Wednesday, February 25, 2015

Wong mBantul ke Pekan Baru (bag 1)


Entah kali ke berapa saya ke Pekan Baru. Saya tidak ingat. Bisa jadi saking seringnya pergi, saya kesulitan mengingat tempat yang pernah saya kunjungi. Selain itu juga karena saya terkadang hanya transit atau lewat saja menuju ke kota-kota di sekitarnya. Ah tak apa, berapa kali,  itu bukan informasi penting bagi anda.

Perjalanan kali ini memenuhi janji beberapa bulan yg lalu kepada kampus Universitas Abdurrab. Nantinya, saya akan ceritakan tersendiri tentang kampus itu. Sekarang episode keberangkatan yang agak mengharu biru #halah.

dokpri
Sejak packing semalam, suamiku bertanya, tentang jam keberangkatan kami. Saya segera meneliti E-ticket yang telah diprint beberapa waktu yang lalu. Oh ternyata saya salah cetak. Tiga lembar tiket itu baru kepulangan. Belum ada yang berangkat. Jadi saya hidupkan PC lagi dan bla-bla mencari email panitia untuk cetak tiket. Ternyata berangkat dengan Citylink jam 10.30. Alhamdulillah, tidak terlalu pagi. Paling tidak sempat beres-beres rumah.

Selesai packing jam 10. Saya menemani Revo tidur. Revo kadang masih sulit terlelap jika tidak dielus-elus.  "Umi besok masakin aku kentang goreng ya" itu pesan terakhirnya sebelum terlelap.


Meninggalkan Revo di hari aktif sekolah jarang saya lakukan. Terlalu banyak sogokan agar ia merelakan saya bekerja beberapa hari ke luar kota. Misal kakaknya harus menuruti keinginannya berkemah di halaman belakang selama dua malam. Komprominya jatuh pada malam Kamis dan malam Jumat, saat kakaknya selesai mengumpulkan revisi TA. Alhamdulillah anak pertama dan ketiga kompak mau menolong. Memang hanya mereka partnerku karena anak-anak lain tersebar di tiga kota. Termasuk request menu makanan favorit itu bagian dari upaya membuat Revo nyaman.Masih ada beberapa lagi.

Begitulah paginya selepas sholat subuh, saya bergegas bertempur di dapur. Menanak nasi, melihat bahan isi kulkas dan menentukan menu dadakan. Oseng tempe kesukaan Hamda, goreng kentang  kesukaan Revo dan goreng tempe gembus serta bakwan kesukaan ibu saya. Selain itu masih ada sisa sarden semalam yang kucampur saja dengan ayam goreng ...entah jadi apa rasanya ya.

Usai masak, saya membangunkan Revo. Dan rutinitas sholat shubuh, sarapan, mandi makan diselesaikan pada waktunya. Revo berangkat sekolah dengan gembira. Hari ini jadwalnya olah raga dan masih ada eskul renang. Nanti akan dijemput jam 15 di kolam renang.

Setelahnya saya masih punya waktu membereskan kamar dan mencuci baju. Mandi dan berdandan. Jam 8 telah siap alhamdulillah. Tak lupa mendelegasikan tugas mengantar paket buku yang kemarin kusiapkan. Ada banyak paket pesanan dalam dan luar kota. Tugas setor tunai dan lain-lain selama saya pergi akan dilakukan oleh 2 karyawan yang merangkap driver.

Jam 8.15 kami berangkat dari rumah dan tiba di bandara jam 8.40. Memang bandara tak jauh dari rumah kami. Setelah check in, kami menanti di si cafe Garuda. Sekalipun telah memasak aneka rupa, saya belum sempat sarapan. Hanya minum kopi radix dan madu pahit. Demikian pula suamiku. Maka kami memesan teh poci. Suamiku memesan menu favoritnya yaitu gudeg tanpa gudeg. Maksudnya hanya nasi, sambel goreng krecek, telur dan ayam suwir. Saya memesan bihun rebus.

Kami mengisi waktu dengan aktivitas normal. Yaitu suamiku menulis dengan lepinya. Menulis apa saja. Saya menjawab pesan masuk serta jualan online. Ah sempat menyelesaikan odoj juga.

Tunggu punya tunggu lamaa hingga jam 10.30, dimana seharusnya kami telah terbang. Tak juga ada panggilan. Rupanya semua penerbangan delay oleh sebab rutinitas yang tak dapat dihindari: latihan terbang AAU. Semua pendaratan juga.

"Beginilah Bandara Adisucipto," kata suamiku,"yang lancar hanya pagi. Kalau mulai jam 9 harus gantian sama latihan terbang. Nanti sore antri turun dan naik lantaran penuhnya jadwal penerbangan."

Hmm mau bagaimana lagi. Bandara ini memang milik AAU. Pendidikan penerbang juga kebutuhan nasional. Tapi berapa saja kerugian maskapai dan lain-lain efek dominonya akibat peristiwa berulang seperti ini.

Pernah beberapa pekan sebelumnya, saya dari Jakarta, naik pesawat Garuda. Kami harus berputar lebih dari 30 menit  langit bagian atas Jogja barat dalam cuaca buruk. menembus awan badai berkali-kali, disela petir dan guruh. Tak ada yang bisa dilakukan selain berdoa dan berdzikir. Alhamdulillah bisa mendarat dengan selamat dengan cuaca di sekitar bandara yang lumayan bagus. hanya gerimis dan awan tipis.

Kalau posisi terganjal di darat masih mending, repot kalau di udara dan tertunda landing hingga satu jam. Semoga afturnya cukup saja.

Jam 12 baru dapat kabar untuk boarding. hanya boarding ternyata. karena kenyataannya kami masih harus duduk manis selama 1 jam di atas pesawat untuk menanti giliran terbang. jam 13 barulah mengangkasa. Saya membagun komunikasi dengan panitia di Pekan Baru agar mereka menyesuaikan jadwal dengan telatnya kami.

Apa yang dilakukan sekian lama di atas pesawat? Membolak-balik koran hingga huek-huek, membaca majalah Linkers dan mengobrol. Sulit benar tidur dalam penantian itu. Apalagi banyak penumpang yang mengobrol dengan suara keras. Mau tak mau saya menguping berbagai tema pembicaraan.Beruntungnya saya telah membeli dua kotak minuman sebagai bekal.Sekalipun nantinya ada penjualan makanan saat sudah di angkasa, Beberapa orang telah menghidupkan hp lagi untuk berbagai alasan. Semua diam-diam tentu saja.

Take off disambut dengan kelegaan. kami meninggalkan langit Jogjakarta dengan penuh harapan mendarat dengan lancar di Bandara Sultan Syarif Kasim II di Pekan Baru. Setelah beberapa saat mengudara, para pamugari berkeliling dengan gerobak dorong. Tumben berjualan mie instan di atas pesawat laris manis. Bawaan semua orang kelaparan termasuk saya. Sejak pagi hanya terisi bihun rebus. Saya memesan mie cup dan sebotol air mineral kecil dengan membayar Rp.25.000. Merasa bersalah saat menelannya, bukan karena mahalnya, terutama kepada Revo yang sering saya larang makan mie instan. 

"Maafin Umi ya, Po. Belum tentu setahun sekali Umi makan mie."
Tentu saja Revo tak mendengar permintaan maaf itu hehe.

Alhamdulillah penerbangan 2 jam tanpa tidur, bisa menuliskan cerita ini. Cuaca lumayan cerah sekalipun udara berawan. Dari atas langit Pekan baru kami disambut pemandangan hamparan kebun sawit yang terlihat rapi menyerupai rumput penghias maket miniatur bangunan. Asap tipis tetap setia menghiasi langit, namun tak mengganggu. Mungkin begitulah nasib Riau yang tak lepas dari asap.

Akhirnya pesawat Airbus Citylink mendarat dengan halus di Bandara Sultan Syarif Kasim II. Tepat pukul 15.15, udara panas menyengat menyapa di pelataran Bandara. Tanpa kecewa bahkan penuh kesyukuran saya berucap:
"Assalamu ;alaikum Pekan baru!"

Bersambung.

dokpri

Sunday, February 22, 2015

Menulis Yuuk

Di salah satu hari Jum’at, bulan januari 2015, saya ikut work shop menulis yang diadakan oleh sebuah lembaga. Pematerinya adalah Cahyadi Takariawan, penerima kompasiana award 2014 kategori people choiche. Peserta lumayan banyak, ada sekitar 80 orang.

Acara berlangsung dalam 2 sessi, sessi pertama tentang motivasi menulis dan manfaat menulis. Saya bagi oleh-olehnya untuk anda ya, para pembaca blog.


Manfaat Menulis

Menulis itu membawa banyak manfaat. Ada manfaat untuk diri sendiri. Misalnya, menulis adalah pelepasan emosi dan menyehatkan jiwa. Juga bisa menjadi catatan harian atau sejarah kita sendiri.Masih banyak lagi tentang manfaat menulis ini.

Apakah bisa menjadi kaya dengan menulis?



Ada. Sebagai contoh ada 2 buku yang royaltinya mencampai lebih dari 1M. Buku apa yang fenomenal itu? Ayat-ayat Cinta dan Lasykar Pelangi.
Yaa, itu kan ditulis oleh orang-orang hebat!

Eit tunggu dulu, enggak usah muluk-muluk mengejar kang Abik dan Andrea Hirata, anda bisa melakukan dalam skala yang lebih sederhana.

Ada mas Herman yang rajin menulis tema ekonomi Islam di beberapa media massa maupun blognya. Dari tulisan tsb bisa untuk bertahan hidup dan membiayai kuliahnya.

Ada lagi kisah mbak Dian Kristiani yang bermula dari sakit hati menjadi korban PHK. Ia menulis dengan serius dan penghasilannya lebih besar dari gajinya di perusahaan. Lebih dari 50 buku cerita yang telah ditulisnya.

Menulis sebagai kerja sampingan sangat kompatibel dengan pekerjaan menulis. Kisah Syaiha (Syaiful Hadi),  guru SD dari Lampung yang menjadi kompasioner aktif. September 2013. Naskahnya 700 an. Ia menulis tema pendidikan. Tulisannya lalu dibukukan dan sudah menjadi 2 buku.

Menulis itu jendela. Sekarang setiap Sabtu-Ahad mas Syaiha mengisi training tentang tentang kependidikan dan kepenulisan. Bukankah demikian juga yang dialami oleh banyak penulis yang konsisten terus dalam menulis?

Kisah lain tentang Mas Sakti Wibowo pekerja pabrik roti. Rajin menulis dan honornya jauh lebih besar dari gajinya sebagai karyawan.

Begitulah, menulis itu membuat jendela. Setiap tulisan adalah jendela. Jadi penulis bisa melihat keluar dan orang luar melihat penulis. Pengalaman pribadi pak Cah menjadi diundang dimana-mana. Seperti penyanyi yang punya album. Uang hasil penjualan album belum tentu lebih besar dari uang manggung.

Pak Cah di undang mengisi di 10 negara bagian di Amerika. Tema tiap forum berbeda-beda. Sebagian adalah judul artikel Pak Cah di Kompasiana. Itulah tulisan yang menjadi jendela.

Menulis sebagai identitas.Setiap tulisan yang kita publikasikan akan menjadi identitas. Semacam KTP atau pasport. Orang mengenal sebagai penulis.

Selain membawa manfaat pada diri penulis, juga membawa manfaat untuk dakwah. Manfaat bagi Masyarakat, Bangsa dan Negara.

Pencerdasan masyarakat dan bangsa vs pembodohan melalui tulisan. Corong bagi kepentingan nasional vs penguasa asing. Suara penguasa vs suara oposisi. Banyak banget manfaatnya.

Bagaimana menulis?

Berikut quote dari mereka yang terjun dalam dunia ini.
Tak ada sekolah menulis. Yang ada hanyalah orang berbagi pengalaman menulis (Pepih Nugraha, Manager Kompasiana).

Menulis itu mudah.
"Menulislah setiap hari. Tetbitkan tulisan setiap hari." (Much Khoiri, Kompasioner)
Tak ada yang salah dalam motivasi kita menulis. Menulis untuk mendapat uang atau kepentingan yang lain seperti kepuasan diri atau idealisme.

Salah satu kemudahan teknologi yang kini terbuka adalah menulis di lapak seperti kompasiana. Apa keuntungan menulis di Kompasiana?
Mudah dan gratis. Diakses oleh banyak orang karena nama besar Kompasiana.
Tulisan kita dinilai oleh empat fihak. Pertama oleh diri sendiri, oleh admin, oleh sesama kompasioner, oleh pembaca.

Anda juga dapat membuat blog pribadi baik yang gratis maupun berbayar. Menulis sendiri, mengoreksi sendiri lalu posting sendiri. Ikutilah komunitas blogger agar mendapat lingkungan kondusif untuk terus menulis.

Menulis di Kompasiana atau blog bisa saja tak sengaja melakukan kesalahan. Kita bisa mengedit kapanpun. Namun, jika menulis buku maka usahakan tanpa kesalahan karena untuk mengedit harus menunggu cetakan berikutnya.

Menulislah dengan gaya kita masing-masing. Tak perlu memaksakan diri meniru gaya orang lain. Dengan semakin sering kita berkarya, maka kita akan menemukan keunikan dan kenyamanan gaya penulisan kita sendiri.

Pilihlah tema yang tepat sesuai dengan minat dan kompetensi. Jangan takut dibajak. Yang dibajak hanyalah fisik buku. Materi tulisan bisa saja dibajak. Adapun diri kita tak bisa dibajak Kita dan segenap pemikiran kita tetap akan dikenal orang.

Demikian oleh-oleh work shop kepenulisan. Follow up dari kegiatan itu, setiap peserta diminta minimal menyetorkan satu naskah tulisan bertema keluarga. Penyelenggara akan menfasilitasi penerbitan buku antologi.

Alhamdulillah semua makin bersemangat. Semoga anda juga terus bersemangat menulis.


Thursday, February 19, 2015

Antara Hobi dan Visi Misi



“Haduuh...” Jeng Tari menggeleng-nggelengkan kepalanya. Perempuan yang biasanya tenang itu nampak galau.
“Suami saya jeng...haduuh...punya hobi baru !” keluhnya.
Ibu-ibu yang lain di forum arisan PKK itu seperti tersihir menanti kelanjutan cerita Jeng Tari.

“Hobinya bukan perempuan kan bu...?!” Celetuk Jeng Ani yang memang suka bercanda. Tapi ini bukan Jeng Ani mantan ibu negara lho.

“Bukan...sekarang ia punya hobi koleksi  miniatur mobil-mobilan...entah apa itu klub yang diikutinya....”
Hmmpph semua bernafas lega. Bukan perempuan!


“Waah masa kecil kurang bahagia kalii...” seloroh seorang ibu yang disambut gerr oleh yang lain. Emang masalah ‘kecil’ bukankah miniatur mobil memang kecil. Masalahnya kecil barangnya, besar uangnya.
Curhatan Jeng Tari berlanjut tentang waktu, tenaga dan uang yang tersita untuk hobi baru itu. Padahal ia masih harus menghemat untuk melunasi cicilan rumah dsb.

***
Seperti biasa, aku membawa pulang diskusi ibu-ibu arisan kompleks itu ke rumah. Yach, bagiku suamiku adalah teman diskusi terbaik, karena bisa berkomentar tak sekedar menampung.
Kutumpahkan semua cerita tentang hobi dan keluhan Jeng tari.

“Gimana menurut Ayah...?!” aku menyodok suamiku yang tak beralih dari buku yang dipegangnya.
“Ini masalah visi misi...” katanya ringan.
“Visi,,,? Apa hubungannya dengan hobi?” dasar aku lagi telmi.

“Manusia hidup seharusnya punya visi penting masuk surga, misi menjadi hamba Allah dan menjadi rahmat untuk seluruh alam...kalau semua pemikiran, perkataan, perbuatan, pekerjaan sampai hobi ditimbang dengan itu...akan selesai....”
Oo... aku manggut-manggut berusaha mencerna.

Hobi memang bisa menjadi bunga penyedap kehidupan. Hidup menjadi lebih bergairah dan menyenangkan saat seseorang memiliki hobi. Tapi kalau hobi itu sudah ‘mengganggu’ hak orang-orang terdekat...apalagi melalaikan kewajiban...
Misalnya suami Jeng Tari. Istrinya sudah mengeluh kurang perhatian. Memang dua anak lelakinya jadi terhibur dan ikut suka ikut menekuni hobi itu, tapi istrinya menjerit karena masalah finansial.

Trus bagaimana cara mengingatkan?
Keluhan halus sudah tidak mempan. Mau lebih keras, Jeng Tari tidak tega karena suaminya pada dasarnya adalah orang yang lembut dan peka. Cara bicaranya juga santun. Dalam dialog mereka terkuak bahwa pada masa kecilnya, dahaga akan mainan itu tak terpenuhi. Suaminya tidak ingin perasaan itu terulang pada anaknya.

Aku sendiri pusing mencarikan solusi untuk Jeng tari yang pada dasarnya sudah berusaha.
“Jeng Tari bisa masuk lewat anaknya...” kata suamiku tetap ringan. Seolah itu bukan masalah yang berat.
Hmm mungkin demikian laki-laki, tak mau melibatkan diri dalam masalah secara emosi.

“Ajak saja anaknya lebih banyak dialog tentang esensi hidup dalam bahasa anak-anak. Berikan wawasan yang lebih luas agar anak-anak tidak hanya terfokus pada hobi ayahnya....biar ayahnya tersadar oleh anaknya...”

Hmm aku membayangkan proses panjang yang harus dilalui Jeng Tari. Tapi belum tentu juga, mungkin bisa lebih cepat dari yang kuduga. Namanya juga usaha.
“Jangan lupa doakan suaminya...”
“ Makasih mas...!” Kuberikan tanda dua jempol bahwa aku sangat menghargai masukannya. 

Cepat-cepat kutelepon jeng Tari untuk meneruskan saran ini.
Aku tersenyum dalam hati karena sesungguhnya, saat aku bertanya pada suamiku, dan mendiskusikan masalah ini, adalah bagian dari perenungan agar kami tidak terjebak masalah serupa.

***

Suami atau istri, semua punya peluang untuk terjebak dalam hoby yang melenakan. Saya jadi ingat kisah suami romantis yang selalu menggandeng tangan istrinya jika bepergian. Kisah ini diceritakan berulang dalam berbagai versi. Sang suami, apakah ke pasar tradisional atau ke mall, selalu saja memegangi mesra tangan sang istri. So sweet....

Saat ada yang bertanya dengan nada iri, jawaban suami sungguh mengejutkan.
"Bapak ini mesra sekali, kemana-mana istrinya selalu digandeng. apa rahasianya pak, bisa konsisten seperti itu?"
"Saya enggak punya pilihan, Dik," katanya kecut," jika lepas dari gandengan saya sebentar saja, ia segera sibuk berbelanja. Istri saya hoby belanja..."

Waah ternyata gandengan mesranya adalah modus irit untuk menekan hoby belanja sang istri.

Ah itu hanya contoh bahwa beberapa hoby itu saling membuat tidak nyaman.
hati-hati ya, bukankah hoby gadget tengah mewabah dewasa ini?

Ah semoga anda tidak.





Tuesday, February 17, 2015

Mini Fiksi: Ironi



‘"Bagus mana bu?" 

Dia menimbang dua botol obat itu. Kusebutkan keunggulan masing-masing obat dan harganya. Dua alis mata yang terlukis sempurna nyaris bertaut mencermati tulisan kecil pada label obat.

Kuperhatikan detail wajah oval dihadapanku yang berbalur scraf bunga-bunga kecil. Lipstik lembut sepertinya perpaduan dua warna. Warna marun di pipi searah tulang pipi yang tinggi. Cantik. Riasannya harmoni dengan penampilan. Entah berapa lama mempersiapkan seperti itu.

"Saya mau yang terbaik untuk anak," katanya sembari jemari lentik berkuku indah menunjuk obat yang lumayan mahal. Ya itu persepsi umum, obat yang mahal pastilah bagus.

Belum tentu, kataku dalam hati. Yang tepatlah yang bagus. Dan itu belum tentu mahal.

Namun perempuan dengan high heels dan tas bermerk itu, memang terlihat sempurna. The perfect women.  Setidaknya penilaian sesaat dari interaksi singkat. Kupandangi saat ia melangkah anggun menuju kendaraan yang terparkir manis.

Fikiranku tentangnya segera hilang bersama deru mobilnya yang halus. Urusanku terlalu banyak, tak ada ruang untuk berfikir terlalu jauh tentang seorang pengunjung.
Setidaknya sampai beberapa bulan kemudian.

###

Tangisan tersendat terdengar di ujung sana.


"Ya...?" Kusimak dengan penuh tanya.
"Saya mendapat nomer ibu dari seorang teman. Katanya ibu bisa menolong saya ..."
"Iya, bagaimana?"
"Bisakah kita mengobrol di rumah saya? Saya terlalu lemah untuk pergi keluar ..."

Kudengar memang dari seorang teman yang kemarin menitip, ada seorang perempuan yang ingin berkonsultasi. Memang saya fleksibel saja apakah di rumah atau janjian di suatu tempat untuk berbincang mencari solusi.

Maka sore itupun saya berkendara mencari alamat klien. Terkadang ada kasus seperti ini. Ada yang emergency dan harus segera didatangi.

Kutemukan rumah cantik di ujung jalan. Memiliki ornamen garis-garis horizontal nuansa ungu yang dekoratif. Mengesankan selera keceriaan pemiliknya. Sedikit garis vertikal mengesankan lembut pilar di sebelahnya.

Sayang, beberapa bunga nampak terkulai layu dalam pot indah. Pertanda beberapa hari tidak mendapat siraman.

Ketika saya hendak mengetok pintu, tetdengar suara gedubrak keras. Lalu pintu terkuak. Saya terkejut. Lelaki itu, mungkin pemilik rumah, juga terkejut. Raut masamnya segera berlalu dengan sedikit anggukan yang dipaksakan untuk menghargai keberadaanku.

Segera saja ia bergegas menuju garasi, tanpa sepatah kata pun. Menghidupkan mesin meninggalkan deru lembut yang kini agak meninggi. Seolah kuingat suara itu pernah terdengar di suatu tempat.

Saya masih terpaku. Memandangi mobil yang menghilang di tikungan saat terdengar bunyi langkah tergesa. Seseorang segera muncul di pintu yang telah terbuka dan tak jadi kuketuk.

Saya terkejut dan ia pun terkejut. Perempuan dengan daster bunga-bunga kusam, wajah yang tirus. Mata cekung dan kelopak yang bengkak oleh banyaknya air mata.

"Ibu konselor ... ?" 
Saya mengangguk. Tiba-tiba ia terkulai di pelukanku. Pingsan. 
Susah payah saya menyangga dan menyeret tubuhnya. Mendudukannya di sofa diantara barang yang berantakan.

Rumah ini sungguh berantakan. Rumah bagus tapi tak keruan. Kulihat tak ada yang beres dari ujung ke ujung sejauh bisa terjangkau oleh pandanganku. Kukira bukan karena berantakan sesaat. Buku-buku di rak tak beraturan. Barang-barang tidak pada tempatnya Sepertinya begitulah gaya penghuninya.

Kugosok wajah tirus di sampingku agar segera siuman. Dan tiba-tiba aku makin terkejut ketika sampai pada kesimpulan: dialah the perfect women.

Menggoda Pasangan untuk Selingkuh



Mengapa memilih judul yang seram-seram?
Begitulah kenyataan yang kita hadapi hari-hari ini, memang seram-seram miris. Selingkuh seolah menjadi hiburan bagi jiwa-jiwa terlena dan tak tahu jalan. Ada banyak alasan dan banyak momen yang dijadikan kesempatan. Adapun tentang tema diatas, adalah suami atau istri yang menggoda pasangannya sendiri.

“Pada awalnya saya curiga dengan suami saya. Saya menduga ia berselingkuh. Karenanya saya membeli no baru dan menghubunginya sebagai mantan pacar SMA-nya,” tutur seorang istri.

“Beberapa kali komunikasi hanya say hello. Lalu suatu hari saya menelepon suami saya dengan menyamar sebagai mantan pacarnya. Saya goda dia dan mengajaknya bertemu untuk bernostalgia. Ternyata ia menanggapi dengan genit dan mesra. Lama-lama saya tak tahan dan berteriak keras, bahwa sejatinya saya yang menyaru menjadi mantan pacar itu!” Ia tampak emosional.


“Saya rekam semua riwayat komunikasi dan percakapan kami, setiap mendengarnya saya tak tahan. Saya jadi benci suami saya!”

Akibat peristiwa itu ia tak mau masuk kerja selama beberapa hari, hanya menangis di depan kaca cermin sambil menjambaki rambutnya sendiri. Tak mau makan, apalagi mandi. Kacau sekali.

Kenyataan lain dialami sebuah keluarga. Sang suami yang menyamar menjadi lelaki lain. Membuat akun fesbuk dan menggoda istrinya. Cukup lama, berbilang bulan hingga kesetiaan sang istri rontok dan jatuh cinta pada lelaki fiktif yang ternyata adalah suaminya. Tentu saja suaminya jadi punya alasan untuk meragukan kesetiaan istrinya. Dan selanjutnya mereka sering diliputi berbagai pertengkaran oleh sebab itu.
Ujian kesetiaan. Mengapa harus dengan cara kotor seperti itu? Apakah hanya segelintir orang atau ada lagi yang mengalaminya?

“Saya punya dugaan itu,” tutur seorang perempuan dengan nada datar,”ketika saya memiliki masalah dengan suami, sebenarnya masalah pekerjaan, lalu saya merasa diteror oleh seorang lelaki.”
“Ia beberapa kali meng SMS saya dan menyatakan bahwa saya pastilah perempuan yang kesepian, ia tahu kesibukan suami saya dan menawarkan diri untuk menghibur saya.” Perempuan itu tersenyum simpul.

“Bahkan yang lebih buruk, ia membuat kata-kata kencan seolah kami telah beberapa kali melakukan hubungan intim,” kali ini ia tertawa.
“Untungnya, saya tak pernah menggapi yang demikian itu. Saya tak pernah sekalipun membalas dan juga selalu langsung menghapusnya,” tuturnya.
“Bagaimana anda bisa punya dugaan bahwa suami anda sendiri yang melakukannya?” tanyaku heran.

“Sederhana saja. Setelah berlalu satu dua bulan selalu sms itu tak saya tanggapi, saya melaporkannya ke suami , ‘Mas, ada yang suka menggoda dan sms jorok ke saya. Baiknya dikasih pelajaran apa ya. Lama-lama menjengkelkan juga!’ tahukah anda apa jawaban suami saya?”
Ia berhenti sejenak untuk menambah rasa penasaran saya.

“ ’Abaikan saja, lupakan saja, tak perlu kau menyimpan nomernya’, begitu kata suami saya dengan datar dan cepat, tanpa menatap wajah saya. Tak mungkin ia setenang itu jika orang lain yang melakukannya. Setahu saya ia adalah seorang yang pencemburu yang pasti ingin mengetahui detail dan bagaimana saya membalas SMS godaan itu.”
“Apalagi, seringkali pesan itu saya terima saat saya sedang bekerja. Juga bagaimana ia tahu bahwa saat mengajak kencan, suami saya sedang di luar kota.”

Perempuan itu tak hendak menguji balik dengan menelepon nomer tersebut atau melakukan penyelidikan lain. Ia hanya menandai bahwa setelahnya, sepertinya suaminya bertambah perhatian, sayang dan cintanya kepadanya. Dan ia memutuskan untuk tak memperpanjang kasus itu. Jika betul suaminya yang ‘tega’ melakukannya padanya, cukuplah bahwa ia telah membuktikan dirinya adalah perempuan dengan kehormatan yang tinggi.

Aneh-aneh saja ya. Btw saya tidak sedang memberikan inspirasi buruk kepada anda lho! Menguji pasangan janganlah dengan cara seperti itu. Lebih baik anda merawat dan memupuk cinta dari pada menggoda pasangan sendiri yang akibatnya kadang justru menjadi bumerang dan luka dalam rumah tangga.

Jangan pula ada niatan menanggapi atau tergoda rayuan gombal dari kecanggihan teknologi komunikasi.  Jangan pernah percaya rayuan dunia maya, bisa jadi identitasnya dipalsukan. Menjalin keluarga, atau mempersiapkannya, yang nyata-nyata saja.

Sekali lagi, jangan goda pasangan anda untuk selingkuh, sekalipun hanya ujian. Sebab itu mengundang masalah baru.

Jika anda tengah melakukannya, insyaf dan behentilah sekarang juga!

****

Setiap tindakan negatif atau positif ibarat benih yang ditanam. Cepat atau lambat akan menuai akibat. Bukankah lebih baik membangun keluarga bahagia dan menjadi Wonderful Couple?


Apa resepnya, baca di buku ini ya. Karya terbaru Cahyadi Takariawan terbitan PT Era Adicitra Intermedia, Solo. Cetakan pertama Februari 2015.



Friday, February 13, 2015

Mimpi Habibie dari Palangkaraya



Badannya yang padat berisi tak menghalangi lelaki kecil itu bergerak lincah mengikuti ambisiku mengabadikan suasana malam Masjid Agung Palangkaraya.

Saya terus saja mengitari bangunan, dan ia mengiringi dengan cerita seputar renovasi masjid. Sekalipun masih dalam proses renovasi, tak mengurangi keelokan masjid dibawah remang cahaya lampu malam yang menyembunyikan tangga besi penyangga.

Kutu buku -dokpri
Habibie, anak kelas lima SD itu seolah menjadi guideku selama di Palangkaraya. Dengan fasih ia menceritakan masjid besar mana saja yang bacaan imamnya bagus di Palangkaraya. Menceritakan bahwa renovasi masjid Agung ini ditargetkan selesai 2015. Bahwa seperti apa nantinya fasilitas dan kelengkapannya.

Bukan hanya tentang masjid, Habibie menguasai beberapa cerita sejarah dan tempat bersejarah di Palangkaraya. Saya sungguh terpikat dengan minatnya pada berbagai-bagai hal. Dengan sukarela ia membahas beberapa tema layaknya orang dewasa. Kosa kata yang sungguh berwarna menandakan berapa banyak ragam bacaannya.

"Do you want to have a flying carpet? And why?"

Wednesday, February 11, 2015

Jengah Disebut Nenek

"Adik, salim tuh sama nenek!" Perempuan muda itu berkata pada anaknya. Seorang lelaki kecil gendut yang tersenyum-senyum menampakkan deretan gigi mungil yang rapi.
Saya menengok sekeliling. Dan tak ada siapapun yang layak dipanggil nenek. Jadi panggilan itu untukku?
Ehm.

Aneh ya.kenapa saya merasa gimanaa gitu.
Jadi ingat peristiwa beberapa tahun yang lalu. Sudah lama berselang, saya pernah  menertawakan kisah seorang teman dekat. Ia seumuran saya, belum ada 40 tahun saat itu. Ketika sedang membeli buah bersama anak bungsunya, ia sempat tertegun.


"Cucunya pintar sekali nek!" 
Begitu komentar penjual buah sambil menunjuk anaknya yang berumur sekitar 3 tahun. Si kecil itu sedang menghitung buah-buahan dengan suara keras.
Teman saya tersenyum kecut atas pujian dan salah faham itu. Pujian karena putrinya memang pintar. Salah faham karena itu putrinya, bukan cucunya.
Pulang ke rumah ia langsung mengambil kaca dan bersungut- sungut menghitung jumlah kerutan di wajahnya.

Yah, kami tertawa bersama ketika ia menceritakan ulang kejadian itu. Wajar bukan, belum lagi berumur 40, ia jengkel dipanggil nenek.

Tapi saya? Sudah punya menantu, walaupun belum punya cucu, usia hampir kepala 5, tapi kenapa jengah dipanggil nenek?

Harusnya saya menginsyafi dengan sepenuh keinsyafan bahwa saya tak muda lagi.
Tanda-tanda itu telah lama dikirim alam berupa rasa lelah yang tak kunjung lerai, tensi yang tak kompromi, mata yang mulai rabun, beberapa lembar uban dan apa lagi ya ... terlalu banyak sepertinya.

Memang saya mendengar juga cerita beberapa teman yang menggendong anak pertama dan masih jengah disebut atau dipanggil ibu. Memiliki anak bukan berarti siap masuk dalam golongan ibu-ibu. Maunya dipanggil kak atau mbak.


Entahlah apakah ada juga pembaca yang mengalami, atau hanya saya dan beberapa teman saja yang tak menyadari merangkaknya usia. Lupa bahwa usia membawa perubahan penampilan pastinya. Mau tidak mau memang harus mempersiapkan diri.

Jadi walaupun belum punya cucu, saya bersiap dipanggil nenek. Apalagi jika sudah bercucu. Kiranya tak ada yang lebih membahagiakan seorang ibu yang dipanggil mama atau ibu atau umi, oleh anaknya sendiri. Atau dipanggil nenek oleh cucu tercinta.

Hmm jadi pengin segera punya cucu.

Tuesday, February 10, 2015

Sekolah Sahabat Alam Palangkaraya: “Di Sini Siswa Tak memiliki Seragam!”



Di Palangkaraya, saya takjub melihat lahan memanjang berpagar batako tinggi di tiga sisinya. Lahan pinjaman ini tak menampak sebagai umumnya sebuah sekolah, kecuali plang penanda di bagian depan: SDIT Sahabat Alam. Kendati dalam plang hanya tertulis SDIT, tetapi disini terdapat aktivitas belajar sejak jenjang play group, TK hingga SMP. Bahkan ada 29 siswa ABK dari seluruhnya 170 siswa dalam berbagai jenjang.

Apa yang unik dan menarik dari sekolah alam ini?

kolam ikan berpagar alam- dokpri

Saya telah mengunjungi beberapa sekolah alam di berbagai tempat di Indonesia. Pada umumnya memiliki ciri memiliki lahan yang luas dan sangat dekat dengan alam. Tetapi di sini, lingkungannya benar-benar dibiarkan menjadi miniatur alam.

“Pertama kali melihat, ketika anak saya pindah ke sini, saya risih dengan rimbunnya semak dan perdu di lingkungan sekolah,” ungkap seorang wali siswa,

Anak-anak Masa Depan


Di Bundaran besar  kutemui kemeriahan pasar pagi. Ada banyak aktivitas di pusat kota ini, pedagang aneka makanan sarapan maupun kudapan, dan juga rupa-rupa dagangan lain. Banyak juga orang datang berolah raga bersama keluarga atau  teman. Banyak yang bergabung senam bersama, bersepeda, atau berseluncur dengan sepatu roda. Juga bermain sepak bola bersama teman sebaya.
Untuk anak-anak ada beberapa mainan yang bisa disewa. Jadilah pasar pagi ini alternatif wisata keluarga di kota Palangkaraya.

Diantara pemilik lapak ada yang menarik perhatian  para pengunjung. Barang dagangannya biasa saja, alat tulis dan perlengkapan sekolah. Yang istimewa adalah penjualnya: beberapa anak kecil.

Terkadang muncul juga komentar orang:
"Kasihan anak sekecil itu disuruh kerja, kemana orang tuanya?"

 



Apakah mereka anak-anak yang tidak mampu? Tidak juga. 
Saya beruntung bisa menemui anak-anak 'hebat' ini dan juga ayah bundanya.
Mereka adalah anak berusia kelas 2, kelas 1, dan TK. Sebut saja namanya Qonita, lalu Disya dan dua adiknya yakni 'Aina dan Dira.

Awal mulanya adalah semangat berwirausaha yang diajarkan disekolah mereka. Anak-anak diajari untuk menjadi calon pengusaha oleh ibu guru mereka. Ternyata mereka cukup berbakat.

Qonita, pemilik lapak itu, masih duduk di bangku kelas 1 SD. Sejak masih TK kecil, rupanya ia mewarisi bakat dua neneknya yang menjadi pedagang kelontong dan penjual tahu. Ia meminta ibundanya untuk memberikan barang dagangan berupa alat tulis. Dijualnya di sekolah saat istirahat atau sebelum pulang. Ternyata laku dan bahkan memiliki pelanggan.

Aktivitas itu berlanjut hingga Qonita SD sekarang ini. Sekitar dua bulan yang lalu, ia survai tempat bersama Qodisya  bersaudara. Survei ala anak-anak ini dilakukan pada Ahad pagi saat mereka berjalan-jalan di Bundaran besar. Pada pekan berikutnya,  kongsi gadis-gadis kecil ini minta ijin kepada ortunya untuk berjualan.

"Itu maunya dia, jadi kami turuti saja. Setiap hari Ahad kami jadi bergantian menemani anak-anak berjualan. Tidak lama hanya pagi sampai sekitar jam 8."
Tutur bunda Qonita.

Pada awal buka lapak, Qonita malu-malu dan bersembunyi di belakang bundanya. Apalagi jika ada teman sekolahnya menyambangi lapak. Sekarang tidak lagi. Bahkan ia telah berteman dengan beberapa tetangga lapaknya. Jika bunda berhalangan dan tidak bisa menemani, maka ayahnya yang berjaga. Sang ayah tidak duduk manis, tapi joging keliling lapangan, dan setiap kali mampir ke lapak anaknya.

Qonita adalah anak yang gigih dan punya cita-cita yang tinggi. Dulu laba acara jualan di sekolah, diinfaqkannya untuk perjuangan rakyat Palestina. Bersama kakaknya Qonita membuka tabungan donasi untuk Palestina. Allahu akbar!

Setelah tersalurkan, ia mengetahui bahwa bundanya sedang menabung untuk bisa berhaji. Maka gantian ia meniatkan seluruh laba tabungannya untuk mengisi tabungan haji bundanya.

"Aku mau bantu bunda biar bisa pergi ke tanah suci." Begitu tekatnya.
Maka bundanya menemaninya menukar uang hasil jualan yang berupa recehan. Ditukar dengan uang lima puluhan ribu dan diantarlah oleh bundanya, untuk melakukan setoran tunai di mesin ATM.

Qonita kecil telah bisa melakukan setoran tunai di atm dengan ditemani bundanya. Ia melihat sendiri setiap kelipatan lima puluh ribu laba jualannya, menambah saldo tabungan haji sang bunda. Subhanallah.

Minggu ini, libur dulu.

Sejak meluaskan sayap bisnis dengan lapak di Bundaran besar, Qonita punya mimpi baru: membeli sepeda. Oleh karenanya, ia menabung laba hasil penjualannya di rumah, dalam kotak bekas tempat hp sang ayah.

"Sebenarnya saya bisa membelikannya sepeda, tapi menunggu giliran setelah kakaknya. Namun Qonita berkeras untuk membeli dengan uang hasil usahanya sendiri," kata bundanya.

Mau tak mau ayah bundanya mendukung keinginan itu. Sebagai bentuk konkritnya, bunda yang berbelanja barang dagangan, mengantar jemput mereka dan menemani berjualan.

Hmm memang berapa omset penjualan anak-anak itu?
Ternyata lumayan juga.
"Kadang mencapai Rp. 250.000, kadang 50.000. Tidak pasti"

Yang jelas dari acara berjualan di sekolah setiap hari dan di Bundaran pada hari Ahad, selama sebulan ini Qonita telah memiliki aset Rp.500.000. Modalnya Rp.250.000. Jadi sudah laba 100%. Laba yang cukup besar untuk anak kelas 1 SD setelah dipotong biaya operasional, yaitu sarapan pagi bersama teman-teman.

Namun uang itu belum cukup untuk membeli sepeda impian Qonita. Bundanya telah mengantarkannya memilih ke toko sepeda. Ia menginginkan sepeda cantik seharga Rp.800.000. Jadi ia masih bersabar barang beberapa  bulan lagi untuk mewujudkan mimpinya.

Dalam kongsi itu ada Dira yang belum berusia 4 tahun. Ia bersemangat ikut hadir menyemarakkan lapak karena ia akan mewarisi sepeda lama Qonita. Adapun dua kakak Dira, yaitu Disya dan  'Aina, senang dan kompak saja menemani sahabat mereka. Setelah lelah dan haus, Qonita akan mentraktir mereka makan dan minum di lapak kuliner yabg mereka inginkan.

Merayakan hasil penjualan.

Saya pribadi salut dengan semangat anak-anak itu. Juga dengan bagaimana orang tuanya telaten mendampingi dan mendukung bakat Qonita cs. Di saat anak lain masih merengek menangis minta dibelikan mainan, minta dibelikan pulsa atau ini itu lainnya, tak demikian dengan Qonita. Ia telah berjuang mewujudkan mimpinya. Ia bahkan telah melakukan birul walidain dengan mengisi tabungan haji orang tuanya. Ia juga telah mengajarkan kepedulian kepada perjuangan rakyat Palestina.

Orang tuanya tak ingin merusak atau mematikan bakat anaknya. Mereka menebalkan muka dari praduga atau mungkin komentar negatif orang lain, justru demi merawat jiwa dan potensi anak-anak itu.
"Tega-teganya orang tua mengkaryakan anaknya."

Mungkin begitu pandangan orang. Tapi orang lain tahu apa? Anak-anak itu bermain dan bersenang-senang membuka lapak. Jika dilarang justru mereka akan sedih dan marah.

Mereka menikmati proses menggelar dan menata dagangan, melayani pembeli, menghitung uang kembalian. Dan kegembiraan bertambah saat menikmati acara sarapan kuliner yang mereka minati selepas berjualan. Membayar bubur ayam dan es milo kesukaan mereka, dengan uang hasil jerih payah sendiri.

Dan kegembiraan lebih lagi saat menghitung pemasukan dan laba. Semua adalah 'permainan' yang menyenangkan  bagi mereka. Permainan yang bisa jadi kelak akan menjadikan mereka pebisnis tangguh. 


Jika anda menjadi orang tua mereka, bagaimana sikap anda?


Saturday, February 7, 2015

Assalamu'alaikum Palangkaraya!

Palangkaraya 01.
Mengunjungi Palangkaraya adalah anugerah awal bulan Februari 2015. Tepatnya pada hari Jum'at tgl 6. Sekalipun sedikit meleset dari rencana. Semula saya berencana berangkat bersama suami, kenyataanya kami memang berangkat bersama, hanya sampai bandara Adisucipto. Beliau harus mengikuti sebuah kegiatan dulu di Banjarmasin, baru menyusulku ke Palangkaranya. Esok hari Ahad.
Bagaimanapun takdir baik mengawali perjalanan ini. Dua kali penerbangan dengan Garuda, selalu di sebelahku kursi kosong. Alhamdulillah. Padahal secara umum kursi lainnya penuh. Awal yang baik kan?

Dari bandara Adisucipto pesawat terlambat sekitar 10 menit. Tak apa. Cuaca sepanjang perjalanan bagus, pendaratan juga mulus sekalipun angin kencang membuat oleng pesawat saat take off dan landing.

Monday, February 2, 2015

“Kamu Selingkuh dengan Smart Phone!”



Huh, setiap hari bertambah saja laporan kasus perselingkuhan gegara benda ajaib bernama smartphone dan tablet. Tentang itu pernah saya muat di sini.

Eh tetapi artikel ini maksudnya bukan tentang hal di tas.

Seorang istri perempuan baik-baik saja, setia pada suaminya, bahkan rajin ibadah. Tetapi suaminya merasa dikhianati karena perselingkuhan istri. Selingkuh dengan media sosial gegara dibelikan tablet.

Istrinya kini sibuk bersosialita. Punya akun facebook, twitter, instagram, dan juga bergrup-grup WA dan BBM. Bangun tidur ia langsung menengok barang ajaib yang bahkan dibawanya ke tempat tidur. Pagi hari ia mempersiapkan sarapan dan bekal sekolah anak-anak, sambil membawa tablet ke dapur. Selesai memasak ia memotret dan update status. Sarapan atau makan malam dengan suaminya sambil terus melanjutkan obrolan via medsos.

“Mamah sadar tidak, kalau mamah tuh sudah kena nomophobhia?”


Sang istri terperanjat dengan pernyataan suaminya. Pernyataan yang datar namun menghujam ke uluhati.
“Iya aku sadar ...” katanya setengah frustasi, “tetapi aku jualan online, bagaimana aku mau layani pembeli dan promo kalau tidak pakai ini ?”
Ia menutup tabletnya dan memandang suaminya dengan masgul.

Sebulan yang lalu ia menegur suaminya. Gegara merasa diabaikan oleh keasyikan suaminya dengan tablet juga.
“Papah itu terjajah sama hp. Lihat tuh anak mengajak main, Papah enggak sempat!”
Beberapa waktu kemudian suaminya membuat keputusan ekstrim dengan berhenti menggunakan tablet, mematikan WA, kembali dengan hp jadul yang hanya bisa SMS. Mengoperasikan media sosial hanya melalui PC.

Ia melihat prilaku suaminya, ingin meniru, tapi merasa belum sanggup. Apalagi bisnisnya makin menjadi. Setiap hari ada saja pembeli, bertubi-tubi.
Sampai pada batas teguran suami yang membuatnya terjerembab.

“Mamah itu ikut grup WA sampai 28. Belum BBM, belum grup FB. Semua orang yang nomophobia selalu punya alasan, mengapa mereka melakukan itu” lanjut suaminya.

Ia tak membantah lagi. Kenyataannya memang demikian. Suaminya merasa dikhianati karena  hubungannya dengan smartphone sudah melampaui batas. Sekalipun ia menggunakannya untuk kebaikan. Menshare konten positif, membuat postingan edukasi. Membina banyak grup pengajian WA dan bla...bla....

Sang istri kini menatap barang ajaib di gengamannya. Rumah tangganya jauh lebih penting dari orang banyak diluar sana. Siapa yang mengharuskan ia meladeni banyak orang yang bertanya tentang agama? Siapa yang mengharuskan ia bertanggungjawab kepada banyak orang dengan berbagai postingan positif? Siapa yang mengharuskan ia melayani pembeli hingga lewat malam? Tak ada.

Apalagi jika karena hal itu, telah mengganggu hubungan sosial. Jika anaknya justru terabaikan. Jika suaminya justru memprotesnya. Dalam dirinya ia berjanji lebih selektif menggunakan teknologi komunikasi. Lebih selektif bergabung dengan grup dan membuat jadwal buka lapak dengan tidak berjaga 24 jam.

Suaminya ingin saat mereka bersama, istrinya tak bersanding dengan tablet. Karena bukannya saling bertatap mata dengan suami, istri justru memelototi layar. Suaminya ingin saat mereka berpergian, ia mengobrol daripada meladeni jualannya.

Jadi, ia memutuskan untuk menjadi tuan atas waktunya sendiri dan membebaskan diri dari penjajahan smartphonenya.

###

Apakah kisah diatas mengada-ada?
Tidak, itu kisah nyata. Mungkin juga terjadi pada anda, kalau anda mau jujur. Berapa sering anda menengok layar di genggaman anda dalam satu jam, bisa menjadi indikasinya. Jika anda lebih sering menggenggam atau nyanding barang ajaib itu, indikasi juga. Atau anda suka membawa power bank, karena khawatir lowbat? Anda cemas karena kuota internet habis, tidak ada sinyal atau wifi?

Selama bepergian dengan pasangan, makan bersama anda justru bersosialita?  Atau lebih parah anda membawa tablet ke tempat tidur?

Eh bukankah sudah ada tuh artis yang menggugat cerai gegara istrinya sedang gandrung dengan twitter. Pemicunya juga saat mereka bepergian.

Bukan hanya artis, seorang teman juga pernah diturunkan di jalan oleh suaminya, Alasannya karena sepanjang jalan saat mereka bepergian, istrinya sibuk melayani jualan online dan tidak membantu suaminya melihat rambu jalan. Mereka bepergian malam hari dan sang suami sudah rabun dengan kacamata yang lumayan tebal..

Ah, jangan!
Jangan sampai yang demikian terjadi dalam kehidupan kita.
Teknologi seharusnya untuk memudahkan kehidupan, bukan mengundang masalah baru dalam kehidupan, apalagi dalam rumah tangga anda.

Tapi siapkah anda?