Tuesday, May 12, 2015

Waktu yang Tak Bisa Ditukar

Behind the scene sebuah status.
Menulis status di fb, bagi saya sendiri seringkali merupakan pelepasan emosi. Seperti pagi itu, saat akan memeriksakan Revo ke dokter. 
Semula saya berniat menyetir sendiri. Namun tiba-tiba Revo minta makan, pada jam seharusnya kami berangkat.  Sejak pagi saya menawari dia makan, tapi belum berselera. Saat akan berangkat dan membaui harum gorengan ayam sarapan kakaknya, ia berteriak.
"Umi aku mau makan dulu!"
Hadeuh, kalau kesiangan dokternya bisa tutup. Maka saya membujuk untuk makan di mobil. Artinya juga disuap, karena ia akan kesulitan memegangi piring dsb dalam keadaan sakit dan ingin dimanja.
Kuminta supirku yang sedang mencuci mobil untuk mengantar kami, tapi ia justru minta ijin pulang sebentar membelikan sarapan anaknya.
Saya harus segera mengambil keputusan, atau kehilangan waktu praktek dokter langganan.
"Umi, kenapa kita belum berangkat?" Tanya Revo yang sudah siap.
"Bentar Nak, belum ada yang nyetir. Kecuali jika kamu mau makan sendiri. Umi yang nyetir."
"Kenapa bukan abi saja yang mengantar. Ayoo dong Bii...?!"
Kulihat suamiku yang sedang sibuk mempersiapkan acaranya. Sebentar lagi ada banyak tetamu yang akan hadir di rumah.
"Abi sedang menunggu tamu, Po. Tidak bisa mengantar kita." Kataku.
Kulihat suamiku memandang kami dengan bimbang. Sementara Revo menantinya penuh harap.


"Abi akan ada tamu, Po" jelas suamiku.
Sementara itu, saya terus menyuapi Revo. Alhamdulillah habis juga nasinya dalam waktu singkat. Kami segera berangkat berdua. Sepanjang jalan saya yang jadi merasa kurang enak.
Sesekali saya melirik Revo yang asyik menghabiskan ayam gorengnya. Saya tengah meraba, apakah Revo kecewa saat abinya tidak mengantar ke dokter? Biasanya kami memang pergi berdua saja. Sesekali saja diantar abi, saat beliau di rumah. Tapi Revo tadi sampai memohon.
Hmm, semoga tidak. Nyatanya ia sibuk makan sambil sesekali berceloteh ini itu. Namun kumpulan ingatanku pada berbagai-bagai kisah orang tua-anak, telah menggumpal menjadi bola yang membuat tenggorokanku tercekat.
Maka sambil menunggu antrian, saya menulis status di fb, sambil sesekali menyeka butiran yang tak kuasa saya tahan.
Beruntungnya saya agak pilek. Jadi enggak begitu kentara bahwa sebenarnyalah saya menangis saat menulis status.
Dan inilah status yang dalam 1x24 jam dishare oleh 45 orang.  Dan entah berapa banyak air mata tumpah oleh resonansinya.
" Pagi ini Revo sakit, batuk dan sesak nafas. Saya mengantarnya ke dokter. Sekalipun belum begitu parah, saya memilih untuk segera menyerahkan Revo pada ahlinya. Pasalnya esok pagi saya harus pergi selama 3 hari. Saya tak ingin  eyangnya repot mengurus anak sakit. Dan betapa pilu hati seorang ibu saat neninggalkan anak yang sakit.
Di tempat praktek dokter kulihat sepasang kakek nenek memeriksakan cucunya yang berusia 1 tahun. Sang cucu juga batuk pilek. Adik kecil itu menangis kencang karena satu dan lain hal.
"Ibunya kerja..."
Sang nenek membuat pernyataan, seolah menebak pertanyaan di benak ibu-ibu yang lain. Saya tersenyum memakluminya.
Ingatanku melayang pada pada kisah sahabatku, seorang dokter spesialis jiwa.
Beliau dosen yang cukup sibuk dan juga tetap menerina pasien.
Pada sebuah situasi sulit dimana beliau sedang mempersiapkan keberangkatan untuk konferensi di luar negeri, putrinya meminta ditemani membeli sepatu.
Beliau benar-benar dikejar waktu. Sementara pasien langganan memajukan waktu konsul karena akan ditinggal sementara waktu.
Maka pasien pun bertumpuk.
Putrinya menolak diantar ayahnya untuk membeli sepatu. Justru menulis SMS yg membuat ibunya berurai air mata.
"Berapa aku harus membayar ibu, agar ibu punya waktu mengantarku membeli sepatu?"
Ibunya makin tersedu, melihat deretan pasien yang berharap padanya.
"Pasien jiwa tak bisa menunggu. Mereka butuh pertolongan. Tahukah kamu Nak, ini bukan sekedar soal uang...."
Katanya dalam hati.
Namun nuraninya tak bisa  berkelit dari rasa bersalah.
"Aku merawat jiwa orang lain dan lalai merawat jiwa anakku.
Maka ia membalas SMS anaknya.
"Jika kamu tidak menginginkan ibu pergi keluar negeri, ibu akan batalkan. Besok ibu tak akan berangkat konferensi dan mengantarmu membeli sepatu..."
Menuliskan pesan dengan sepenuh kerelaan membuat rekan saya merasa lebih ringan. Beliau berhasil memutuskan prioritas, antara mengisi konferensi Internasional dan kepentingan merawat jiwa putrinya yang ingin sekedar ditemani membeli sepatu. Putrinya ini boarding school di pesantren. Jadi pertemuan mereka pun secara umum terkendala waktu dan tempat.
Tak lama kemudian ia mendapat SMS balasan yg membuatnya memahami,  sedalam apa cinta diantara mereka.
"Besok, aku akan ijin sekolah dan mengantar Ibu ke bandara"
Kisah yang mengharu biru itu diceritakannya padaku dengan sarat rasa. Sebuah kisah pertentangan batin seorang dokter. Dokter juga manusia. Punya anak-anak yang membutuhkan cinta dan perhatian. Bukan hanya kala mereka sakit, tapi juga saat mereka bertumbuh kembang.
Hari-hari emas yang tak mungkin ditukar dan diputar ulang.
Maka ayah bunda, saat mereka meminta cinta dan perhatianmu, tak selayaknya engkau menundanya.
Pandanglah mata beningnya dan temukan sinar harap di sana. Jangan biarkan meredup menjadi segores kecewa."
Semoga kami diberi kesanggupan merawat jiwa anak-anak kami.
Dan anda juga, dimudahkan merawat jiwa anak-anak anda.
Amiin.

20 comments:

  1. Ikut mbrebes mili bacanya Bunda Ida. Sy blm nikah dan punya anak, tapi sering melihat murid sy yg ortunya sibuk luar biasa. Akhirnya sekolah atau les sering diantar asistennya. Semoga ini jadi pelajaran sy kelak bila sy sdh punya anak sendiri.

    ReplyDelete
  2. sangat menginsfirasi ceritanya mba. bisa dijadikan cerminan untuk kita semua

    ReplyDelete
  3. sedih bacanya mba.... betul, hari2 emas tak dpt diputar ulang. Waktu tak dpt diputar ulang. Maka memang sebagai org tua, kita dituntut utk bisa bijak menggunakan hari2 emas tsb utk anak2 kita. Cerita di atas adalah suatu renungan utk kita, terutama utk saya. Makasih mba Ida....

    ReplyDelete
  4. Serius, saya nelangsa. Kata2 anaknya itu lho. Tapi ya mau gmn lagi ya, Bu. Pasien btuh penanganan cepat juga. Hiks.

    ReplyDelete
  5. harus bisa mengambil keputusan ya mbak, bacanya terharu

    ReplyDelete
  6. Hiks mak..anak srg sy tggal kerja n aktvts lainnua. Bahkan sbtu ahad bs full time dengannya kadang sulit..

    ReplyDelete
  7. Waktu dengan anak-anak kita berlalu dengan cepat, makanya saya dan suami benar-benar berusaha memanfaatkan waktu yang ada meskipun sedikit.

    ReplyDelete
    Replies
    1. semoga kita bisa menjadi orang tua yang baik amiin

      Delete
  8. Amin...
    Walau belum punya anak, tapi sedih mbak bacanya. Terkadang orang tua emang terkesan meninggalkan anaknya demi pekerjaan, miris sih kalau sampe karena itu hubungan sama keluarga jadi renggang. Untungnya kalau anak bisa ngerti seperti cerita itu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. dilema orang tua ...semoga kelak bisa menjadi ortu yang bijak amiin

      Delete
  9. Tertohok banget baca sms si anak kepada ibunya. Aku kerja dari rumah saja, anakku pernah ngomong: "Nih, Kakak kasih Mama uang supaya Mama gak usah kerja." :'(

    ReplyDelete
    Replies
    1. bener mak, anak-anak butuh cinta dan perhatian...

      Delete