Tuesday, January 17, 2012

Yang Kualami di Tanah Suci (31)


Bersama para Nenek (7)
Oleh : Ida Nur Laila

 Saat di Mekkah, interaksiku  dengan jamaah dari negara lain lebih terbatas lantaran aku mendapat tamu bulanan selama 5 hari dari 7 hariku tinggal di Mekkah. Maka perkenalan dengan para nenek hanya terjadi beberapa kali. Selain itu, jika di masjid Nabawi seringkali aku tinggal duduk berlama-lama dalam masjid. Di Masjidil Haram, dengan sedikit hari yang kumiliki, aku memilih berkeliling melihat-lihat dan mengenal situasi sekitar masjid.
Sore hari selepas waktu jamaah sholat ‘asyar, adalah waktu yang nyaman untuk berkeliling di halaman Masjid. Jamaah belum terlalu padat memenuhi halaman. Cuaca cerah dan suhu tidak terlalu panas. Angin bertiup semilir sesekali, dan tidak terlalu kencang. Aku dan mbak Retna berkeliling memutari halaman masjid.
Di salah satu halaman, dekat dengan tempat yang sedang di renovasi, duduk seorang kakek, sendirian. Ia duduk bersila di atas selembar tikar, menghadap ke arah masjid, terpisah dari jamaah lain. Di sebelahnya ada kursi roda. Kami menghampirinya dan meminta ijin untuk memotretnya. Ia mengijinkan. Aku memotretnya beberapa kali dengan beberapa sudut pandang. Seorang kakek lain menghampiri dan ingin juga dipotret, maka aku memotret mereka berdua. Ketika kutunjukkan hasilnya, mereka tertawa senang. Ketika kakek yang satu berlalu, datanglah kakek lain yang juga ingin dipotret. Maka aku memotret lagi, dan ia senang dengan hasil fotonya.

“ Mengapa mereka suka dipotret, padahal mereka tidak akan mendapat hasil fotonya ya...?” komentar mbak Retna.
“ Mungkin mereka ingin menyenangkan kita, atau ingin melihat hasilnya meskipun hanya di kamera...” ia menjawab pertanyaannya sendiri.
Pengalaman melayani orang yang ingin dipotret, sering terjadi ketika kami berkeliling dengan menenteng kamera. Jadilah kami juru foto amatir sukarela yang mendapatkan pertemanan singkat hanya dengan menenteng kamera.
Kami beralih pada dua orang nenek yang sedang duduk tak jauh dari kakek berkursi roda. Satu nenek tengah meremas-remas inai atau daun pacar dalam sebuah kantung plastik. Dua tangannya berwarna hijau kecoklatan.aku tidak tahu mengapa ia meremas-remas daun tersebut. Dan ketika menanyakan hal itu dengan bahasa isyarat, ia menjelaskan tanpa kufahami maksudnya.
Nenek yang satu, sedang memberi makan seekor kucing dengan makanan yang dibawanya. Ayam goreng dan kentang goreng. Ketika kami berkenalan, ia lantas memberi kami juga kentang goreng beberapa batang. Juga ayam goreng yang ia cuwilkan. Kami memakan suguhan itu  untuk menghormati pemberiannya, sambil senyum-senyum lantaran kucing dan kami sama-sama makan ayam goreng dari nenek tersebut.
Dua nenek ini dari Morroco. Mereka menggambari wajah dengan semacam tato, di pipi, di dahi dan di dagunya. Temanku menanyakan apa makna tatto di wajah dan tangan mereka. Ia menjelaskan dengan bahasanya. Dan kami mencoba mamahami bahwa gambar tersebut sebagai tanda perempuan yang telah menikah. Kira-kira begitu...entahlah.
Bagaimanapun kami menikmati percakapan singkat itu, terutama menikmati suguhan mereka ayam dan kentang goreng tentunya.
Beranjak dari mereka, kami menemui beberapa nenek Mesir dan Afrika. Mereka duduk bergerombol. Awalnya kami segan untuk bergabung, namun ternyata mereka sangat hangat. Minta berfoto dan berbicara dengan bahasa mereka. Kami hanya mengangguk dan tertawa-tawa karena tidak mengerti pembicaraan mereka. Bergantian berfoto dan menikmati kegembiraan sore di halaman masjidil haram yang luas bersama mereka.
Langit lembayung menaungi kami. Ketika hari makin petang, kami segera berpamitan dan bergegas menuju hotel. Khawatir tidak kebagian jalan pulang kembali ke hotel lantaran jamaah sholat semakin padat menjelang maghrib tiba. Kebetulan kami berdua sedang datang bulan.

No comments:

Post a Comment