Monday, October 21, 2013

Lelaki Tiga Jaman


Garis wajahnya masih menampakkan sisa-sisa ketampanan wajah pada masa mudanya. Bibirnya selalu berhias senyum manis. Yang paling menarik adalah rambutnya.
" Seperti einstein..." Bisik suamiku.
" Saya lahir tahun 1934. Saya mengalami jaman Belanda, Jepang dan Jaman Kemerdekaan..." Waah ceritanya masih runut. Kami mendengarkan dengan serius.
" Paling enak jaman Belanda. Yang jualan hanya Cina. Mereka jor- joran diskon....." Ia berhenti sejenak dan tersenyum. Mungkin mengenang masa mudanya itu.
" Anak- anak sekarang harus diajari mencintai Indonesia. Diajari lagu- lagu perjuangan untuk mendidik patriotisme." Lalu ia mulai menyanyi lirih beberapa syair lagu nasional. Bercampur campur ada Garuda Pancasila, Maju tak gentar dan Halo- halo bandung.
Secara mengejutkan ia berhenti tiba- tiba dan bertanya :
" Itu apa ?" Ia menunjuk peti mati di hadapan kami.
" Jenazah mbah..." Jawab suamiku.
"o, jenazah. Jenazah siapa ?"
" Mbah Wito"  kali ini yg menjawab bu Indri, anak perempuan lelaki einstein itu. Sejatinyalah kami sedang melayat. Pak wito adalah mertua bu Indri, sekaligus besan lelaki tiga zaman itu. Mereka hidup dalam satu atap sudah setahun terakhir. Namun rupanya kepikunan telah membuat lelaki ini lupa dengan teman berbincangnya setiap hari.
" Berapa usianya ?" Tanya lelaki itu lagi.,
" 85 tahun " bu Indri terus menjawab dengan sabar. Lalu beliau berbisik kepadaku.
" Tadi sudah aku jelaskan ke bapak perihal meninggalnya bapak mertua. Tapi bapak sudah lupa lagi. Bapak kehilangan ingatan jangka pendek..."
Hmm begitu rupanya. Maka ia mengaku sebagai lelaki 3 zaman. Bukan 4 zaman. Beliau tidak lagi sepenuhnya bisa mengingat  zaman reformasi.

Suamiku  terus berdialog dengan pembicaraan yang searah. Bapak tua yang banyak bercerita dan suamiku  menanggapi sebisanya.
Aku sendiri lebih banyak berbincang dengan rekanku tentang hal ikhwal sakit dan saat- saat akhir mertuanya.
Dalam perjalanan pulang, kami membincangkan keunikan yang kami temui. Lelaki 3 zaman itu, adalah cerminan masa mudanya yang bahagia. Ia selalutersenyum dan berkata yang baik. Pemikiran - pemikiran yang mungkin menjadi konsennya di masa muda.
Pikun telah menghampirinya di usia 79, namun ia tak lupa dengan bacaan sholat. Setiap kali waktu sholat tiba, anaknya akan mengingatkan untuk menunaikan sholat. Ia sholat dengan cara yang benar sekalipun tak lagi bisa berdiri. Kemanapun ia pergi dengan beringsut. Tidak setiap orang yang ada di rumah diingatnya, termasuk bapak Wito, besannya yang telah meninggal. Dulu mereka sering duduk mengobrol berdua. Walaupun pada masa akhir - akhir setelah datang pikunnya ia sudah lupa dengan besan rekan ngobrolnya.

Sebentar kemudian ini bertanya lagi :
" Itu apa ?"
" Jenazah mbah"
" Jenazahe sopo?"
" Mbah  Wito..."
Dialog kembali berulang.
Lelaki 3 zaman itu, selalu bertanya dan ingin tahu, apa yang terjadi di sekitarnya.
Kubayangkan bahwa kita semestinya bersabar membersamai orang tua yang telah pikun. Berkali-kali bertanya hal yang sama. Bahkan kadang setelah selesai makan sudah minta makan lagi. ( Eh bukankah sama seperti anak kecil yang seringkali mengulang pertanyaan yang sama. Orang tuanya kudu sabar agar anaknya tumbuh cerdas dengan banyak bertanya). Kalau menghadapi orang tua, anak harus bersabar untuk mendapat syurga Allah karena berbakti pada orang tua.
Aku trenyuh memikirkan diriku sendiri, berapa lama kuasa manusia, mempertahankan ingatannya, menjauh dari kepikunan.
Apa yang terjadi saat usia terus memanjang, dan kesadaran telah digantikan oleh kepikunan.
Ya Allah, peliharalah kami dari kepikunan, berilah kami usia panjang yang berkah dengan kesadaran.

Amin. 

Pelajaran yang bisa dipetik
1. Karakter masa muda atau yang dominan sepanjang hidupnya akan muncul pada pada saat pikun. seperti lelaki einstein yang selalu tersenyum.
2. Fokus perhatian pada masa hidup, terbawa juga hingga masa pikun.
3. Buah mendidik anak yang sholih atau sholihah adalah mereka tetap berbakti dengan berlaku baik pada orang tuanya pada masa pikun.
4. Manfaatkan masa sadarmu sebelum datang masa pikunmu.
5. berdoa agar dijauhkan dari kepikunan.

Oya foto-foto ini koleksi pribadi yang tidak ada hubungannya dengan cerita di atas. Maklum namanya melayat, gak enak mau jeprat-jepret,

4 comments:

  1. Layknya kita sabar menghadapi anak kecil, begitu juga dm menghadapi orang tua yg sudah pikun, harus sabar juga :)

    ReplyDelete
  2. Betl sekali Santi Dewi, terimakasih sudah berkunjung

    ReplyDelete
  3. mbahnya suami juga dah pikun mak, tiap kami datang, dia ga kenal, sebentar2 nanya siapa kami.... ya begitulah....

    ReplyDelete
  4. Saatnya anak cucu berbakti ya enci sasikirani. makasih udah berkunjung

    ReplyDelete