Wednesday, June 12, 2019

Kerja keras takoyaki

Kerja keras takoyaki

Ramadhan kemarin saya sempat ngabuburit sekali ke jalur Gaza. Itu bukan di Palestina, tapi di daerah Nitikan, Yogyakarta. Semoga tahun depan beneran bisa ngabuburit di jalur Gaza, Palestina, amiin.

Karena kesulitan cari tempat parkir, saya memilih di ujung timur, dengan harapan pulang lebih cepat. Anak-anak sudah turun di ujung barat, biar mereka jalan ke timur, cuci mata sekalian beli mana suka.
Sambil menanti anak-anak, saya memesan martabak telur pada abang penjual, dan pamit untuk mencari menu lain. Alhamdulilah saat memesan kelapa muda ori, azan berkumandang. Setelah berbuka dengan segelas air kelapa, saya lanjut perjalanan .
Berhenti di lapak takoyaki, ingat Po yang amat sangat menyukai bulatan berisi gurita dan katsuoboshi yang menari-nari.
Ibu penjual cukup ramah melayani pembeli cerewet sepertiku.
"Sehari laku berapa porsi bu?"
"Gak tentu bu, kadang 3,4, .... 8,9. Pernah beberapa kali hanya satu porsi. Ya saya jalani!"
Hah, satu porsi?
Tahukah teman-teman, satu porsi berisi 4 bola takoyaki dibandrol Rp. 10.000.
Jadi berapa keuntungan ibu itu jika omset perhari 10.000-90.000?
"Kalau sisa bagaimana bu?"
"Bahan saya masukkan kulkas mbak, besok masih bisa dimasak lagi. Saya ngadonin dikit - dikit saja.
Saya lakonin saja mbak, rugi gak rugi. Kan buat sambilan.
Kalau mas sebelah ini yang kasihan..."
Saya sudah meneliti lapak sebelahnya, es pisang ijo.

Seorang lelaki muda beranak tiga, sarjana lulusan perguruan tinggi swasta, asal Ambon, yang tadi pamit sholat dan menitip lapak. Dagangannya masih banyak.
"Awalnya dia mau jualan martabak. Lalu tahu kalau di sana tuh udah ada penjual martabak, jadi gak enak. Beberapa hari cuma kebingungan, padahal udah bayar sewa lapak...."
Ceritanya mengalir sembari tangannya terus bekerja memutar bulatan takoyaki setengah tanak.

Iya, pedagang martabak yang tadi saya pesan, hanya berjarak 50m. Saya masih menanti lanjutan kisah.
"Kasihan sekali. Sudah hari ke tujuh, dia belum juga berjualan.  Akhirnya ada yang mengajari membuat es pisang ijo. Alhamdulilah sudah bisa. Eh masih nunggu tiga hari lagi bikin spanduk ini."
Saya meneliti tulisan sederhana print outdoor yang tertempel di gerobak.
"Jadi baru sepekan ia jualan, pekan depan udah lebaran, mana pengunjung merosot tajam, mahasiswa mulai mudik ke kampung halaman! "

Berapa saja modal mas penjual, sewa lokasi rp. 200.000 untuk sebulan. Tambah infaq harian bebas.
Tambah biaya print spanduk. Dan gerobak itu?
Entah sewa entah beli, nampaknya masih baru. Kalau beli tak cukup 1-2 juta.
"Esnya sering tidak habis, apalagi jika hari hujan... Jadi cuma kebuang atau dibagi-bagi..."
Kok saya jadi pengin nangis membayangkan tiga anak di rumah yang menanti rejeki sang ayah.
Mudik ke Ambon hanya angan-angan mengingat harga tiket melangit. Hingga saya pamit, mas pedagang belum balik dari masjid.

Saya berdoa suatu ketika bisa jumpa dan mengajaknya berbisnis online. Atau kalau tidak, semoga beliau bertemu jalan rejeki yang lebih luas dan berkah tentunya.
Orang baik selalu akan dipertemukan dengan orang baik. Apalagi jika doa-doa terpanjat sepenuh hajat.

Memang banyak dagangan serupa, dalam satu jalur Gaza. Penjual takoyaki ada beberapa, pula es pisang ijo dan aneka es kekinian. Sementara tempat mereka di ujung, sudah kehabisan keramaian.

Berapa banyak lagi kisah serupa saya gali dari pedagang kecil yang mengais rejeki Ramadhan dan Syawal. Sepanjang perjalanan mudik, setiap bertemu mereka, menangis dalam hati setiap membeli dagangan sekaligus wawancara. Satu sisi salut atas kerja keras dan kegigihan serta keyakinan atas jatah rejeki. Sisi lain ingin memberi alternatif kerja keras plus kerja cerdas.

Andai ibu setengah tua itu punya fb dan hpnya support, saya akan ajakin gabung reseller Wonderful Agency. Biar enggak perlu modal dan selalu untung setiap kali transaksi. Juga mas penjual es pisang ijo, lelaki beranak tiga yang rajin ke masjid.

No comments:

Post a Comment