Monday, January 9, 2012

Muzdalifah, Sepenggal Malam Yang Bermakna -2

Yang Kualami di Tanah Suci (20)
Oleh : Ida Nur Laila

 Ternyata travel kami memilih lokasi mabit di wilayah pejalan kaki. Bukan di padang resmi yang menjadi berkumpulnya seluruh jamaah. Walaupun ini bukan lokasi resmi, namun penghuninya penuh sesak. Sebagian kira-kira haji non kuota dari negara-negara sekitarnya. Mereka kebanyakan berkulit gelap. Ada juga banyak wajah-wajah arab. Sebagian lagi adalah travel resmi seperti kami, yang mencari cara praktis. Alasannya untuk menuju lokasi resmi, jalannya masih macet. Jika harus berjalan kaki dari bus, lumayan jauh. Besok untuk keluar di saat fajar, juga akan kesulitan sebagaimana saat keluar dari Arafah.
Dalam kegelapan, aku berusaha mengenali lingkunganku. Jalan aspal ini untuk pedestrian, membentang  jauh. Diatas ada jembatan layang, satu sisi jalan adalah  ladang kosong, lalu agak jauh sekitar 100m ada pagar kawat tinggi. Dari baliknya nampak tenda-tenda putih berbaris rapi.
“ Tenda-tenda itu adalah Mina baru, kawasan Muzdalifah yang bersambung dengan Mina dan menjadi Mina baru “ terang seorang pembimbing.
“ Wah kalau tenda kita di situ, pulang dari Muzdalifah gampang ya...apalagi kalau mereobos tidak memutur lewat pintu....” seloroh seorang jama’ah.

“ Mau dapat Maktab di situ ?”tanya Ustadz.
“Mauuu” jawab beberapa jama’ah.
“Tapi kalau mau lempar jumrah jalan kaki 10 km...bolak-balik 4 hari...” terang ustadz.
“ Nggak mauuuu” koor beberapa jama’ah sambil tertawa.
Itulah, kadang kita kurang bersyukur dengan taqdir kita. Lokasi maktab kami di mina sungguh strategis, lantaran jarak dari jumrah hanya 200 m, Alhamdulillah.
Sisi jalan seberang adalah arah kami datang. Jalan raya yang cukup tinggi, setinggi  4 atau 5 meter di atas kami. Pagar kawat tinggi sekitar 3 meter, jadi mustahil dilompati. Entah siapa yang membuat ide membobol bagian bawah pagar di lokasi ini. Kira-kira aku tahu jawabannya, karena lokasi tempat kami mabit ini dekat dengan toilet. Turunannya juga tidak terlalu curam. Beberapa sisi yang lain menurunnya sangat curam.
Begitulah kami menempatkan diri di atas aspal jalan, tak jauh dari toilet. Posisi ini memudahkan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak...panggilan alam dan bersuci. Sekalipun keadaan toilet jauh dari memadai dan antrian juga bagian dari ujian keshabaran, semuanya layak disyukuri. Ada cukup banyak pedagang di sekitar  tempat mabit ini. Ada yang berjualan air panas untuk membuat popmie. Harga air panas  satu reyal untuk satu cup pop mie.  Jika dirupiahkan sekitar Rp.2500,-. Adapun Pop mienya gratis dari travel. Ada juga yang membawa sendiri dari Tanah air.
 Berbagai barang lain juga digelar oleh pedagang tiban.Saya membeli sandal jepit seharga 5 reyal lantaran sepatu saya telah jebol di Arafah. Ternyata penjualnya orang Indonesia.  Waah jauh-jauh datang ke tanah suci ternyata jualan sandal....
Kami menggelar tikar berjajar dan melintang tidak karuan. Bergerombol menurut rombongan asal kami. Ustadz menunjukkan arah kiblat, dan kami menunaikan sholat maghrib dan isya’ berjamaah. Di Muzdalifah ini juga kami mengambil kerikil. Konon di padang mabit telah disediakan gundukan batu kerikil. Namun lantaran ini bukan lokasi resmi, mula-mula kami kesulitan mencari kerikil. Akhirnya jama’ah mengambil kerikil di sekitar toilet, yang sebenarnya mungkin adalah kerikil untuk resapan air. Semoga kami dimaklumi dan dimaafkan oleh pemerintah Saudi.
Banyaknya kerikil yang diambil berjumlah 70 butir. 7 butir untuk melempar jumrah Aqobah pada tanggal 10 dzulhijjah. Dan 3 x 21 butir untuk melempar di hari tasyriq tanggal 11, 12, 13. Sebenarnya batu kerikil tidak perlu dicuci. Namun lantaran mengambil di sekitar  area toilet, kami khawarir terkena najis. Jadi atas saran ustadz, kami mencucinya.
Aku mengambil kerikil tanpa menghitungnya. Kumasukkan ke dalam kantong kresek hitam yang kulubangi bagian bawahnya untuk membuang air bekas cuciannya. Seorang gadis cantik dari Mesir  berpakaian abaya hitam tersenyum melihat aku mengambil dan mencuci banyak kerikil.
“Your bag is very very very very...big!!” katanya dengan takjub.
Aku tertawa bersamanya.
“ This all for my grand mother, my sister, my brother...not only for me...”  jawabku.
Memang beberapa orang meminta tolong aku untuk mengambil kerikil. Ketika orang lain memilih kerikil satu persatu, menghitungnya dan memperhatikan ukuran agar seragam, aku hanya meraup dengan tanganku  kuperkirakan sebanyak kebutuhan beberapa orang yang menitip padaku.
Demikianlah urusan kerikil membuat kami berjongkok dan membungkuk dikeremangan malam, mengais-ngais tanah.
“ Tidak peduli jabatan ,pangkat , gelar, mau doktor, mau profesor, mau jendral , kaya atau miskin...semua orang mengais-ngais kerikil di dekat toilet...” komentar bu Awie rekanku. Kami bergembira dan menikmati proses itu dengan gurauan menjelang tengah malam.
Begitulah  mungkin diantara hikmah berhaji. Menanggalkan seluruh atribut dunia. Memakai baju ihram yang sama dan melakukan proses yang sama. Antri toilet dan antri wudhlu. Sujud di tempat yang sama, mencari kerikil dan juga tidur beralaskan tikar sama seharga 10 reyal. Seorang artis ibukota dalam rombongan travel kami menggelar tikar berjajar dengan istrinya, kepala mereka tak jauh dari kakiku....
Kami disarankan mengisi malam itu untuk istirahat tidur. Namun tidak mudah memejamkan mata di padang terbuka. Angin gurun mulai berhembus semilir. Semakin malam terasa semakin dingin. Banyak yang tidak membawa selimut dan meringkuk bergerombol untuk mengusir dingin. Beruntung aku membawa sleeping bag. Jadi aku masuk kantung dan menikmati kehangatannya.
Berbaring diantara ribuan orang, memandang langit malam yang luas, kurenungkan keberadaanku di sini. Bintang-bintang nampak samar di ketinggian. Betapa besarnya semesta, betapa besarnya kuasa Allah. Aku hanya setitik nyawa dalam luasnya gurun. Setitik debu dalam semesta. Tak layak bagiku untuk menyombongkan diri. Aku beristighfar dan membuat janji-janji kebaikan dalam diriku.
 Kubaca doa dan dzikir amalan menjelang tidur. Kubaca surat Al-Fatihah, ayat kursi, surat Al-Ikhlash, surat Al-Falaq dan surat Annas. Kubaca subhanallah,walhamdulillah dan Allahu akbar 33 kali. Alhamdulillah bisa terlelap juga.
Sesekali terjaga oleh raungan sirene mobil patroli dan samar-samar suara kendaraan yang menderu di atas dan di samping lokasi. Selebihnya adalah suara desau angin gurun di kejauhan. Kuanggap saja  iramanya menjadi musik pengantar tidur.
Pukul 03.00 kami sudah terbangun. Ada yang menunaikan sholat fajar. Antrian toilet pagi lumayan panjang. Hingga menjelang shubuh tak kurang 10 orang mengantri di tiap pintu. Namun semua harus dijalani dengan shabar.
Dalam kesibukan berkemas pagi , kusempatkan mengabadikan para jama’ah yang tidur berjajar. Berselimut pakaian ihram, mereka layaknya mayat yang telah dikafani. Banyak orang berbuat baik, saling menawarkan minuman air mineral, membagi bekal biskuit , mie dan buah-buahan. Serombongan kakek-kak k berkulit hitam nampak senang ketika kami membagi makanan. Kami juga senang bershodaqoh lantaran beban bawaan kami berkurang.
Seorang kakek tua yang sendirian, sedikit kebingungan ketika mendapat pop mie. Akhirnya kami membelikannya air panas dan menyeduhkan sekalian agar dia bisa mengkonsumsi pop mie tersebut. Malum kami tidak bisa bahasa Afrika, dan kakek tersebut tidak faham dengan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.  Walaupun tidak saling mengenal, namun rasa persaudaraan dalam Islam, senasib dan sepenanggungan telah menyatukan para jama’ah.
Terdengar adzan bersahutan, kami sholat shubuh berjama’ah dan bergegas menuju bus yang parkir cukup jauh. Tentu sekali lagi dengan prosesi menerobos pagar untuk mencapai jalan raya...hmm  astaghfirullah!
Muzdalifah yang singkat dan penuh makna. Semoga kelak Allah mengizinkan kami kembali mabit...

3 comments:

  1. Semoga kesampaian bisa umrah tiap tahun ya mak, amin...

    ReplyDelete
  2. Item2 yg perlu dibawa saya catat krn masuk porsi th ini..trim bu nur ya

    ReplyDelete