Showing posts with label kisah inspiratif. Show all posts
Showing posts with label kisah inspiratif. Show all posts

Sunday, June 16, 2019

Menjadi Insan Terbaik

Berusaha menjadi Manusia terbaik
By. Ida Nurlaila

Manteman, selamat menikmati ujung ramadhan. Semoga Allah izinkan kita menggapai kemuliaan terbaik di sisi Allah, yakni insan bertaqwa atau muttaqiin.
Tak ada khilaf dalam hal ini, sebab informasinya langsung dari Allah dalam Qs Alhujurot ayat 13 yang artinya:

"Sesungguhnya yang paling mulia disisi Allah ialah yang paling taqwa diantara kalian."

Dalam hadits juga disebutkan tentang ciri sebaik-baik manusia.
Hadits shahih tentang sebaik-baik manusia ini diriwayatkan dari Jabir.

عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير فيمن لا يألف ، ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس »

Dari Jabir, ia berkata, ”Rasulullah Saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).

Dalam riwayat lain,
Dari Ibnu Umar, bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi saw dan berkata, ”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling diicintai Allah dan amal apakah yang paling dicintai Allah Swt?”

Rasulullah Saw menjawab, ”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan."
MasyaAllah, orang yang mendapatkan kecintaan Allah.

Saya teringat acara bersama rombongan ibu-ibu pengajian sebelum bulan Ramadhan. Kami mengunjungi sebuah masjid yang indah di kawasan Sleman, Yogyakarta, masjid Suciati Saliman. Masjid ini adalah wakaf dari ibu Suciati Saliman. Bukan hanya indah, tetapi dikelola untuk banyak kegiatan yang bagus dengan manajemen modern. Tak jarang menjadi tujuan perjalanan umat Islam.

Ibu-ibu yang saya ajak berkunjung senangnya bukan main. Melihat ornamen dan pintu yang menyerupai pintu masjid Nabawi, seakan menjadi penambal rindu sementara waktu. Kami bahagia bisa berkunjung, sholat di dalamnya dan mengikuti kajian yang mencerahkan.

Bayangkan jika para pengunjung dan penikmatnya senang, apalagi yang berwakaf. Saya menangis membayangkan kegembiraan di dunia dan di akhirat ibu Suciati wanita gigih yang menjadi pengusaha memulai dengan menjual 5 ekor ayam. Kini perusahannya memiliki lebih dari 1300 karyawan. Dengan hartanya beliau memberikan kemanfaatan yang banyak.

Hari ini, jika lebih banyak lagi orang kaya, baik dari muslimin atau muslimat, yang mencurahkan hartanya untuk kepentingan dakwah Islam, betapa akan sangat bermanfaat.
Di Palestina dan negeri-negeri Islam yang masih tertindas, sangat membutuhkan uluran tangan umat Islam yang berkecukupan. Dalam aktivitas penggalangan dana Palestina , saya bertemu dengan banyak muslimah yang dengan mudah mengeluarkan harta dari dompetnya.
"Titip sejuta bu."
"Titip dua puluh juta"
"Titip lima puluh juta"
"Doakan saya bisa sedekah semilyar, Mi!"
Mereka melakukannya seijin suami, sepengetahuan suami walaupun dari penghasilan mereka sendiri.

Maka wahai muslimah, mari luruskan niat ketika bekerja dan melakukan amal apapun. Bisnis bukanlah untuk eksistensi diri, agar menjadi pengusahawati yang dihormati. Bukan untuk mandiri dan bersaing dengan suami. Bukan untuk mengambil alih tanggungjawab suami. Apalagi buruk sangka urusan rejeki. Bukan!
Bisnis dan menjadi berkelimpahan rejeki agar bisa memberikan kemanfaatan optimal untuk keluarga, masyarat dan agama.
Dakwah membutuhkan banyak biaya. Jihad membutuhkan banyak biaya. Amal solih membutuhkan banyak biaya. Jika umat Islam mampu membeli tanah lebih banyak dan mewakafkan untuk umat, maka tak ada tempat untuk musuh Islam.

Duuh penginnya para suami mendukung istri untuk berusaha menjadi kaya bersama suami. Berdua membangun peradaban Islam, bukan menjadi beban.

Mampukan kami ya Allah, menegakkan risalah dari saku kami sendiri. Saku umat Islam. Amiin.

Friday, June 14, 2019

Selesaikan Urusan

Selesaikan Urusan

By. Ida Nurlaila

"Kata ibu, aku harus meletakkan sendiri piringku ke tempat cuci sekalipun makan di rumah orang!"
Terkejut saya mendengar kalimat tersebut dari tamu kecil usia delapan tahun. Ia menolak ketika aku bilang, tinggalkan saja di meja makan, nanti saya (selaku tuan rumah) yang akan membereskan. Kuperhatikan ia menuju dapur dan meletakkan piring dan gelas kotor. Aku melarang ia mencuci sendiri.

Bagaimana pesan orang tua dapat begitu masuk ke dalam diri anak? Tentu karena berulang hingga menjadi habbit.
Menarik kebiasaan untuk menuntaskan suatu urusan sebelum berpindah ke urusan yang lain. Ini sikap mental yang mendasar wujud tanggung jawab dan adab.

Dari hal sederhana seperti saat bangun tidur, jangan meninggalkan tempat tidur kecuali setelah merapikannya. Menarik sprei hingga kencang, menyusun bantal, melipat selimut dan mematikan lampu.

Saat meninggalkan meja makan pastikan mengangkut peralatan kotor, mengelap meja, menutup sisa makanan, merapikan kursi bahkan menyapu remah yang tercecer.  Saat memasak jangan lupa mencuci peralatan segera, membersihkan kompor dan tentu mematikan api kompor. Menutup makanan, menyimpan sesuai tempat penyimpanan.

Meninggalkan kamar mandi, pastikan tidak meninggalkan pakaian kotor, sampah dan 'jejak' peninggalan di closet. Bahkan pastikan tidak ada bau pesing atau bau tak enak. Siram semua hingga bersih dan wangi. Matikan kran dan lampu. Jika perlu jangan merendam gayung yang akan membuatnya berlumut atau bernoda. Perilaku ini di kamar mandi manapun yang anda kunjungi. Saya bahkan menyempatkan menggosok lantai yang kotor jika ada alat untuk melakukannya.

Jika bertamu, jangan meninggalkan sampah di rumah yang dikunjungi. Apakah gelas air mineral, tisu, bungkus makanan atau apapun yang akan mengotori. Jika mungkin bawalah kantung plastik dalam tas harian untuk tempat sampah darurat.

Suatu ketika kami ceck out hotel di Berlin. Ketika kami meninggalkan kamar, panitia melongok dan berkata:
"Terimakasih telah meninggalkan kamar yang rapi!"
"Istri saya selalu begitu!" jawab suami saya.
"Saya sedih jika melihat tamu meninggalkan kamar hotel dalam keadaan berantakan. Alhamdulillah bapak ibu tidak demikian," pujinya.
Kami tersenyum saja.

Begitulah saya berusaha mengembalikan keadaan kamar persis seperti ketika masuk pertama kali. Tata letak barang, sprei yang licin dan kamar mandi yang bersih. Rasanya malu sendiri jika meninggalkan jejak acak- acakan, padahal tentu sprei akan diganti tempat akan dibersihkan dst.

Lihatlah betapa buruk adab saat selesai suatu pertemuan, ruangan yang semula rapi indah menjadi penuh sampah berceceran, tisu kotor dan makanan tumpah. Memang bukan kewajiban tamu membersihkan, akan tetapi apa beratnya membawa bungkus makanan sendiri dan membuangnya ke tempat sampah.

Saat makan di rumah makan, lakukan kebaikan kecil. Seperti merapikan piring gelas kotor, mengumpulkan sampah dan mengelap meja seperlunya. Tak lupa kembalikan posisi kursi seperti semula.

Dalam skala yang lebih besar, seorang yang mengontrak rumah, masuk dalam keadaan rumah rapi bersih selesai dicat ulang. Dan seringkali mereka pindah meninggalkan lantai yang kotor, dinding penuh coretan serta barang yang rusak. Kami minta ijin mengecat setelah pindahan. Tak enak melihat 'lukisan' anak-anak menghiasi dinding yang semula mulus. Kadang tuan rumah tak mengizinkan, dan menganggap hal tersebut kewajiban tuan rumah.

Selesaikan suatu urusan secara tuntas, itu juga bermakna jangan meninggalkan hutang. Berjihadlah untuk membayar hutang agar saat Allah memanggil namamu maka bebas dadi  hutang.

Yuuk menelisik diri, adakah telah menyelesaikan urusan?

Wednesday, June 12, 2019

Kerja keras takoyaki

Kerja keras takoyaki

Ramadhan kemarin saya sempat ngabuburit sekali ke jalur Gaza. Itu bukan di Palestina, tapi di daerah Nitikan, Yogyakarta. Semoga tahun depan beneran bisa ngabuburit di jalur Gaza, Palestina, amiin.

Karena kesulitan cari tempat parkir, saya memilih di ujung timur, dengan harapan pulang lebih cepat. Anak-anak sudah turun di ujung barat, biar mereka jalan ke timur, cuci mata sekalian beli mana suka.
Sambil menanti anak-anak, saya memesan martabak telur pada abang penjual, dan pamit untuk mencari menu lain. Alhamdulilah saat memesan kelapa muda ori, azan berkumandang. Setelah berbuka dengan segelas air kelapa, saya lanjut perjalanan .
Berhenti di lapak takoyaki, ingat Po yang amat sangat menyukai bulatan berisi gurita dan katsuoboshi yang menari-nari.
Ibu penjual cukup ramah melayani pembeli cerewet sepertiku.
"Sehari laku berapa porsi bu?"
"Gak tentu bu, kadang 3,4, .... 8,9. Pernah beberapa kali hanya satu porsi. Ya saya jalani!"
Hah, satu porsi?
Tahukah teman-teman, satu porsi berisi 4 bola takoyaki dibandrol Rp. 10.000.
Jadi berapa keuntungan ibu itu jika omset perhari 10.000-90.000?
"Kalau sisa bagaimana bu?"
"Bahan saya masukkan kulkas mbak, besok masih bisa dimasak lagi. Saya ngadonin dikit - dikit saja.
Saya lakonin saja mbak, rugi gak rugi. Kan buat sambilan.
Kalau mas sebelah ini yang kasihan..."
Saya sudah meneliti lapak sebelahnya, es pisang ijo.

Seorang lelaki muda beranak tiga, sarjana lulusan perguruan tinggi swasta, asal Ambon, yang tadi pamit sholat dan menitip lapak. Dagangannya masih banyak.
"Awalnya dia mau jualan martabak. Lalu tahu kalau di sana tuh udah ada penjual martabak, jadi gak enak. Beberapa hari cuma kebingungan, padahal udah bayar sewa lapak...."
Ceritanya mengalir sembari tangannya terus bekerja memutar bulatan takoyaki setengah tanak.

Iya, pedagang martabak yang tadi saya pesan, hanya berjarak 50m. Saya masih menanti lanjutan kisah.
"Kasihan sekali. Sudah hari ke tujuh, dia belum juga berjualan.  Akhirnya ada yang mengajari membuat es pisang ijo. Alhamdulilah sudah bisa. Eh masih nunggu tiga hari lagi bikin spanduk ini."
Saya meneliti tulisan sederhana print outdoor yang tertempel di gerobak.
"Jadi baru sepekan ia jualan, pekan depan udah lebaran, mana pengunjung merosot tajam, mahasiswa mulai mudik ke kampung halaman! "

Berapa saja modal mas penjual, sewa lokasi rp. 200.000 untuk sebulan. Tambah infaq harian bebas.
Tambah biaya print spanduk. Dan gerobak itu?
Entah sewa entah beli, nampaknya masih baru. Kalau beli tak cukup 1-2 juta.
"Esnya sering tidak habis, apalagi jika hari hujan... Jadi cuma kebuang atau dibagi-bagi..."
Kok saya jadi pengin nangis membayangkan tiga anak di rumah yang menanti rejeki sang ayah.
Mudik ke Ambon hanya angan-angan mengingat harga tiket melangit. Hingga saya pamit, mas pedagang belum balik dari masjid.

Saya berdoa suatu ketika bisa jumpa dan mengajaknya berbisnis online. Atau kalau tidak, semoga beliau bertemu jalan rejeki yang lebih luas dan berkah tentunya.
Orang baik selalu akan dipertemukan dengan orang baik. Apalagi jika doa-doa terpanjat sepenuh hajat.

Memang banyak dagangan serupa, dalam satu jalur Gaza. Penjual takoyaki ada beberapa, pula es pisang ijo dan aneka es kekinian. Sementara tempat mereka di ujung, sudah kehabisan keramaian.

Berapa banyak lagi kisah serupa saya gali dari pedagang kecil yang mengais rejeki Ramadhan dan Syawal. Sepanjang perjalanan mudik, setiap bertemu mereka, menangis dalam hati setiap membeli dagangan sekaligus wawancara. Satu sisi salut atas kerja keras dan kegigihan serta keyakinan atas jatah rejeki. Sisi lain ingin memberi alternatif kerja keras plus kerja cerdas.

Andai ibu setengah tua itu punya fb dan hpnya support, saya akan ajakin gabung reseller Wonderful Agency. Biar enggak perlu modal dan selalu untung setiap kali transaksi. Juga mas penjual es pisang ijo, lelaki beranak tiga yang rajin ke masjid.

Tuesday, June 11, 2019

Kenangan

Kenangan

Aku pergi ke warung, tempat kita biasa jajan pada masa putih abu, hendak membeli masa muda. Namun ibu penjaga sudah menua dan menjawab gemetar:
"Masa muda sudah sold out!"
Ia menyodorkan kenangan, tentang semangkuk kolak nenas, mie acar dan es lilin yang dulu kita perebutkan setiap istirahat.
Tetapi aku memilih keranjang basket setengah jebol yang membuat kita berjingkrakan dibawah hujan. Kala itu.
"Kau ingat pisang kepok yang kita peram di sudut kelas?"
Gelakmu seakan membelah rimbun kebun belakang sekolah.
"Dan mangga mengkal yang tidak sempat tua?"
Gelakmu makin menjadi hingga ubanmu memutih tak dapat berhenti.
"Atau hukuman lari keliling sekolah karena terlambat upacara bendera?"
Cerita pahit pun kecut kini telah menjadi kegembiraan. Begitulah hidup saat menua.
Pertemuan telah mengundang pulang semua kenangan. Sekalipun kita menjerit menolaknya, bertubi-tubi dan terus memonopoli. Tetapi tidak pernah menyakiti, selama kita tak mengizinkan labirin rasa berpihak pada kebencian.
"Ayo ke atas jembatan, menitipkan sisa mimpi yang belum sempat kita peluk. Membiarkannya mengalir bersama keruh air Bengawan Solo yang tinggal separuh, bergegas ke muara bersama sampah peristiwa."
Hoak kini adalah nyata dan tetap saja membuat gembira.
Sungguh aneh kembali muda setelah setelah sekian lama.

Untuk reuni IPA3

Monday, June 10, 2019

Lelaki di ujung senja

Lelaki tua di ujung senja

Lelaki tua meniti pematang di bawah langit senja menjingga, menjinjing ketela dan dedaunan entah apa.
Siapakah dia?
Mungkin tak penting bagi kami, para penumpang KA Wijaya Kusuma dalam sepenggal episode melintas kota dan desa sepanjang Cilacap-Jogja. Namun aku mencoba mengarang cerita, tentang sang bapak tua.
Tentulah ia seseorang yang berharga, kakek dari para cucunya, ayah dari anak-anaknya dan suami dari seorang istri, jika masih ada. Ia juga tetangga dan warga sebuah desa, seorang kerabat, mungkin pakde atau pamanda.
"Apakah ia orang baik?" tanya anakku.
"ya, ia orang baik" jawabku bukan tanpa sebab.
Sesore itu dan ia baru pulang dari ladang, membawa seikat cinta lewat dedaunan dan ketela. Untuk siapa kalau bukan keluarga. Bukankah ia lelaki yang bertanggungjawab. Kepulangannya pastilah dinanti, ketiadaannya tentu dicari, sebab ia berarti.
"Lelaki sejati... " desisku nyaris untuk diri sendiri.
Ia memikul beban dengan pundaknya sendiri. Memastikan anak istri bisa kenyang dengan yang halal, semurni hasil kebun sendiri.
Ia hanya seorang lelaki tua yang meniti pematang di ujung senja. Beberapa detik saja aku menangkap sosoknya di kejauhan. Jika engkau berjumpa tolong sampaikan salam padanya, dari seorang penyintas yang tak dikenalnya.

Tuesday, October 20, 2015

Mengenang ibu (5)

Nilapke

"Umi, neng ngendi?"
Tiba-tiba aku merindukan dering.telepon dan suara itu.
Setahun terakhir ini, kami menyempatkan sebulan sekali mengunjungi ibu. Jika saya terlambat sowan, ibu akan menelepon. Sejak sebelum ramadhan, frekwensinya kunjungan menjadi sepekan sekali. Dan sebulan terakhir bahkan sepekan dua kali.
Pekan yang terakhir itu hampir tiap hari saya bolak-balik menunggui mertua.
Terkadang bersama suami, kadang sendirian. 

Dulu saya selalu mengabarkan rencana kunjungan dan menanyakan oleh-oleh yang diinginkan ibu. Sampai hafal.
Gudeg adem ayem, garang asem, selat solo, jajannya srabi notosuman, roti boy atau bakpia.
Buahnya apel, belimbing dan pear.
Sejak sakit berat, ibu tak lagi kerso dhahar. Tiap hari hanya bubur. Maka saya bawakan abon sapi serta bawang goreng Palu.
"Enak " kata ibu tiap mendapat oleh-oleh. Dicicip walaupun sedikit, sudah menyenangkan kami.

"Umi, neng ndi?"
Telepon itu makin sering dua bulan terakhir ini. Kadang saya sedang beredar di berbagai kota. Sedih tak bisa bersegera memenuhi panggilan ibu.
"Ojo dadi atimu, ben dino tak telepon. Aku ki pengin ditiliki. Pengin ngerti kabarmu..."
"Jangan jadi beban pikiran bagimu, aku ingin ditengok, juga ingin tahu kabarmu..."
Jika menengok, yang kulakukan hanya mengaji, sambil memijit punggung ibu. Terkadang ibu tertidur saat mendengarkan. Jika aku menyudahi dan keluar kamar, tak lama ibu akan terbangun dan meminta seseorang memanggilku.
"Umi kon ngaji, neng kene!"
Hadeuh...meleleh air mata saya menuliskan ini.


Setahun terakhir ini menu oleh-oleh saya berubah. Susu Kc, chlorophyl , marie regall, dan beberapa obat yang dipesan.
Buahnya hanya anggur.
Sepekan terakhir, ibu tak lagi menelepon. Berganti kabar berita di grup keluarga yang mengharu biru. Malam Ahad saya sowan. Kondisi ibu membaik. Hari senin saya sowan lagi.

Seharian kami menunggui. Saya memijit punggungnya, membacakan 1 juz, surat Yasin serta Arrahman.
Menyenandungkan doa nabi Ayyub , nabi Yusuf dan doa kesembuhan. Membaca kalimat thoyyibah. Tanpa putus. Membujuknya ke rumah sakit, tapi ibu tidak kerso.
Pada saat Maghrib, ibu menyuruh kami pulang.
"Wis balio, wis bengi." Hanya itu kata terakhir setelah memegangi tangan suamiku cukup lama. Memegang dengan cara yang tak biasa. Ibu duduk bersimpuh di kasur. Suamiku berjongkok di lantai. Tangan ibu dan tangan suami bertaut jari jemari. Beberapa waktu. Suamiku hanya terpekur. Dan aku di sampingnya memandang dengan bersimbah air mata. Air mata yang kusembunyikan dari ibu.  Hingga ibu puas dan melepaskannya.

Ternyata itu pertemuan terakhir. Dini hari ibu berpulang.
Nilapke.
Orang jawa bilang begitu.
Selasa pagi kucium kening yang yang mulai dingin menguning. Tak lagi ada yang akan meneleponku.
Kulihat roti regall, susu kc dan anggur merah, semua masih utuh. Belum dibuka segelnya.
Ibu tak lagi pernah membukanya.
Bersyukur aku sempat memandikan dan mengkafani jasad ibu mertua. Menyolatkan dan mendoakan.

Dan kini aku tergugu, kembali merindukan dering telepon, dan suara lemah dengan nafas yang terengah oleh sesak:
"Umi, neng ngendi?"

#hari ke8

Thursday, October 15, 2015

Satu kendil

Mengenang ibu (2)

Ketika hamil anak pertama,,ibu mertuaku seringkali datang menengok. Pada bulan ke 7 beliau datang dengan sekeranjang peralatan bayi. Saya heran.
"Kalau sudah 7 bulan, itu harus cepak-cepak".
Alhamdulillah. Saya yang relatif belum punya pengalaman, mendapat pelajaran, apa saja yang dipersiapkan menjelang kelahiran.
Ada sepasang bantal guling, perlak,,kasur tipis, kelambu. Baju lengan panjang, lengan pendek, popok,,gurita,,celana panjang, kain alas ompol, kain bedong, jarik gendong. Jarik untuk alas ompol, sarung tangan dan sarung kaki. Topi rajut.
Hmm. Saya justru belajar, bagaimana memperlakukan menantu. Ibu mertua sangat santun dan hormat dalam memberikan nasehat.

Pada hari H, ibu datang menengok dan mendapati saya di rumah sendirian. Walaupun ada ibu tetangga yang empunya kontrakan. Mengetahui saya sendirian, ibu menginap dan tidak jadi pulang. Tahun 1992 itu,,ibu selalu naik bus jika datang menengokku.
Esoknya saat ibu mau kondur, suamiku datang. Beliau menegur dengan keras dan menganggap suamiku tega membiarkan istri di rumah sendirian.

Mengenang Ibu (1)

Saya menyebut ibu mertua dengan panggilan sayang: eyang.
Sama dengan saya memanggil ibu saya sendiri.
Dan memang perasaan pada ibu mertua, tak seujung rambutpun berbeda dengan perasaan pada ibu kandung saya.

Eyang, adalah perempuan yang melahirkan dan membesarkan 8 anak. Suamiku anak ke 6.
Beliau juga ibu bekerja. Tentu tak mudah melakoninya bersamaan. Kisah jatuh bangunnya menjadi catatan sejarah keluarga yang sekarang terasa manis untuk dikenang..

Eyang berpulang dengan persiapan yang matang. Kain kafan dan semua biaya pengurusan jenazah hingga berbagai prosesi setelahnya, telah beliau persiapkan. Beliau tidak secuilpun meninggalkan hutang. Justru meninggalkan berbagai hal.
Warisan keteladanan adalah yang paling berharga. Gemi, setiti, ngati-ati, tapi berpadu dengan kedermawanan yang tak terukur.

Saya ingat petuahnya pada saya ketika saya pindah dari rumah kontrakan pertama. Waktu itu saya menanam pohon mangga, belum lagi berbuah, dan harus merelakannya tak dapat dibawa pindah.

"Waah, tanam pohon dan belum panen, sudah keburu pindah" kata saya.
Bibit pohon mangga setinggi 1 m itu sengaja kami beli. Dalam waktu hampir setahun, tingginya hampir 2 m. Tapi butuh 2-3 tahun lagi untuk berbuah. Saya menatap pohon itu dengan sedih.

"Jika setiap orang berpikir seperti itu, tak ada orang mau menanan pohon mangga. Sekarang kita memakan panenan buah-buahan itu karena kakek nenek yang menanam."
Saya tercekat.

Dalam kemudaan tahun pertama pernikahan, dan merasa memiliki satu aset berharga bernama pohon mangga, seolah saya dibangunkan oleh ibu mertua.

"Menanam itu, tak harus berfikir memanen. Biarlah anak cucu kita yang akan memanen.Tugas kita menanam saja. Bukankah kita menikmati hasil tanaman pendahulu kita?"

Saya menginsyafi kesalahan. Bersyukur punya ibu mertua yang bijak.
Kulihat warisan kebaikan itu, ada pada lelaki di sampingku. Lelaki yang lahir dari perempuan mulia, dari ibu mertuaku.

Sunday, July 26, 2015

Kesudahan

Kesudahan
Saat muda, dengan kecantikan, ketampanan dan kebugaran yang prima, jangan pernah lalai.
Jangan pernah lalai bahwa kelak engkau akan menua, cepat atau lambat.
Seorang lelaki muda, cerdas dan pernah membanggakan keluarganya dengan pekerjaannya yang mengharuskannya keliling dunia, mengalami stroke pada usia belum 35 thn. Ia terkena stroke saat tugas di Perancis. Dibawa pulang dalam keadaan lumpuh separuh.
Kini, istrinyalah yang banting tulang menegakkan dapur rumah tangga dan biaya pengobatan suaminya.
Manusia tak pernah tahu, kesudahan hidupnya. Apakah selamanya akan berjaya, ataukah Allah ujikan dengan sakit dan kebangkrutan.
Maka aset kebaikan pada pasangan adalah kemestian.
Siapa lagi, yang akan rela menghabiskan sisa waktu mengurus suami yang sakit, atau istri yang tak berdaya, jika bukan seseorang yang memiliki ketulusan cinta?
Jika selama ini anda melalaikan, mengabaikan atau bahkan mendzolimi pasangan, maka bertaubatlah. Rajut kembali ketulusan cinta.
Semoga Allah kekalkan sakinah, selamanya.


Kesudahan 2
Lelaki tua itu memaki-maki. Dan memang itulah kesehariannya. Ia menderita penyusutan otak yang menyebabkan karakternya berubah 180°.
Dulu, ia adalah suami yang baik, sebagaimana lelaki kebanyakan. Semenjak menua dan menderita sakit, ia berubah menjadi pemarah dan pelupa.
Kadang ia marah pada seluruh penghuni rumah karena sarungnya basah. Tak menyadari, bahwa ialah yang telah membasahi sarungnya sendiri, dengan air kecing yang tak dapat ditahannya.
Terkadang ia lupa pada istrinya dan mengusirnya. Bahkan menguncinya di luar rumah, karena dianggapnya orang asing.
Tak ada lagi yang benar, atas apapun yang dilakukan orang-orang di rumahnya. Ia lalui harinya dengan kemarahan demi kemarahan.
Sejauh ini, istrinya yang sudah setua dia pula, adalah perempuan surga dengan sabar yang tak berbatas.
Ia tak marah sekalipun cacian adalah sajian harian. Sekalipun terkadang diusir dan disia-siakan. Ia sungguh menyadari, bahwa suaminya sedang sakit. Ia layani semua keperluan suaminya, permintaan makan yang beraneka dan kadang menyulitkan. Permintaan ini itu yang belum tentu bisa menyenangkan. Bahkan nyaris tak pernah memuaskan.
Lelaki itu, sudah kehabisan kegembiraan. Ia tak bisa lagi tertawa, apalah lagi melucu.
Rasa sakit yang dideritanya membuatnya bagai putus asa. Kehilangan ingatan pada banyak hal, juga menjadi tekanan jiwanya.
Kadang lelaki tua itu tersadar, meminta maaf dan sedikit melunak. Tapi hanya sebentar. Selebihnya, perangai kasar seolah bagian dari pribadinya.
Orang lain yang menyaksikan pasangan unik ini, kadang membatin atau berkomentar.
"Kalau aku jadi istrinya, kutinggalkan saja suami tak tahu diri itu."
"Ibu itu sungguh sabar mendampingi suaminya yang temperamental"
Bla..bla...bla...
Namun perempuan itu, tak pernah menggubris apa kata orang. Suaminya adalah suaminya. Selamanya suaminya dan ayah dari anak-anaknya. Sekalipun anak-anakpun sudah lelah meladeni sang ayah.
Ia tetap setia dan bersabar menemani suaminya. Dulu, pernah mereka jalani bersama tahun-tahun yang indah. Saat suaminya adalah ayah dan suami yang penyayang. Maka, kini ia terima pula, saat suaminya berubah menjadi sulit.
Cinta dan sayang perempuan tua itu, terlalu mulia untuk luntur karena keadaan. Kesejatian persahabatan mereka, teruji hingga situasi seberat ini.
Anda para lelaki, selalu ingatlah untuk menyayangi istri, selagi anda bisa. Tak pernah anda tahu, kesudahan apa yang menanti di ujung sana.
Dan kelak, siapakah yang akan rela meladeni jika pikun dan sakit datang mendera?
Persahabatan dalam sakinah, mawaddah wa rahmah, mari kita untai dalam hari-hari bersama pasangan. Berikan yang terbaik dan jangan kecewakan.
Jangan kecewakan.
Karena kita tidak tahu, apa kesudahan hari esok, di dunia maupun di akhirat.
Marii sebelum terlambat.
Kesudahan 3
Perempuan paruh baya itu, berteriak histeris. Itulah kejadian berulang jika ia kambuh. Suaminya menatapnya dengan sabar. Anak-anaknya sudah maklum. Tetangganyapun, sama mengetahui.
Perempuan itu, dulunya seorang ibu dan istri yang baik. Entah guncangan jiwa macam apa yang menjadi sebab, hingga sekarang terkadang hilang ingatan.
Berbagai pengobatan terus dilakukan, namun kesehatan mentalnya pasang surut tak menentu.
"Ceraikan saja istrimu!"
Sudah sering kedua telinga lelaki itu, mendengar ungkapan serupa. Dari keluarganya, tetangga dan teman-teman.
Namun ia tak bergeming. Istrinya adalah istrinya. Selamanya istrinya dan ibu anak-anaknya. Antara cinta, sayang dan kasihan, tak lagi bisa dibedakan.
"Jika kuceraikan, siapa yang rela mengurusinya?" Jawabnya tanpa gamang, "saya pernah bersamanya di waktu sehat, dan akan tetap bersamanya, di masa sakitnya."
Titik.
Tak pernah sedikitpun ia berfikir untuk menceraikan istrinya.
" Bagaimana jika poligami?"
Sebagai pejabat publik, lingkungan telah menuntut untuk istrinya juga mendampingi dan berkontribusi.
"Anda masih muda, tampan dan berkedudukan. Tentu banyak yang bersedia menjadi istri ke dua."
Lelaki itu menggeleng kuat-kuat.
"Menikah lagi, hanya akan melukai jiwanya. Tentu menambah parah sakitnya."
Menangis aku mendengar kisah itu. Perempuan itu, mendapat pasangan surga, dalam ujian yang diterimanya.
Orang lain mencapnya gila, tak waras. Tapi anak dan suaminya, tetap menyayanginya dan memperlakukannya dengan baik.
Dan aku merenung, berapa banyak keluarga yang mulia seperti itu. Tetap setia, sekalipun pasangannya 'tak sempurna'.
Berapa banyak yang memilih meninggalkan, mengabaikan dan melupakannya. Atau menyembunyikannya, dalam lorong kelam sejarah keluarga?
Sekalipun tak mengenalnya secara pribadi, aku mendoakan mereka diantara munajatku. Semoga kemuliaan hidup dunia akhirat terlimpah untuk mereka.
Dan kudoakan banyak pasangan yang lain, yang kudengar sering menyakiti pasangannya. Semoga Allah beri petunjuk pada mereka.
Cinta sejati, seharusnya milik orang yang dinikahinya. Bukan orang yang dibayangkannya.
Sangat mudah bagi Allah mencabut sebagian nikmat, berupa ketajaman berfikir dan kesempurnaan akal. Atau penyakit dan cobaan lain.
Jadi, tak ada alasan untuk sombong dengan kemampuan berfikir, kesehatan jiwa raga dan kecantikan atau ketampanan. Karena semua bukanlah milik kita.
Cepat atau lambat, ia akan diambil.
Mari jalani hidup dengan bersyukur, mencukupkan mencintai pasangan kita.
Semoga Allah karunikan sakinah dan keberkahan hidup.  Dunia akhirat.
Amiin.

Wednesday, July 22, 2015

Rahasia Sakinah dan Keberkahan Rizki


Ada saja kasus masuk problem keluarga dengan keluarga besar diantaranya kesenggangan hubungan menantu mertua.
Lebaran ternyata tak cukup menjadi momen pada sebagian orang untuk berdamai dengan keluarga besar.
Ada yang menolak bertandang ke rumah mertua, dan bahkan ada pula yang menolak bertandang ke rumah orang tua sendiri.
Kabut masih menyelimuti hubungan mereka. Dan puasa sebulan, plus syawal tak mampu mengusir berbagai prasangka dan konflik diantara mereka.
Saya ingin berbagi kisah pribadi, semoga menjadi hikmah bagi siapapun.
Perkenalanku dengan camer dimulai dengan cara yang kurang menyenangkan, dikarenakan kasus jilbab sekitar akhir tahun 80-an.

Saya adalah salah satu aktivis dakwah yang-walaupun tidak dikenal secara pribadi-termasuk yang berseberangan dengan keluarga suami dalam hal keyakinan.
Namun siapa sangka, taqdir mempertemukan kami dalam rumah tangga?
Saya masuk dengan kegamangan, dalam lingkaran keluarga besar suami: apakah saya akan diterima? Sedangkan Islam begitu asing bagi mereka.


Namun, Allah berikan kemudahan.
Keluarga mertua berubah dengan cepat. Sejak usai lamaran, ibu mertua menjalankan sholat dengan rutin.
"Punya menantu berjilbab, pantesnya aku sholat"
Begitu pesannya, ketika membeli mukena baru.
Allahu akbar, nasrullah jua.

Saya tidak pernah tahu perasaan sebenarrnya ibu mertua padaku, sebelum kami menikah.
Yang kutahu, pernah terjadi peringatan dari keluarga, pada adik iparku saat memulai berjilbab. Peringatan yang tidak main-main dan akupun terkait.

Saya memilih untuk melupakan itu dan menghargai penerimaan keluarga suami- ibu mertua khususnya-, pada kehadiranku. Menghargai penyesuaian dirinya yang luar biasa.
Kini bisa dikatakan, keluarga besar suamiku adalah basis utama pendukung dakwah di wilayahnya.
Saya bangga dan bahagia bersama dengan mereka dan menikmati setiap prosesnya. 

Jadi, apa kuncinya?
Berani melupakan konflik masa lalu, memaafkan, husnudzon dan saling menerima seutuhnya.
Dengan demikian, kami saling mencintai dengan tulus. Tak ada lagi yang lain, kecuali ingin memberikan yang terbaik untuk ibu mertua. Dan itulah salah satu kunci sakinah.

Adapun kunci rizki, berikut ceritanya.
Pada tahun ke ketiga usia pernikahan, kami mendapat rejeki mesin jahit.
Suamiku mengajariku menjahit. Memang saya belum bisa menjahit. Suamiku dengan telaten mengajariku seluk belum perjahitan.

Senang dengan ketrampilan baru, saya membuat banyak baju baru. Untuk pertama kalinya saya membuatkan sebuah baju untuk ibuku dan ibu mertua. Bukan gaun yang bagus, hanya daster sederhana dari bahan katun bunga-bunga. Itulah untuk pertama kali, saya memberikan "sesuatu" yang spesial untuk ibu mertua.

Kami keluarga muda yang sedang tertatih. Berdua belum lulus kuliah. Suamiku mencari maisyah dengan menulis dan menulis. Membuat buletin, majalah dan mengirim naskah ke beberapa media. Sayapun demikian. Kami juga masih kontraktor...maksudnya pindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain.

"Tidak, ah. Malu!" begitu kata suamiku, saat saya menyarankan untuk secara rutin memberi uang pada orang tuanya.
"Orang tuaku lebih kaya, mereka tidak membutuhkan uang dari kita".
Memang logikanya masuk. Tapi saya tetap menyisihkan uang sedikit demi sedikit untuk membelikan barang-barang yang tak begitu mahal, sebagai sesuatu yang bisa saya haturkan pada mertua. Setidaknya saat beliau berulang tahun dan saat hari raya.
Itulah memang kemampuan kami.
Sampai suatu ketika, di tahun ke sebelas pernikahan kami, suamiku membawa sebuah cerita pencerahan.

Saat Ramadhan dan beliau pergi berdakwah di Kalimantan, bertemu dengan seorang ustadz yang mengisahkan rahasia sukses seorang pengusaha.
Pengusaha tersebut berasal dari keluarga kaya raya, tapi beliau pribadi kurang beruntung dalam berusaha. Jatuh bangun usahanya, bangkrut dan tidak berkembang.
Sampai ia mendapat nasehat dari ustadz tsb, agar " nyaosi" pada orang tuanya. Sekalipun orang tuanya lebih kaya dan tidak membutuhkan uang tsb.
Ia melakukannya dan berhasil.

Sejak saat itu, kami menyisihkan rejeki yang kami miliki,  untuk kami haturkan secara rutin pada orang tua. Alhamdulillah ternyata itulah diantara rahasia pintu rejeki. Allah selalu kembalikan berlipat-lipat dari yang kami keluarkan untuk orang tua.

Kami diberi rejeki kendaraan, rumah dan bahkan berhaji. Semua dari tempat yang tidak kami sangka-sangka. Mungkin juga rejeki yang tidak dihitung langsung sebagai materi, seperti kesehatan dan selamat dari bala bencana. Termasuk rejeki sakinah jauh dari konflik keluarga.

Pengalaman ini sering saya pesankan pada keluarga-keluarga muda, bahkan yang masih berada pada putaran ekonomi terbawah. Jangan meminta pada orang tua, tapi berilah sebagian penghasilan untuk orang tua, sesedikit apapun, secara rutin. Insya Allah, Allah akan bukakan pintu rejeki untuk keluarga anda.

Tentu harus ada kesepahaman diantara suami istri, dalam hal "nyaosi" pada orang tua. Agar tidak berat sebelah, sekalipun adil tidak harus sama persis jumlah pemberiannya. Mengingat kebutuhan dan kondisi ortu dan mertua tentu berbeda. Biarlah istri yang  menghaturkan untuk orang tua suami, dan suami yang menghaturkan untuk orang tua istri. Cara ini adalah bukti kesepahaman dan akan merekatkan huhungan menantu mertua.

Orang tua suami telah membesarkan dan membiayai suami, hingga menjadi seorang lelaki yang berpenghasilan, maka para istri mengertilah. Mengerti bahwa ada hak orang tua, atas penghasilan suaminya.

Demikian pula orang tua istri, telah bersusah payah membesarkan dan membiayai sekolah istri, maka para suami,.mengertilah.  Apalagi jika ia telah meminta istrinya untuk menjadi 'fulltimer mother', yang tidak bekerja formal dan tidak berpenghasilan. Pada saat demikian, mengertilah para suami bahwa, orang tua istri pun bagian dari tanggung jawabnya.

Sekali lagi, raihlah sakinah dengan ketulusan penerimaan pada pasangan kita dan keluarganya. Kemudian bukalah pintu rejeki dengan berbakti pada ortu dan mertua.
Tanpa keduanya, saya menyangsikan kualitas hidup sebuah keluarga. Bisa saja bergelimang harta, namun jauh dari sakinah dan keberkahan.

Ini hanya berbagi cerita rahasia samara, anda boleh memiliki dan berbagi resep anda pula.
Selamat mencoba dan meraih bahagia dunia akhirat.
@lailacahyadi

Sunday, July 19, 2015

Visiting Grandma


Sebuah foto yang menggambarkan ironi keluarga masa kini, banyak beredar. Diantaranya adalah foto sekelompok orang yang "visiting grandma".
Ya, mudik identik dengan menengok nenek.
Namun apakah benar-benar menengok?
Karena, seringkali yang hadir adalah fisik-fisik yang secara perhatian sibuk dengan gadget masing-masing.

Berkumpul dalam acara keluarga besar, namun semua kepala terpekur khusyuk pada benda kecil dalam genggaman. 
Sang nenek menengok ke sana-kemari dan sedikit bingung dengan prilaku anak cucunya:
"Gerangan apa yang ada dalam kotak kecil bernama smart phone itu? Yang begitu menyihir hingga melupakan esensi kunjungan hari Raya?"

credit


Hmm apakah ada juga resah dengan fenomena ini?
Atau justru menikmati?
Barangkali, perlu jam penyitaan gadget. Saat acara berkunjung, atau boleh dalam kebersamaan keluarga lainnya, seseorang mengedarkan keranjang.
Keranjang tempat semua orang menitipkan gadget mereka.
Meninggalkan dunia maya dan bersadar diri dalam dunia nyata.
Saling bincang, canda dan senyum dengan kanan kiri kerabatnya.
Mendengarkan cerita dan petuah nenek. Menertawakan kisah masa kecil keluarga, dan bukan lelucon teman grup WA.

Hmm menarik bukan.
Kembalikan kehangatan keluarga di waktu istimewa. Menyempurnakan makna silaturahmi yang sesungguhnya.
Nanti, nanti setelah selesai semua, bisa diambil lagi titipannya. Boleh bertukar pula....



Dan pada saat kami berkumpul bersama di rumah mertua,
"Anak-anak, selama acara silaturahim keluarga, semua Hp ditaruh ya. Semua bebas gadget..."
Begitu pengumuman dari salah seorang iparku. Alhamdulillah mengaplikasikan postinganku beberapa hari yang lalu.
Semua anak dan dewasa dalam berbagai usia, dengan sukarela meletakkan gadgetnya.
Suasana penuh tawa dan canda. Yang tua berbagi pengalaman, yang muda berbagi cerita dan bertanya.

Kulihat ibu mertuaku. Dalam usia senja dan banyak keriput di sekujur tubuhnya, parasnya berseri ceria.
Seolah telah hilang asma, maag, penyakit jantung dan semua derita sakit tua. Berkumpulnya anak cucu serta cicit seolah obat mujarab dan motivasi, untuk membersamai keluarga lebih lama.
"Rukun...rukun ojo congkrah..."
Itu saja yang dipesankannya.

"Eyang tahu, kalian semua sibuk. Tapi eyang inginnya selalu ada yang menengok..."
Hmm saya merasa tertohok. Mungkin jadwalku menengok sepekan sekali, tak lagi memadai. Maka sering sekali ibu mertua menelepon dan bertanya:
"Umi, sekarang sedang dimana?"
Padahal jadwal beredar sepertinya tidak kompromi.

Harus lebih pandai atur waktu lagi nih.
Sesungguhnya, anaklah yang seharusnya butuh menengok orang tua, sebagai bagian dari baktinya. Bukan saja orang tua yang merindukan anak menantu dan cucunya.


Koleksi pribadi

Friday, July 17, 2015

Makna Hari Raya

Pagi ini aku terjaga, ketika alarm hp menjerit. Tepat pukul 03.00. Dini hari yang dingin, masih ditambah hembisan AC 23 derajat.
Segera saya bangkit, setelah mengumpulkan ingatan dan menepis godaan selimut empuk. Berjalan menuju meja, meraih hp dan menghentikan berisiknya.

Sejenak, saya masih tertegun. Yang teringat adalah menghangatkan sayur dan menyiapkan makan sahur. Maka saya pun menuju dapur. Namun, sayup-sayup terdengar suara takbir yang menyadarkan. Ini telah masuk bulan syawal.
Bukankah semalam, saya mengajak anak-anak duduk manis mendengarkan pengumuman menteri agama tentang hasil sidang itsbat.

"Itsbat itu apa, Mi?"

Monday, May 18, 2015

Teman perjalanan

Pada suatu hari di bulan Januari, saya pergi ke Sergei. Kali ini tidak bersama suami. Tersebab, ada acara bersamaan yang harus diikutinya. Kami sudah menyanggupi agenda ini, sejak akhir tahun lalu. Eh, 2 pekan sebelum hari H, suamiku ada undangan sebuah acara. Akhirnya agenda, dimundurkan tgl 14-15 Januari 2015. 

Takdir kadang susah ditebak. Ternyata acara suamiku batal. Saya coba komunikasikan dengan panitia penyelenggara. Mereka tetap sepakat untuk mundur. Sayangnya menjelang hari H, suamiku tetap berhalangan. Jadilah, saya pergi bersama dengan narasumber pengganti.

"Jangan lupa pesan pada petugas, untuk minta jendela semua saat check in, " kata suamiku.
Beliau adalah orang yang sangat memperhatikan detail. Saya faham maksudnya. Karena tiket kami jadi satu, biasanya akan diberi nomer tempat duduk bersebelahan. Tentu tidak nyaman. Saya dan seorang lelaki bukan mahram, duduk bersebelahan? 
Hadeuh. 

Kalau enggak kenal sekalian, mendingan. Namanya darurat.
Saya datang lebih awal di bandara.  Segera mengambil trolly untuk ransel dan kardus bawaan berisi buku karya suamiku. Sendirian sedikit repot, namun tak apa, toh sesekali saja.

Rekanku belum datang, jadi saya check in duluan. Saat sedang mengantri, seorang petugas berseragam, mendekatiku dan menanyakan kode booking. Saya tunjukkan saja pesan di HP, sambil trus mengantri.
Eh, sebelum saya sampai di depan petugas check in, lelaki tadi sudah datang lagi dan memberikan tiket.

"Ini ibu, tiketnya sudah saya check in-kan. Ibu tinggal menyetor bagasi saja."
Saya terpana dengan kesigapannya,  menolong tanpa meminta ijin. Kuperiksa tiket yang diacungkannya, no 22E dan 22F. Ampuun deh. Ini tidak sesuai rencana.
"Maaf Mas, saya mau jendela semua," kataku membuat alasan yang logis.
"Ibu bilang saja nanti, ke petugas depan" katanya ringan.

Saat tiba giliranku, kusodorkan tiket dengan pesan sponsor.
"Kak, bisakah tukar tempat duduk, minta jendela semua?"
Perempuan cantik berseragam merah itu, meneliti layar di depannya.
"Ibu, ini sudah dari sistem. Kalau mau ganti, ada premium seat. Ibu mau nambah biaya?"
Tak ada nada suara ramah. Biasa saja.

"Berapa nambahnya, Kak?" 
Saya sedang menakar kemampuan untuk nomboki sebuah idealitas.
"Rp. 120.000."
"Ok, " jawabku cepat. 
Cuma segitu ternyata, biarlah. Yang penting saya tak punya beban moril selama perjalanan.
"Sebentar, ya bu ....," Ia meneliti lagi layarnya, "Ibu pilih seat mana? 2A apa 3A?"
"2A,"  
Senangnya... duduk di kursi depan saat naik pesawat. Berasa jadi orang penting gitu, haha.
Lain dengan naik bus. Saya paling anti di kursi depan, karena ngeri melihat supir bus yang ugal-ugalan.

"Seat 2A  tambah Rp. 95.000, " kata perempuan muda, petugas counter itu. Kuangsurkan uang Rp 100.000 dan mendapat kembalian beserta tiket perubahan.
Baru sekarang saya tahu, bahwa di maskapai ini, no tiket 1-5 dan 12-14 adalah premium seat. Enggak jelas juga apa bedanya. Memang saya sendirian menempati bangku sebaris. Bahkan hanya ada satu penumpang lagi, di kelas premium ini. Dia duduk jauh diujung baris sebelah.

Oo, nyaman juga ya. Cuma lebih lebih dingin, sekalipun Ac sudah ditutup semua. 
Begitulah saya merasa merdeka, dua jam tanpa tetangga. Mau tidur ngorok atau apapun, feel free. Eh, saya enggak tidur deh, khawatir ngorok beneran.

Btw, kenapa sih saya repot-repot memisahkan diri, dari teman perjalanan?
Terbiasa menerima curhat, saya banyak belajar dari pengalaman orang lain. Ada pepatah jawa: witing tresno jalaran soko kulino. Maka menjaga adab pergaulan dengan bukan mahram, adalah salah satu bentengnya.

Kuingat sebuah kisah, untuk menggambarkan kejadian yang tak disengaja pada awalnya. Dua keluarga yang bersahabat tinggal di sebuah kota. Kebetulan suami keluarga pertama dan istri keluarga kedua, bekerja di kota lain yang sama. Hanya berjarak dua jam perjalanan, dari kota tempat tinggal mereka.

Untuk alasan ekonomi dan kepraktisan, mereka berkongsi dalam transportasi. Berboncengan naik kendaraan bermotor, yang biaya bensinnya mereka tanggung bergantian.

Waktu berlalu. Ternyata kebersamaan itu menimbulkan efek samping yang tak mereka sangka: perselingkuhan. Menguras tenaga dan emosi tak sedikit, untuk melerai kasus yang menyebabkan retaknya bukan hanya pertemanan, tapi juga dua keluarga.

Ada lagi keluarga hancur, karena sang suami lanjut berhubungan dengan teman perjalanan, yang kebetulan perempuan. Padahal hanya sekali, tanpa rencana, duduk berdampingan di KA. Kemudian terjadilah obrolan panjang, selama belasan jam. Setelahnya, mereka tetap berkomunikasi. Sekalipun "konon' hanya berteman. Tapi sang istri terlanjur dibakar cemburu. Situasi itu, menjadi catatan kelam tak berujung dalam kehidupan rumah tangga mereka.

Masih banyak lagi kisah serupa, dengan peristiwa yang berbeda-beda.
So, jangan abaikan interaksi intens dalam waktu yang lama. Meskipun hanya teman perjalanan.

Yah, teman perjalanan. 
Apakah saat berkendara mobil, motor, bus, kereta api, pun pesawat. Apalagi teman kantor, teman satu team, teman organisasi yang bertemu sehari-hari selama berbilang seri.

Menjaga interaksi, menjaga hati adalah kemestian. Disertai doa.
Semoga selamat dunia akhirat. Amiin.

Saturday, May 2, 2015

Marah


Dalam forum seminar, pembicara bertanya tentang prilaku marah.
Pertanyaannya sederhana, adakah para bapak yang belum pernah dimarahi oleh istrinya?
Adakah para istri yang belum pernah dimarahi suaminya?
Atau adakah orang tua yang belum pernah memarahi anaknya?

Dari sekian banyak forum seminar hanya satu kali ada seorang peserta yang mengangkat telunjuknya. Pasangan muda ini menikah 2,5 tahun. Istrinya mengatakan bahwa suaminya terlalu baik, jadi tak ada alasan baginya untuk marah pada suaminya.
Luar biasa ya...semoga bisa bertahan baiknya.

Anda para pembaca, apakah ada yang belum pernah marah?
Sepertinya marah itu melekat pada diri manusia dengan sangat setia. Tiba-tiba saja manusia terampil melakukan perilaku ini.

"Memarahi suami atau anak biar apa bu?" pertanyaan selanjutnya yang disambut dengan gelak tawa.
Ternyata jawaban beragam.

"Biar kapok!"


Nah itu suara yang paling banyak.
Nyatanya enggak kapok juga. Mengapa enggak kapok?

Sesungguhnya marah memang bukan bagian bagi metode pendidikan. Juga bukan dari metode dakwah. Bukan pula bagian dari nasehat.
Sekiranya dimarahi akan membuat orang menjadi baik, maka pastilah banyak orang baik. Bukankah setiap dari kita pernah dimarahi. ...

Nyatanya pertengkaran dan kemarahan selalu berulang pada sebagian suami istri. Atau pada sebagian orang tua-anak. Sekalipun ada pula yang tidak.
Jika anda masih suka marah, bolehlah saya bagi sedikit untuk membantu berhenti marah.

Eh mau enggak sih?
Mau sajalah.
Ini saya copas saja dampaknya bagi kesehatan. Copasnya dari sini nih.


6 DAMPAK MARAH BAGI KESEHATAN
------------------------------------------
Rasa amarah, meski di satu sisi dinilai bagus bagi kesehatan karena mengurangi efek negatif stres, di sisi lain juga dapat membahayakan kesehatan. Rasa marah memang merupakan emosi alamiah pada setiap manusia. Memang baik untuk meluapkan emosi, tapi ada baiknya pula bila kita berusaha untuk mengontrolnya terlebih dahulu.
Psikolog Alima Phillip menerangkan beberapa dampak buruk akibat rasa amarah yang tak dikontrol. Tak hanya memengaruhi kejiwaaan, rasa marah juga dapat membahayakan kesehatan tubuh.
1. Efek langsung ke tubuh
Ketika kehilangan kontrol, tubuh kitalah yang menerima dampak langsungnya. Seketika tekanan darah meningkat dan irama napas menjadi cepat, secepat seperti tengah bersiap untuk berkelahi. Pada beberapa kasus, tekanan darah tinggi dapat menyebabkan sakit kepala mendadak. Dalam jangka panjang, dapat meningkatkan risiko serangan jantung. Saat marah, suhu badan kita pun naik sehingga tubuh mudah berkeringat.
2. Letih
Ekspresi kemarahan tentu membutuhkan energi. Alhasil, setelah marah kita pun akan merasa letih. Dalam proses itu, hormon stres akan meningkat seakan-akan membuat perasaan bergejolak. Ketika marah, kita mungkin merasa memegang kendali sementara, tapi tanpa disadari hal itu justru menguras habis energi kita. Akibatnya, produktivitas dalam bekerja pun berkurang karena merasa letih.
3. Sulit tidur
Dengan begitu banyaknya pikiran negatif di kepala dan kegelisahan yang kita rasakan, rasanya sulit untuk terlelap tidur. Apabila kita tertidur dalam kondisi kelelahan akibat marah pun, tidur tentunya tidak akan berkualitas. Ketika kita tidur dengan rasa marah, tidur pun tak akan nyenyak. Adapun kekurangan tidur akan menyebabkan pikiran negatif yang akan memicu emosi. Lebih lanjut, insomnia dan masalah tidur lainnya pun akan berdatangan seiring dengan perasaan emosi Anda yang berkelanjutan.
4. Depresi
Terus-menerus menyimpan rasa marah dapat berujung pada depresi. Hal itu akan memicu serangkaian perilaku yang membahayakan kesehatan seperti merokok dan minum minuman keras. Terkadang, orang menggunakan amarah untuk meluapkan perasaan depresi dan ketidakberdayaan. Amarah bukanlah rasa alamiah yang menyehatkan. Maka itu, bila terus dirasakan, kesehatan kita pun akan terancam.
5. Terasing
Kita memang terkadang dapat kehilangan kontrol diri, tapi bila terlalu serimg tentu akan berdampak pada aspek sosial kita dalam keseharian. Kita pun akan lebih nyaman berada sendirian ketimbang bergaul dengan orang lain. Dalam lingkungan kantor, bila tidak bersosialisasi, bawahan kita akan kurang menghormati dan atasan kita akan melihat kita sebagai orang yang tak dapat mengontrol emosi.
6. Mengambil keputusan yang salah
Amarah dapat membuat kita tidak rasional. Kita pun terjebak dan kehilangan fokus dalam menghadapi suatu masalah. Nyatanya, saat seharusnya memutuskan hal terbaik dalam suatu maslah, dalam keadaan marah kita mungkin malah akan melakukan hal yang sebaliknya. Kita pun tak mampu melihat masalah dari perspektif yang berbeda dan berujung dengan mengambil keputusan yang salah.

Nah kan...enggak mau...enggak mau !
Apalagi jika mencermati efek jangka panjangnya nih: stres, penyakit jantung, akhirnya rentan terserang stoke. Gangguan tidur, bahkan dapat membuat anda jadi gila. Tekanan darah tinggi, masalah pernapasan, sakit kepala, hingga serangan jantung.
Naudzubillah in dzalik.
Apalagi jika tahu bahwa marah itu bukan jurusan menuju syurga.
Ingat hadis Rasul: “Jangan suka marah, bagimu surga”

Bukankah hanya ada dua jurusan kesudahan manusia: surga atau neraka.
Jadi marah jurusannya apa?
Di dunia dapat penyakit, di akhirat dapat...?

So sebelum marah dan mengekspresikan kemaran, berhentilah satu detik saja.
Lantas bertanya pada diri sendiri:
Mau sehat enggak?
Mau surga enggak?
Dan lakukan upaya yang tepat untuk mengelola emosi.

Ah saya juga selalu berjuang, karena saya masih manusia yang terkadang marah.
Yuuk berjuang bersama.

Tuesday, April 21, 2015

Kartini Bertanya, Emansipasi Itu Apa?

 Oleh : Cahyadi Takariawan


"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama"
(Surat Kartini kepada Prof Anton dan Nyonya pada 4 Oktober 1902).
***************

Pada setiap bulan April, masyarakat Indonesia selalu mengingat dua kosa kata berikut: emansipasi dan Kartini. Sebenarnya apa itu emansipasi, dan siapakah Kartini? Mengapa keduanya harus selalu berhubungan? Kita coba memahami keduanya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan makna emansipasi  dengan dua pengertian (1) pembebasan dari perbudakan; (2) persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria). Kartini adalah tokoh wanita Indonesia. Demikian penjelasan dari KBBI Online. Wikipedia Indonesia memuat makna emansipasi sebagai berikut: “emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat, sering bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dalam pembahasan masalah seperti itu”.
Dari penjelasan tersebut, bisa dipahami bahwa yang dimaksud dengan emansipasi adalah persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan, seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria. Namun, apakah Kartini pernah menyebut kata ‘emansipasi’? Ternyata tidak. Itu bukan istilah yang digunakan oleh Kartini untuk menyebut sisi perjuangan yang dilakukan. Jika pun Kartini disebut sebagai tokoh yang mengusung emansipasi, pasti tidak pernah bisa dilepaskan dari latar belakang dan kultur yang berada di sekitarnya. Kartini mewakili bangsawan Jawa, sosok ningrat yang dikekang dengan berbagai aturan tradisi.
Kartini lahir di desa Mayong, Kabupaten Jepara, 21 April 1879 dan meninggal dunia di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun. Sebagai anak seorang bupati, Kartini hidup dalam keluarga yang berkecukupan. Saat kecil, Kartini dimasukkan ke sekolah elit orang-orang Eropa, Europese Lagere School (ELS) dari tahun 1885-1892. Di sekolah ini, Kartini banyak bergaul dengan anak-anak Eropa.
Ahmad Mansur Suryanegara mencatat, “Sebagai keluarga priyayi Jawa, kultur mistis dan kebatinan begitu melekat di lingkungan tempat tinggalnya. Namun bagi Kartini, ikatan adat istiadat yang telah berurat akar dalam itu, dianggap mengekangnya sebagai perempuan. Setelah tamat dari sekolah ELS Kartini memasuki masa pingitan. Sementara itu, Kartini merasakan betul betapa haknya mendapatkan pendidikan secara utuh dibatasi. Di luar, ia melihat pendidikan Barat-Eropa begitu maju”.

Sunday, April 19, 2015

Sekolah yang Membangun Kemandirian Siswa.

Jika anda ingat, di sini saya pernah menulis tentang sekolah yang tidak mewajibkan mengenakan seragam bagi para siswanya. Yang diwajibkan justru membawa baju ganti karena anak-anak direlakan bereksplorasi dengan alam hingga ketika pakaian mereka kotor tidak masalah.
Di sekolah inipun saya tercengang oleh salah satu program yang dirancang jauh sebelumnya. Siswa klas 6 ingin melakukan perjalanan ilmiah ke Tanjung Putin. Yang hebat adalah, mereka mencari biaya secara kolektif untuk proyek besar itu.
Jika di sekolah lain, saat akan study tour sekolah mengumpulkan orang tua dan mematok biaya ratusan ribu, maka tidak di sekolah ini. Anak-anak merancang sendiri bagaimana cara mendapatkan biaya yang cukup besar.


Yang mereka lakukan diantaranya adalah: menabung, melamar pekerjaan ke sekolah, membuat kerajinan untuk dijual di even tertentu atau di acara minggu pagi di bundaran besar, berjualan kerudung dll, memasak makanan untuk dijual di bundaran atau di kantin dan berjualan es teh setiap hari kepada sesama siswa.

Tuesday, April 7, 2015

Mendulang Uang dari Facebook

Anda punya akun FB? 
Biasanya anda gunakan untuk apa?

Saya sebagaimana banyak teman-teman yang lain, senang upload kegiatan, foto-foto narsis dan curhat-curhat. Hihi iya enggak sih?

Seiring dengan kebutuhan yang membengkak, eh ada yang kitik-kitik mengajak kreatif dalam mendulang rupiyah. Dari mana lagi kalau bukan dari FB.
Okee deh, selama ini saya sudah jualan dengan cara tradisional. Upload barang, komunikasi dan transaksi. Sekarang belajar untuk cara-cara yang lebih kreatif.

Adalah Raja fesbuk mas Slamet Sukardi  yang berbaik hati meluangkan waktu berbagi ilmu. Seharian beliau menyampaikan ilmunya mulai dari memotivasi, menerangkan wawasan umum, hingga aplikasinya.

Mas Slamet memulai dengan cerita tentang sejarah media komunikasi. Koran pertama dibuat tahun 1605. Barulah kemudian, radio, televisi dan internet.
Facebook sendiri sejak dilansir, berkembang dengan sangat pesat sebagai media yang familiar digunakan masyarakat. Pengguna FB di Indonesia ternyata sangat besar. Ada sekitar 63 juta. Artinya hampir seperlima penduduk Indonesia melek FB. Pasar yang menggiurkan ya.
 

Slamet Sukardi -credit

Monday, April 6, 2015

Taqdir Perjalanan 24 jam Jogja–Padang


Beberapa waktu yang lalu saya dihubungi salah seorang dari Pemprof Sumbar, meminta suamiku mengisi Jambore PKK se Propinsi Sumbar yang berlangsung Ahad hingga Senin 5-6 April 2015. Kami pun menyanggupi. Memang Ahad ini sengaja off tidak menerima order, karena ada undangan pernikahan putri sahabat kami.

“Bapak mengisi jam 8.00-10.00, sebelum pengarahan oleh bapak Gubernur,” pesan panitia.

Segeralah suamiku memesan tiket ke agen langganan, rencana berangkat Ahad jam 12.50 dengan L*on Air, transit di Batam. Pulangnya Senin dengan pesawat Garuda.
Malam Ahad suamiku sudah packing. Beliau memang selalu melakukan persiapan dengan rapi jika akan bepergian. Enggak seperti saya yang suka tergesa-gesa...sssttt.

Acara akad nikah putri teman itu jam 05.30 selepas sholat shubuh berjamaah di masjid dekat rumah mereka. Unik ya? Alasannya biar disaksikan orang-orang solih yang ahli solat malam dan berjamaah subuh. Subhanallah!

Suamiku berniat menghadiri acara akad nikah itu. Saya akan hadir menyusul pada acara walimahnya.
“Nanti bawakan ransel merah ini ya, Abi mau langsung ke Padang,” begitu pesan yang kudengar sebelum beliau berangkat pada jam 05.00 itu. Aku mengiyakan sambil mencium tangannya.

Singkat cerita saya menyusul ke acara walimah dan menikmati prosesinya yang unik dan menarik. Walimah ini dirancang membawa humor, seni dan keseriusan. Suamiku kebagian memandu acara talk show keluarga dengan melibatkan tamu undangan sebagai para pembicara dadakan berbagi kisah rahasia keluarga samara. Setiap yang bersedia berpartisipasi mendapat hadiah buku Seri Wonderful.

Usai walimah, kami berangkat ke bandara. Sampai di bandara pukul 10.45 seperti yang kami perkirakan. Sepulang dari mengantar suami, saya melanjutkan hidup hehe. Maksudnya, karena kepala pusing saya tidur siang sembari menyiapkan stamina untuk acara sarasehan sore nanti.

Kupikir jam 12.50 tadi suamiku sudah terbang ke Padang, tenyata...

Sunday, March 29, 2015

Menemukan Keasyikan dan Kebahagiaan

Banyak orang yang bertanya tentang bahagia. Mempertanyakan pada dirinya apakah ia bahagia. 

Bagi saya bahagia itu sederhana, saat kita dapat mengambil hikmah dari setiap prosesnya dan menikmati rasa syukur dalam setiap helaan nafas.

Saya justru belajar dari kanak-kanak seperti Revo untuk menikmati hidup. Betapa mudahnya bagi anak-anak untuk menemukan kegembiraan dengan situasi yang ada di sekitarnya.. Saat ia menemukan gulungan kasur, ia senang sekali. Dia masuk ke.dalam gulungan itu dan bertingkah lucu. Mencoba berjalan, berguling dan bangkit lagi.
Sambil tertawa-tawa.

Demikian pula saat ia menemukan kursi lipat. Dengan segera menjadi egrang untuk kakinya yang mungil.
Kadang dalam perjalanan panjang di dalam mobil ia tidak menemukan mainan, maka ia gunakan dua tangannya untuk bermain perang. Tangan kanan bermusuhan dengan tangan kiri dalam pertempuran yang seru dengan sound track irama mulutnya.

Seseorang terkadang membuat standar bahagianya sendiri. Saat tidak terpenuhi, ia memutuskan untuk tidak bahagia. Yah, bukankah bahagia adalah pilihan?

Friday, March 13, 2015

Keajaiban Bacaan AlQur’an



Seorang teman dari dumay yang belum pernah kujumpai kemarin BBM saya.

“Bunda mohon bisa share, kalau bunda punya pengalaman spiritual berkaitan dengan bacaan Al-Qur’an” demikian bunyi pesannya. pesan yang membuat saya tercenung.

Ia sedang menulis buku tentang hal itu, konon ia mewawancarai banyak orang sebagai nara sumber yang profilnya akan ia cantumkan di bukunya.
Saya memeras ingatan sebelum menjawab BBM tersebut. Nyatanya saya tak punya bahan. 

Jujur kutulis
”Maaf sepertinya saya belum punya pengalaman pribadi terkait pengalaman spiritual dengan bacaan Al-Qur’an ini. Kalau doa, sholat dan shodaqoh, ada yang bisa saya ceritakan...”

Pengalaman spiritual, menurut saya sangat individual. Tergantung bagaimana seseorang memaknai setiap peristiwa yang dialaminya dan mengkaitkan itu biasanya dengan ibadah yang barusan dilakukannya. 

Jawaban ini ternyata saya dapat dari ustadzah Dyah Rachmawati, yang pernah saya kunjungi.

dokpri