Tuesday, February 17, 2015

Mini Fiksi: Ironi



‘"Bagus mana bu?" 

Dia menimbang dua botol obat itu. Kusebutkan keunggulan masing-masing obat dan harganya. Dua alis mata yang terlukis sempurna nyaris bertaut mencermati tulisan kecil pada label obat.

Kuperhatikan detail wajah oval dihadapanku yang berbalur scraf bunga-bunga kecil. Lipstik lembut sepertinya perpaduan dua warna. Warna marun di pipi searah tulang pipi yang tinggi. Cantik. Riasannya harmoni dengan penampilan. Entah berapa lama mempersiapkan seperti itu.

"Saya mau yang terbaik untuk anak," katanya sembari jemari lentik berkuku indah menunjuk obat yang lumayan mahal. Ya itu persepsi umum, obat yang mahal pastilah bagus.

Belum tentu, kataku dalam hati. Yang tepatlah yang bagus. Dan itu belum tentu mahal.

Namun perempuan dengan high heels dan tas bermerk itu, memang terlihat sempurna. The perfect women.  Setidaknya penilaian sesaat dari interaksi singkat. Kupandangi saat ia melangkah anggun menuju kendaraan yang terparkir manis.

Fikiranku tentangnya segera hilang bersama deru mobilnya yang halus. Urusanku terlalu banyak, tak ada ruang untuk berfikir terlalu jauh tentang seorang pengunjung.
Setidaknya sampai beberapa bulan kemudian.

###

Tangisan tersendat terdengar di ujung sana.


"Ya...?" Kusimak dengan penuh tanya.
"Saya mendapat nomer ibu dari seorang teman. Katanya ibu bisa menolong saya ..."
"Iya, bagaimana?"
"Bisakah kita mengobrol di rumah saya? Saya terlalu lemah untuk pergi keluar ..."

Kudengar memang dari seorang teman yang kemarin menitip, ada seorang perempuan yang ingin berkonsultasi. Memang saya fleksibel saja apakah di rumah atau janjian di suatu tempat untuk berbincang mencari solusi.

Maka sore itupun saya berkendara mencari alamat klien. Terkadang ada kasus seperti ini. Ada yang emergency dan harus segera didatangi.

Kutemukan rumah cantik di ujung jalan. Memiliki ornamen garis-garis horizontal nuansa ungu yang dekoratif. Mengesankan selera keceriaan pemiliknya. Sedikit garis vertikal mengesankan lembut pilar di sebelahnya.

Sayang, beberapa bunga nampak terkulai layu dalam pot indah. Pertanda beberapa hari tidak mendapat siraman.

Ketika saya hendak mengetok pintu, tetdengar suara gedubrak keras. Lalu pintu terkuak. Saya terkejut. Lelaki itu, mungkin pemilik rumah, juga terkejut. Raut masamnya segera berlalu dengan sedikit anggukan yang dipaksakan untuk menghargai keberadaanku.

Segera saja ia bergegas menuju garasi, tanpa sepatah kata pun. Menghidupkan mesin meninggalkan deru lembut yang kini agak meninggi. Seolah kuingat suara itu pernah terdengar di suatu tempat.

Saya masih terpaku. Memandangi mobil yang menghilang di tikungan saat terdengar bunyi langkah tergesa. Seseorang segera muncul di pintu yang telah terbuka dan tak jadi kuketuk.

Saya terkejut dan ia pun terkejut. Perempuan dengan daster bunga-bunga kusam, wajah yang tirus. Mata cekung dan kelopak yang bengkak oleh banyaknya air mata.

"Ibu konselor ... ?" 
Saya mengangguk. Tiba-tiba ia terkulai di pelukanku. Pingsan. 
Susah payah saya menyangga dan menyeret tubuhnya. Mendudukannya di sofa diantara barang yang berantakan.

Rumah ini sungguh berantakan. Rumah bagus tapi tak keruan. Kulihat tak ada yang beres dari ujung ke ujung sejauh bisa terjangkau oleh pandanganku. Kukira bukan karena berantakan sesaat. Buku-buku di rak tak beraturan. Barang-barang tidak pada tempatnya Sepertinya begitulah gaya penghuninya.

Kugosok wajah tirus di sampingku agar segera siuman. Dan tiba-tiba aku makin terkejut ketika sampai pada kesimpulan: dialah the perfect women.

8 comments:

  1. Wah bikin penasaran ceritanya. Tapi saya malah fokus dg ke kegiatan mak Ida sbg konselor ini smp datang ke rumah untuk memberikan konseling. Semoga makin banyak yg terbantu oleh mak Ida.

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih kunjungannya mak Lusi. hehe emang begitulah mak. amiin untuk semua doanya.

      Delete
  2. Diksi dan ilustrasinya aku suka...slm kenal :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. salam kenal. lagi belajar mbak. mengolah kata hehe

      Delete
  3. Sama seperti mak lusi, ceritanya keren tp lbh ke kekaguman mengetahui mak ida seorg konselor :)

    ReplyDelete
  4. mbak ida konselor top, tetap istiqomah ya mbak

    ReplyDelete