sessi ketiga, membayar lagi,  yang sesi dua tidak dapat ikan, tidak boleh ikut....”
“Yang pinter ya dapat banyak, yang nggak dapat ya melongo saja kehilangan 20 rb....” kata yang lain.
Ooo begitu ya caranya.

Dapat ikan walaupun kecil
Saya tidak berani menjawab lantaran belum begitu mengerti sepenuhnya sistem tersebut dan yang jelas saya tidak berhak mengeluarkan fatwa.
“ Lha kalau nggak suka dengan sistemnya, ya nggak usah ikut...” saranku untuk sementara.
“Masalahnya sekarang semua jadi suka mancing bu, sampai mereka berhutang agar bisa ikut acara mancing itu....” kata peserta yang lain.
“Anak-anak muda juga meminta uang pada orang tuanya untuk ikutan...”
Waaa....

Rupanya trend yang diciptakan ini berhasil membius warga. Yang tadinya tidak suka mancing jadi tertantang untuk membuktikan kemampuan. Yang hari ini tidak dapat ikan satupun, penasaran untuk ikut lagi esok harinya. Apalagi yang hari ini dapat banyak dan bisa dijual ke pasar dengan untung besar.... Esok lebih ketagihan lagi.

Kukira yang tergiur permainan ini hanyalah para penggemar dadakan. Depan rumahku, pak guru yang pemancing sejati, sudah melanglang buana ke banyak sungai dan kedung yang angker sekalipun, tidak tergoda untuk ikut. Baginya mancing adalah kepuasan, mengapa harus membayar dan beramai-ramai. Pak guru depan rumahku ini rela begadang sepanjang malam minggu di tepi sungai nan sepi demi memuaskan hobinya. Hasil tangkapannya untuk para kucingnya. Kucingnya memang banyak. Adapun bapak itu sendiri alergi jika memakan ikan hasil pancingannya. Lucu ya?

Adik-adik senang dapat ikan
Kembali tentang trend baru yang mulai meresahkan sebagian ibu-ibu, saya dapat memakluminya. Supirku sendiri pada suatu hari Minggu tidak bisa disuruh apapun gara-gara malam harinya begadang ikutan acara memancing. Saya sempat jengkel lantaran jadi harus jumpalitan antar jemput tetamu dan semua urusan yang lain. Hmm trend yang juga merugikan diriku.

Bagi para ibu yang mengeluh, kira-kira uang belanjanya menjadi berkurang lantaran suaminya tergoda untuk ikutan memancing. Belum tentu pulang membawa ikan. Yang punya anak lelaki juga, mereka merengek minta tambahan uang saku. Yang tidak punya uang lalu berhutang.

Belum lagi paginya, mereka yang telang semalam begadang memancing tentu menjadi mengantuk dan lesu. Kerjaan terbengkalai. Padahal namanya orang desa, tiap hari harus turun ke ladang dan tak lupa mencari pakan untuk ternaknya.
Malam hari saat saya diskusikan masalah ini dengan suami, suamiku melarangku untuk berkomentar ke warga.

“Kita lihat dulu” katanya. Suamiku memang orang yang sangat hati-hati. Saya sepakat saja. Bukankah jika dirasa merugikan, orang akan bosan sendiri dan berhenti.

Masalahnya jika kesadaran itu terlambat. Jika akibat mancing ini terlanjur mempengaruhi produktivitas, mempengaruhi kerukunan suami istri atau bahkan membuat ambruk ekonomi keluarga lantaran banyak hutang. Khawatirku jika pengelola mancing mengeluarkan jurus baru atau aturan baru untuk lebih menantang dan menarik minat warga. Lantaran pastilah mereka telah diuntungkan dengan permainan ini.

Hmm saya akan mendorong suami untuk bicara dengan beberapa tokoh masyarakat, menganalisa dampak positif dan negatif dari acara mancing mania ala desa ini. Semoga rapat warga nanti bisa mengeluarkan keputusan yang tepat, semisal melarang aktivitas itu atau mengusir penyewa lahan yang menjadi panitia even ini. Entahlah, memang saya harus menunggu sedikit lagi proses itu. Terkadang orang banyak harus merasakan sakitnya dulu sebelum menyadari bahwa sesuatu itu membahayakan.

Semestinya hobi menjadi hiburan dan hiburan itu menyehatkan. Bukan sebaliknya ‘hobi’ dadakan yang justru menguras uang dan stamina. Mungkin atas nama kegagahan dan kebanggaan. Huff.

Apakah di tempat anda ada kegitan semacam itu?
Eh, daripada mancing yang gak jelas itu, mendingan ngeblog ya...?!


Hasil acara memancing di Rawa
Ket: Foto koleksi pribadi saat liburan di Rawa Pening. Cerita selengkapnya ada di sini.

5 comments:

  1. Wah cerita tentang mancng jadi gatal tangan saya mak

    Hobby mancing ini sejak kecil. Kebiasaan mancing di bengawan solo atau rawa

    Bangga kalau pulang bawah ikan banyak

    Kalau yang cara gn kayaknya kurang sefaham ni hukumnya
    Karena memicu pemaksaan pada anak anak untuk minta uang

    Dan juga jalan waktunya yang kurang tepat

    ReplyDelete
  2. saya orang kampung tapi ga bisa mancing. Bisanya "memancing keributan" hehehe

    ReplyDelete
  3. dapat ikannya, dapat tapi kecil-kecil....alhamdulillah :-)

    ReplyDelete
  4. saya ga suka juga kegiatan mancing mak, saya sering bilang sama suami...jg punya hoby mancing...alhamdulilah suami emang ga hoby..#maafygsukamancing

    ReplyDelete
  5. Makasih kunjungannya mak enci, saya juga gak suka mancing, kasihan sama ikan yang bibirnya hjadi sumbing. makasih kunjungannya pak Hariyanto,f nugroho dan mak Titik Suswati.

    ReplyDelete