Monday, January 16, 2012

Yang Kualami di Tanah Suci (30)


Bersama para Nenek (6)
Oleh : Ida Nur Laila


“I can’t speak Arabic...” kataku pada wanita muda cantik yang bergabung terakhir.
Ia menterjemahkan pembicaraan nenek Tunis padaku, dengan bahasa Inggris. Rupanya nenek Tunis pernah tinggal di Indonesia, di Jakarta, sekitar tahun 80-an. Ia mengunjungi beberapa kota seperti Bandung, Jogjakarta dan beberapa pulau lain. Ia tinggal selama 2 tahun. Itulah yang menyebabkan ia tertarik ketika tahu saya dari Indonesia. Ia menanyakan tentang gempa  di Jogja beberapa tahun lalu.
Kami sempat berfoto bersama, dipotret oleh sang penerjemah cantik yang ternyata dari Turki. Sayang ia tidak mau diajak bergantian berfoto. Aku menghormati pilihannya.
Nenek Tunis ini senang bercerita, ia bicara dengan sangat cepat. Akhirnya ketika pembicaraan makin rumit, wanita Turki ini menyerah,  ia mengaku hanya bisa bahasa Arab sedikit dan bahasa Inggris sedikit, sehingga kesulitan menjalani profesi dadakan  sebagai penterjemah kami. Dengan sopan ia permisi pulang dan kami bersalaman hangat.

“ So do I mam, I can speak English only litle-litle...hihi..” kataku asal. Kami masih saling tertawa.
Sepeninggalnya kami macet lagi, jadi kuucapkan kata perpisahan para nenek dari negeri berbeda dan bahasa berbeda.
“ Good bye Mom, nice to meet you...ilaa liqo, ma’assalam...”
Kami berpelukan, cipika-cipiki layaknya saudara lama...padahal tidak nyambung bahasa.....
Suatu siang yang lain, saya sholat di halaman Masjid Nabawi lagi. Kami baru pulang dari mengunjungi masjid Kuba, jadi agak kesiangan berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat dhuhur. Siang itu terik sekali. Walaupun kami berada di bawah payung, kami tetap merasakan panas yang sangat. Di sebelahku ada seorang nenek dari Iraq. Ia nampak mungil dan ringkih. Botol air mineralnya telah kosong. Ketika ia mengedarkan pandangan, persis di belakangnya, ada seorang perempuan besar berkulit gelap yang memiliki air sebotol besar dan penuh. Botol itu sungguh besar, kira-kira berisi 2 liter.
Nenek meminta air pada perempuan itu. Namun perempuan itu menolak membagi airnya, dan menyuruh nenek itu mengisi sendiri botolnya ke kran air zam-zam yang ada di halaman masjid. Depot kran air zam-zam berjarak kira-kira 100 m dari tempat kami duduk. Sepertinya nenek Iraq tidak faham apa yang dikatakan perempuan yang kira-kira berasal dari wilayah Afrika. Ia bicara banyak, memeluk airnya dan menunjuk-nunjuk ke arah depot air zam-zam. Nenek Iraq kelihatan bingung dan menyerah.
Aku menawarkan untuk mengisikan botol airnya. Dengan bahasa isyarat tentunya. Aku minta ia duduk dan menjagai barangku. Aku akan pergi sebentar mengisi botolnya. Ia mengangguk. Alhamdulillah ia faham. Aku bergegas pergi ke kran air zam-zam dan mengisi botolnya, juga botolku sendiri. Ketika kuulurkan botol yang telah penuh, ia berterima kasih dengan bahasanya. Kami lantas berteman walaupun hanya duduk berdampingan dan saling tersenyum. Ketika berpisah kami bersalaman dan berpelukan.
Di masjid Nabawi, hatiku tertambat kepada para nenek. Kadang ketika aku sedang duduk bertilawah di dalam masjid, seorang nenek yang lewat, berhenti hanya sekedar mencubit dua pipiku. Kejadian ini berulang kali kualami.
Pernah seorang nenek tiba-tiba menyuapiku dengan permen. Nenek yang lain menyodorkan kurma untukku. Aku menerima dengan senang hati. Kami saling menawarkan pershahabatan dan persaudaraan , walaupun kadang tidak sempat saling mengucap nama. Semoga persaudaraan kami kekal hingga di akhirat, amin.
Satu nenek yang paling istimewa dari Masjid Nabawi, akan saya ceritakan dalam judul tersendiri, beliau adalah Ablah Tsurayya.
Bersambung.

No comments:

Post a Comment