‘"Bagus mana bu?"
Dia menimbang dua botol obat itu. Kusebutkan keunggulan masing-masing obat dan harganya. Dua alis mata yang terlukis sempurna nyaris bertaut mencermati tulisan kecil pada label obat.
Kuperhatikan detail wajah oval dihadapanku yang berbalur scraf
bunga-bunga kecil. Lipstik lembut sepertinya perpaduan dua warna. Warna marun
di pipi searah tulang pipi yang tinggi. Cantik. Riasannya harmoni dengan
penampilan. Entah berapa lama mempersiapkan seperti itu.
"Saya mau yang terbaik untuk anak," katanya sembari
jemari lentik berkuku indah menunjuk obat yang lumayan mahal. Ya itu persepsi
umum, obat yang mahal pastilah bagus.
Belum tentu, kataku dalam hati. Yang tepatlah yang bagus. Dan itu
belum tentu mahal.
Namun perempuan dengan high heels dan tas bermerk itu, memang
terlihat sempurna. The perfect women.
Setidaknya penilaian sesaat dari interaksi singkat. Kupandangi saat ia melangkah
anggun menuju kendaraan yang terparkir manis.
Fikiranku tentangnya segera hilang bersama
deru mobilnya yang halus. Urusanku terlalu banyak, tak ada ruang untuk berfikir
terlalu jauh tentang seorang pengunjung.
Setidaknya sampai beberapa bulan kemudian.
###
Tangisan tersendat terdengar di ujung
sana.
"Ya...?" Kusimak dengan penuh tanya.
"Saya mendapat nomer ibu dari seorang teman. Katanya ibu bisa menolong saya ..."
"Iya, bagaimana?"
"Bisakah kita mengobrol di rumah saya? Saya terlalu lemah untuk pergi keluar ..."
Kudengar memang dari seorang teman yang
kemarin menitip, ada seorang perempuan yang ingin berkonsultasi. Memang saya
fleksibel saja apakah di rumah atau janjian di suatu tempat untuk berbincang
mencari solusi.
Maka sore itupun saya berkendara mencari
alamat klien. Terkadang ada kasus seperti ini. Ada yang emergency dan harus
segera didatangi.
Kutemukan rumah cantik di ujung jalan.
Memiliki ornamen garis-garis horizontal nuansa ungu yang dekoratif. Mengesankan
selera keceriaan pemiliknya. Sedikit garis vertikal mengesankan lembut pilar di
sebelahnya.
Sayang, beberapa bunga nampak terkulai layu dalam pot indah.
Pertanda beberapa hari tidak mendapat siraman.
Ketika saya hendak mengetok pintu,
tetdengar suara gedubrak keras. Lalu pintu terkuak. Saya terkejut. Lelaki itu,
mungkin pemilik rumah, juga terkejut. Raut masamnya segera berlalu dengan
sedikit anggukan yang dipaksakan untuk menghargai keberadaanku.
Segera saja ia bergegas menuju garasi, tanpa
sepatah kata pun. Menghidupkan mesin meninggalkan deru lembut yang kini agak
meninggi. Seolah kuingat suara itu pernah terdengar di suatu tempat.
Saya masih terpaku. Memandangi mobil yang
menghilang di tikungan saat terdengar bunyi langkah tergesa. Seseorang segera
muncul di pintu yang telah terbuka dan tak jadi kuketuk.
Saya terkejut dan ia pun terkejut.
Perempuan dengan daster bunga-bunga kusam, wajah yang tirus. Mata cekung dan
kelopak yang bengkak oleh banyaknya air mata.
"Ibu konselor ... ?"
Saya mengangguk. Tiba-tiba ia terkulai di pelukanku. Pingsan.
Susah payah saya menyangga dan menyeret tubuhnya. Mendudukannya di sofa diantara barang yang berantakan.
Saya mengangguk. Tiba-tiba ia terkulai di pelukanku. Pingsan.
Susah payah saya menyangga dan menyeret tubuhnya. Mendudukannya di sofa diantara barang yang berantakan.
Rumah ini sungguh berantakan. Rumah bagus
tapi tak keruan. Kulihat tak ada yang beres dari ujung ke ujung sejauh bisa
terjangkau oleh pandanganku. Kukira bukan karena berantakan sesaat. Buku-buku
di rak tak beraturan. Barang-barang tidak pada tempatnya Sepertinya begitulah
gaya penghuninya.
Kugosok wajah tirus di sampingku agar
segera siuman. Dan tiba-tiba aku makin terkejut ketika sampai pada kesimpulan: dialah the perfect women.
Wah bikin penasaran ceritanya. Tapi saya malah fokus dg ke kegiatan mak Ida sbg konselor ini smp datang ke rumah untuk memberikan konseling. Semoga makin banyak yg terbantu oleh mak Ida.
ReplyDeletemakasih kunjungannya mak Lusi. hehe emang begitulah mak. amiin untuk semua doanya.
DeleteDiksi dan ilustrasinya aku suka...slm kenal :)
ReplyDeletesalam kenal. lagi belajar mbak. mengolah kata hehe
DeleteSama seperti mak lusi, ceritanya keren tp lbh ke kekaguman mengetahui mak ida seorg konselor :)
ReplyDeleteWalah jadi malu. Ini fiksi lho mak
Deletembak ida konselor top, tetap istiqomah ya mbak
ReplyDeleteamiin makasih mama Lidya
Delete