Monday, January 16, 2012

Yang Kualami di Tanah Suci (29)


Bersama para Nenek (5)
Oleh : Ida Nur Laila


Saya perhatikan penampilan nenek ini, ia memakai baju muslim longdress, bermotif bunga-bunga tulip kecil. Tidak memakai kaus kaki. Kerudungnya kain putih polos dan tidak memakai peniti. Ia mengikatnya dengan tidak rapi. Sedikit rambut perak menyembul dari sela-sela kerudung.
Saya mencari peniti cadangan dalam tas paspor yang selalu  saya bawa kemana-mana. Alhamdulillah dapat satu peniti. Saya minta ijin untuk mendandaninya, nenek itu mengijinkan. Kurapikan rambutnya yang sedikit menyembul di atas pelipis, lalu kupasangkan peniti. Ia berterima kasih. Saya bertanya namanya, namun saya kesulitan untuk mengeja, jadi saya tersenyum saja dan gantian menyebutkan nama.
Pagi itu, sebagaimana pagi yang lain, saya memakai kerudung rangkap untuk mengurangi hawa dingin, biasanya memang berlapis 3. Kerudung pertama yang biasa kupakai, warna putih. Diluarnya saya memakai kerudung bermotif laba-laba warna hitam putih yang saya beli di Mekkah. Di luarnya lagi saya memakai mukena seragam travel.

Saya alergi dingin, jika kedinginan akan bersin-bersin lalu pilek. Hal demikian cukup merepotkan saat sholat. Saya harus berbekal banyak tisu dan kantung plastik untuk sampah tisu bekas. Dengan memakai kerudung berlapis saya tidak kedinginan dan melewati  saat sholat malam, sholat shubuh tanpa bersin dan pilek.
Melihat nenek Tajikistan ini, saya melepas kerudung motif laba-laba yang sebenarnya sangat saya sukai. Saya ulurkan kepada nenek di samping ini.
“ Hadiah....” kataku. Kutunjuk dadaku, kuulurkan kerudung padanya dan kutunjuk dadanya. Ia tersenyum manis dan memelukku. Ia mencium pipiku mengucapkan beberapa patah kata yang kuartikan sendiri
“Terima kasih...terimakasih...” begitu kira-kira.
Ia memanggil temannya dan menceritakan pemberianku, temannya ikut melihat kerudung itu.
“Sholihah...sholihah..” kata temannya sambil menunjukku.
Saya menyaksikan semua percakapan mereka dan tersenyum-senyum dengan  rasa bahagia dan haru yang memenuhi dada. Betapa kami berinteraksi tanpa bahasa yang sama, namun sama-sama saling memahami.
Suatu siang di masjid Nabawi, saya  mendapat tempat di halaman lantaran  agak terlambat berangkat ke masjid. Lift di hotel hanya ada 3. Jumlah lantai dan kamarnya banyak sekali. Jika berangkat kurang dari setengah jam sebelum waktu sholat, bisa dipastikan akan kesulitan mendapat tempat kosong di lift. Jadi saya menuruni tangga 6 lantai sengan setengah berlari. Itulah yang saya alami saat sholat Jumat kali ini. Maka halaman adalah jatah saya.
Saya bersebelahan dengan seorang nenek dari Mesir. Kami berkenalan dan saling memperkenalkan nama. Saya membaca Al-quran sambil menanti waktu sholat. Nenek cantik dari Mesir itu memperhatikan terus dan meminta saya untuk mendekatkan Al-Qur’an ke arahnya. Lalu ia meminta saya untuk membaca surat Al-Kahfi.
“ Kahf..kahf..” katanya.
Saya menurut dan berusaha membaca dengan tartil. Ia mengikuti bacaan saya. Ternyata ia lumayan hafal. Jadi kami membaca bersama dengan lancar hingga adzan menghentikan kami. Saat usai sholat, kami berpelukan dan mengucapkan selamat berpisah dengan penuh haru.
“ Assalamu’alaikum, ilaa liqo, ma’assalam...”
“Wa’alaikumussalam....”
Pertemuan dan pertemanan yang sangat singkat namun penuh ma’na.
Saya ulangi kembali kisah pertemuan saya dengan nenek dari Afghanistan.
“ From Afghanistan...?” saya bertanya.
Nenek itu mengangguk, tersenyum menyambut uluran tanganku. Kukira ia tidak bisa bahasa Inggris karena ia menyahut dengan bahasa yang tidak kukenali.(..padahal sesungguhnya saya  memang hanya mengenal sedikit bahasa...)
“Ana min Indonesiya...” aku mengganti perkenalan dengan bahasa Arab. Nenek tetap menjawab dengan bahasa yang tak kumengerti. Seorang nenek tak jauh dari kami, memakai kerudung besar mendekat ke arah kami.
“Indonesia...? Indonesia...?” ia bertanya.
“ Na’am” aku tersenyum padanya.” Min aina ji’ti?”
“Tunis, Tunisia...”
Dan aku kehabisan stok bahasa Arab untuk melanjutkan percakapan...hehe.
Seorang perempuan muda, cantik, berwajah Timur Tengah tersenyum dan menyadari ‘kemacetan’ komunikasi itu. Ia bergabung dan berbicara dengan kami. Nenek Afghanistan bicara dengan bahasa Afghan. Nenek Tunis bicara dengan bahasa Arab. Dan aku bengong diantara mereka.

No comments:

Post a Comment