Tuesday, October 6, 2015

Mengapa Bukan Ayah saja, yang Meninggal?

Ia masih bocah, masih duduk di bangku kelas 3 SD.
Suatu kali ustadz di kelasnya memotivasi para siswa untuk menjaga shalat jamaah shubuh.
Bagi si anak, Shubuh merupakan sesuatu yg sulit bagi sang bocah.
Namun sang bocah telah bertekad utk menjalankan shalat shubuh di masjid.
Lalu dgn cara bagaimana anak ini memulainya?
Dibangunkan ayah? ibu? dengan alarm?…bukan!

Sang anak nekat tak tidur semalaman lantaran takut bangun kesiangan.
Semalaman anak begadang, hingga tatkala adzan berkumadang, iapun ingin sgr keluar menuju masjid.
Tapi…tatkala ia membuka pintu rumahnya,
Suasana sangat gelap, pekat, sunyi, senyap…membuat nyalinya menjadi ciut.
Tahukah Anda, apa yg ia lakukan kemudian?

tatkala itu, sang bocah mendengar langkah kaki kecil dan pelan, dengan diiringi suara tongkat memukul tanah…

Ya…ada kakek-kakek berjalan dengan tongkatnya.

Sang bocah yakin, kakek itu sedang berjalan menuju masjid,
maka ia mengikuti di belakangnya, tanpa sepengetahuan sang kakek.
Begitupula cara ia pulang dari masjid,
Bocah itu menjadikan itu sebagai kebiasaan begadang malam, shalat shubuh mengikuti kakek2.
Dan ia tidur setelah shubuh hingga menjelang sekolah.
Tak ada org tuanya yg tahu, selain hanya melihat sang bocah lebih banyak tidur di siang hari daripada bermain. Dan ini dilakukan sang bocah agar bisa begadang malam.

Hingga suatu kali…
Terdengar kabar olehnya, kakek2 itu meninggal.
Sontak, si bocah menangis sesenggukan….
Sang ayah heran…”Mengapa kamu menangis, nak? Ia bukan kakekmu…bukan siapa-siapa kamu!”
Saat si ayah mengorek sebabnya, sang bocah justru berkata, “kenapa bukan ayah saja yang meninggal?”

“A’udzu billah…, kenapa kamu berbicara seperti itu?” kata sang ayah heran.
Si bocah berkata, “Mendingan ayah saja yg meninggal, karena ayah tidak pernah membangunkan aku shalat Shubuh, dan mengajakkku ke masjid. ..
Sementara kakek itu….setiap pagi saya bisa berjalan di belakangnya untuk shalat jamaah Shubuh.”

ALLAHU AKBAR! Menjadi kelu lidah sang ayah, hingga tak kuat menahan tangisnya.
Kata-kata anak tersebut mampu merubah sikap dan pandangan sang ayah, hingga membuat sang ayah sadar sebagai pendidik dari anaknya, dan lebih dari itu sebagai hamba dari Pencipta-Nya yg semestinya taat menjalankan perintah-Nya. Sang ayah rajin shalat berjamaah karena dakwah dari anaknya…

“Rabbana hablanaa min azwaajina qurrata a’yun waj’alna lil muttaqiina imaama..”

4 comments: