Showing posts with label puisi jiwa. Show all posts
Showing posts with label puisi jiwa. Show all posts

Tuesday, June 11, 2019

Selesai

Selesai

Kamu kah, itu
Yang mematung di ujung senja
Dengan langit abu-abu menyatu di rambutmu?
Ketika burung-burung berbaris pulang aku menitipkan cerita pada awan berarak jingga
Kita pernah mengeja jejak mencari makna
Perjalanan anak manusia
Mengais taqdir serumit ukiran nasib

Angin telah menabur sejuta rasa, katamu
Hingga hanya tersisa satu, lanjutmu.
Itupun telah kautitipkan kepada merpati yang mencari kebebasan di ujung dunia
Hingga ia tak pernah kembali
Tersesat oleh mozaik informasi

Maaf, jawabku
Lebih nyaman di sini di ruang hampa
Kala jiwa-jiwa tak lagi mengingini
Dan enggan mengingat mimpi
Sebab hidup, hanyalah lakon yang terus bergulir
Menjadi antagonis atau martir kadang memusingkan sudut pandang.
Kamu tergugu
Dan senyumku menghitam bersama langit yang tenggelam
Ditelan waktu.

By. Ida Nurlaila

Monday, June 10, 2019

Sahabat

Sahabat

By. Ida Nurlaila

Langit merona ketika engkau tertawa
Memekar bunga-bunga
Dalam mimpi kita
runtuh perlahan saat mengular cerita
"jangan mengunjungiku, jika hanya menggali luka"

Kita duduk bersisian di tirus pohon kenangan
menjulang menembus awan
Hingga tak sanggup memanjat
ranting berkarat
Batang berlubang
Sulur berurat bilur

"tidak, bukan itu maksudku"
Bergegas aku mencerna kerut dan lipat sembab
Terlalu banyak
Tak jua usai mengeja maknanya
Kukibas saja penghapus
Berceceran remah kapur warna
Menodai bait lagu lama
"kusisakan satu warna saja"
"satu warna belaka?" tanyamu terengah lelah
"mungkin setengah"
Aku tak yakin, warna putih meluruh abu di luas papan hitammu
Engkau mengerut melipat lutut

Hidup memang perlu jeda
Atau justru hidup hanyalah jeda?
Sedikit berbisik aku mengakhiri
"Bahagia disari dari peristiwa
Bukan mengambang terjajah rasa meraja
Ia mengendap di bening jiwa"

Semoga engkau mendengarnya
Sembari mengelap sunyi di sudut mata

Jogjakarta, 10 Juni 2019

Friday, June 20, 2014

Cinta dan Harapan untuk Indonesia



Huaa....!
Hura-hura pilpres ini sungguh menyita energi seluruh bangsa. Prihatin bingits dengan pola kampanye yang gelap mata.
Seandainya seluruh anak negeri ini mau sedikit merenung dan bertanya di relung hati:
Sebesar apakah cintanya pada Indonesia?
Seperti apakah cintanya untuk Indonesia?

Puisi ini adalah bagian dari keprihatinan dan ekspresi cinta saya untuk negeri ini.
Mari simak ya.

MERINDU INDONESIA YANG SESUNGGUHNYA

Blarrr...!
Seolah kudengar petir menggelegar
Menyalakan langit katulistiwa
Kala Gadjah Mada acungkan keris ikrarkan sumpah Palapa

Itu sudah jauuuh berlalu, kawan
Saat negeri ini masih bernama nuswantara
Namun inspirasinya
Telah sampai di meja diskusi
Para pejuang proklamasi penggagas negeri
Inilah Indonesia yang sesungguhnya
Penuh semangat juang wariskan epik kepahlawanan

Blarrr...!
Seolah kudengar dentum meriam Belanda, Jepang, Sekutu silih berganti
Berabad memerah tanah negeri ini
Dengan darah para pribumi
Menggelegar pidato Bung Tomo
Berkilat pedang Tjut Nyak Dien
Keteguhan Diponegoro
Hasanuddin, Sisingamangaraja, Agus Salim, Teuku Umar, Imam Bonjol, Pattimura, Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara...
Dan Sudirman, dengan separuh paru-paru
Memimpin gerilya

Tak berhingga pahlawan yang tersurat dalam sejarah
Atau yang tak pernah tersebut nama
Merelakan tulang dan darah
Menopang kemerdekaan dan pembangunan

Namun kini, kemana Indonesia yang sesungguhnya?
Ketika ribuan anak jalanan menangis di kolong jembatan
Remaja kaya berhura-hura
Para dokter berdemo menuntut keadilan
Dan pengadilan,
bak opera murahan

Tindak anarki menjadi tontonan
Para politisi bukanlah negarawan,
hingga di Monas mungkin butuh lebih banyak tiang gantungan
Setiap jiwa terlahir menanggung hutang
Dan bayi-bayi terbuang, bertanya apa salah mereka

Ibu pertiwi menangis tanpa air mata, kawan
Menyaksikan carut marut sendi kehidupan
Merindukan Indonesia yang sesungguhnya
Ketika minyak tak pernah langka
Dan para satwa tak kehilangan habitat
Ketika rasa malu menjadi pakaian anak perawan
Dan pemimpin bangga dalam kesederhanaan

Di mana Indonesia yang sesungguhnya?
Apakah hanya tinggal cerita?
Yang terwariskan menjadi legenda?

Tidak...tidaakk...tidaaakkk!
Indonesia hanya sedang menanti,
Reformasi yang mengembalikan jati diri
Menanti,
Lahirnya putra bangsa yang menjunjung harga diri
Pejabat yang bermartabat
Dan warga yang santun saling menghormat

Kawan, mari mengais dari puing-puing sejarah
Keteladanan para pencerah
Kesungguhan, kejujuran, belas kasih, dan pantang penyerah
Mari ruahkan di dada anak-anak berseragam putih merah
Yang berlarian dengan wajah cerah
Terbang menjemput mimpi di bangku-bangku sekolah

Lalu kudengar syahdu di sudut-sudut kampung
Para ibu yang menidurkan bayinya
Dengan dendang nina bobo,
Tanpa khawatir harga BBM, LPG dan tarif listrik melonjak
Para petani yang menggiring bebek ke sawah,
tanpa khawatir harga padi merendah
Pengusaha tenteram berbenah
Tanpa khawatir rupiah melemah
Para  pekerja duduk tenang di kereta,
Tanpa khawatir kemacetan jalan ibu kota
Orang mengaji berkopiah
Tanpa khawatir dituduh teroris

Ibu pertiwi jangan menangis
Masih ada sepenggal nurani
Di dada generasi muda
Yang harus kita jaga
Dari korupsi usia
Masih,
Masih,
Masih ,
Ada harapan dan cinta
Untuk Indonesia yang sesungguhnya

Mari bermohon kepada Yang di Atas Sana
Rahmat dan karuniaNya
Dan terus berkarya
Dalam gelora cinta
Untuk Indonesia baru yang sesungguhnya.

Jogjakarta, 10 Januari 2014.
Ida Nur Laela.




Thursday, June 19, 2014

Tahun Ajaran baru, Ayo Sekolah!



Barusan marak di media tentang Raeni, gadis pintar lulusan terbaik Unes Semarang. Anak seorang tukang becak yang beruntung mendapat beasiswa Bidik Misi dan berhasil dengan sangat baik.
Setiap awal tahun ajaran, saya selalu ngenes menyaksikan tidak semua anak bisa melanjutkan sekolah. Ah ternyata memang inilah kenyataan negeri yang katanya menerapkan wajib belajar 9 tahun. Pada kenyataannya masih banyak anak yang belum beruntung mengenyam bangku pendidikan.
Puisi ini tadinya saya ikutkan salah satu lomba yang kemudian saya tidak tahu kelanjutannya. Apakah memang ada yang menang atau tidak. Kemungkinan saya memang tidak menang lantaran tidak dihubungi oleh panitia.
Namun karena ini adalah ungkapan jiwa dan keprihatinan, tetap saja saya muat di blog.
Silahkan menikmati apapun rasanya.

Mimpi Sekolah Anak Pengais Sampah

Ilustrasi dokpri

Sunday, March 23, 2014

Rumah Rapi Vs Jejak Cinta


Wahai ayah bunda, sebagai orang tua kadang memiliki dilema antara keinginan agar rumah selalu rapi bersih dan...sedikit kebebasan ruang untuk anak “berekspresi.” Eh iya enggak sih? Jangan-jangan hanya aku saja.
Ada keluarga yang memilih rumahnya tetap rapi dan sunyi, melarang anak ”memberantakkan” atau membuat “kegaduhan”. Namun juga ada yang ekstrim memperbolehkan anak melakukan apa saja.

Dimana posisi kita?
Mana yang lebih kita inginkan? Rumah yang selalu bersih dari corat-coret tapi anak-anak kekurangan ruang ekspresi atau anak yang tak diatur dan diberi banyak kebebasan?

Saturday, February 8, 2014

UNTUK PUTRAKU REVOLUSI



saat engkau marah anakku
kupeluk dengan penuh cinta dan doa
Agar Allah redakan marahmu
apapun yang membuatmu kesal
juga
agar aku tak ikut marah

lalu kucurahkan semua doa kebaikan untukmu
kuyakin doaku akan didengar oleh Allah
dan melembutkan hatimu

kuyakin pelukan sayangku
meluruhkan jengkelmu
lalu saat kucium pipimu dengan penuh sayang
selalu kau tersenyum padaku
sebagaimana kesepakatan kita
sebagaimana yang selalu kau lakukan jika aku marah pada ulahmu
kau peluk aku dan kau cium
lalu kau pandang wajahku :
" Umi, kalau dicium itu kan artinya aku minta maaf
Umi senyum dong.."
dan tak bisa tidak, hilanglah semua jengkelku
dan kita saling tersenyum
sebagai tanda kemaafan

Semoga ya Allah, Kau jaga diri kami dari sifat marah
yang tidak seharusnya.
lunakkan lembutkan hati kami

selamanya


Friday, January 31, 2014

puisi untuk sahabat

Sesekali saya suka menulis puisi
biasanya tanpa rencana, menulis saja
seperti pagi ini, menulis saja
tanpa mengkonsep atau merencana.

Teringat pada seorang sahabat yang hidupnya seolah penuh onak duri, semoga Allah angkat ke derajat yang lebih baik, amin.
Berikut puisinya ya:



Teruslah Berusaha Kawan

Sejarah terus berputar
kita tak pernah tahu yang taqdir terbaik sebelum memperjuangkan yang terbaik 
disertai doa dan kepasrahan

jika hari ini ada saja yang mengecewakanmu
maka dengan terus bekerja
engkau akan tahu bahwa dunia berputar
suatu saat taqdir akan berpifak kepadamu

Jika engkau merasa 
telah mendapatkan segalanya
tetap teruslah bekerja
bisa jadi takaranmu 
lebih dari yang sekarang ada dan 
engkau syukuri

Allah Maha Kaya untuk memberimu apa saja
Allah Maha Mengabulkan doa

Buat anda yang merasa kekurangan harta. mintalah pada Allah 
Buat anda yang merasa kurang kekayaan jiwa, mintalah pada Allah 
dengan bekal iman dan amal sholih
semoga Allah berikan jalan keluar,  berkat taqwa yang kita rajut
dalam hati kita
amin
amin
amin

Jogjakarta, 1 Februari 2014