Sunday, January 1, 2012

Guru Spiritual (1)

Yang Kualami di Tanah Suci (15)
Oleh : Ida Nur Laila

Ada seorang ustadz yang sangat berkesan di hati para jamaah, diantara beberapa pembimbing yang menyertai kami dalam berhaji. Beliau berperawakan kecil, wajahnya cerah, selalu tersenyum dan mudah sekali menghafal nama orang dan sedikit hal ikhwal jamaah yang baru dikenalnya. Dr. Mushlih Abdulkarim namanya.
Pertama kali kami mendengar taujihnya yang singkat, kami langsung terpikat. Beliau tiba-tiba menangis ketika membacakan do’a saat akan memberangkatkan jam’ah haji, ketika itu kami masih di Jakarta.Betapa halus hatinya. Kami semua ikut menangis diingatkan tentang tujuan dan niat kami berhaji.
Cara beliau memenangkan hati jamaah sungguh luar biasa. Misalnya untuk mengingatkan waktu sholat, tidak ada kata-kata yang sia-sia. Beliau hanya di awal menyampaikan bahwa beliau akan membaca kalimat dzikir yang menandakan waktu sholat jamaah akan dimulai 30 menit lagi.
“ Subhanallah... wal hamdulillah... walaa ilaha illallah... wallahu akbar...” demikian beliau mengucap berulang-ulang.

Apakah saat kami masih di ‘pesantren’ syauqiyah, ataukah saat di Mina, Arafah dan Muzdalifah. Jama’ah akan bersegera bangkit, mengambil air wudhu, menggelar sajadah, duduk bersimpuh dan ikut berdzikir. Sangat sederhana. Tanpa banyak kata-kata.
Setiap pagi, beliau menyampaikan renungan setelah memimpin qiyamul lail, membuat kami banyak bermuhashabah tentang jatidiri dan keberadaan kami, tentang hubungan kami dengan Allah, tentang prilaku kami kepada orang tua, tentang hubungan kami dengan suami, istri, anak, teman dsb. Muhashabah tentang aneka shifat buruk dan perbuatan tidak baik yang masih saja kami lakukan...
Setiap kali selalu saja jama’ah terisak-isak, sekalipun taujihnya diulang-ulang, kami tidak pernah bosan. Semoga berurai mata adalah ekspresi penyesalan dan taubat. Menjadi cahaya kesadaran untuk menjadi yang lebih baik setelah melaksanakan prosesi haji.
Beliau menyampaikan pengajian sehari tiga kali. Setelah sholat shubuh, setelah sholat ‘asyar dan setelah sholat maghrib hingga isya. Kadang beliau meminta salah seorang jama’ah menyampaikan kultum setelah shubuh sebelum beliau berceramah.
Saya juga senang sekali dengan tadarus terpimpin yang beliau lakukan. Membaca surat Al Baqoroh beberapa halaman menjelang waktu sholat, beliau membaca dan semua jama’ah menirukan. Lagunya sederhana, namun sungguh fasih dan enak didengar serta mudah diikuti. Sampai sekarang saya masih suka menirukan cara beliau membaca al-Qur’an.
Setiap ada kesempatan, beliau menyapa jama’ah dan menanyakan ini itu terkait kehidupan jamaah. Komentarnya selalu menyenangkan dan yang beliau tanyakan akan beliau ingat.
Ketika beliau mendengar cerita tentang bagaimana saya memberikan pop mie pada seorang kakek berkulit hitam di Muzdalifah, beliau menanyakan ulang pada saya. Dan kami tertawa bersama mengingat bahwa saya tidak bisa bahasa Afrika dan sang kakek tidak bisa bahasa Ingris, apalagi bahasa Indonesia. Kakek itu tidak tahu cara membuka dan memakan pop mie. Teman saya dr. Hidayah berusaha menerangkan dengan bahasa isyarat, bahwa pop mie harus dituangi air panas agar bisa dimakan. Rupanya sang kakek tambah bingung. Seorang muthowif yang menyaksikan cara kami berkomunikasi, berinisiatif membelikan air panas, seharga 1 riyal, dan menyerahkan pop mie yang sudah siap makan itu pada sang kakek.
Yang masih kami geli adalah bagaimana sulitnya menjelaskan tentang proses mematangkan pop mie pada kakek tsb.  Dan ustadz mengingat kejadian itu untuk menyapa saya. Itulah perhatian ustadz pada para jama’ah bahkan atas hal-hal kecil yang dilakukan jamaah.
Jika teman-teman sedang antri makan dan saya melewatkannya, hanya mengambil roti saja, padahal ustadz juga sedang mengantri, maka akan bertanya mengapa saya tidak ikut mengambil makan. Saya hanya menjawab tidak dan tidak menjelaskan bahwa saya sedang diet garam dan menu saat itu nasi goreng yang konon agak asin. 

3 comments: