Thursday, February 23, 2012

Ibadah Romantis Yang Kualami di Tanah Suci (40)



 Oleh : Ida Nur Laila

Tahun 2008, ketika suamiku diizinkan Allah mengunjungi Baitullah  atas undangan Raja Saudi, beliau beberapa kali SMS yang nadanya melankolis.
“Aku sedang sholat malam dan sholat shubuh di lantai 3 Masjidil Haram, beratapkan langit dan bertabur bintang, sambil menatap Kakbah, subhanallah.”
Aku sholat bersama ustdz HNW, beliau duduk berdampingan bersama istrinya. Di Masjidil Haram ini sungguh romantis, suami istri bisa bergandengan kemana-mana bersama, dan sholat berdampingan..”
Beberapa kali suamiku sms tentang keriduannya.
Dulu aku hanya bisa membayangkan dan sekarang ketika berangkat berhaji sendirian, aku mengalaminya. Merasakannya sendiri. Merasakan kesepian yang dialami suamiku.
Banyak pasangan suami istri beribadah bersama, sholat berdampingan. Bergandengan tangan melakukan sa’i, berbimbingan melakukan thawaf. Kalau ke toilet diantar dan ditunggui di depan pintu masuk toilet, khawatir tersesat atau terpisah.

Ada pasangan muda yang sepertinya belum lama menikah. Ada yang membawa bayi belum genap setahun. Ada yang bersama anak mereka yang masih kecil atau beranjak remaja. Ada pasangan paruh baya.... dan banyak pasangan tua, kakek nenek.
Ada anak menggandeng ibunya, atau bapaknya. Ada yang mendorong orang tuanya di kursi roda. Atau suami mendorong istri yang memangku anaknya di kursi roda.
Aku sendirian.
Kadang aku berthowaf membuat formasi dengan 5-6 orang teman. Kadang thowaf dan sa’i sendirian. Jika membersamai teman yang suami istri khawatir mengganggu romantisme mereka.
Jadi aku lebih sering sendirian. Apalagi saat di masjid Nabawi. Kunikmati betul kesendirian i’tikaf di masjid Nabawi. Artinya aku sering duduk dengan orang yang belum kukenal dan menyedikitkan mengobrol. Suasana memang sungguh nyaman, tenang dan aman, lantaran wilayah perempuan terpisah dari laki-laki.
Dua shabahatku Awie dan Retna, memiliki meeting point dengan suaminya, yang mereka sebut tiang cinta. Di tiang itulah mereka selalu berpisah jalan saat memasuki halaman dalam masjid Nabawi. Di tiang itu pula mereka akan saling menunggu seusai sholat. Ah tetap saja ada kenangan manis yang bisa dibangun pada sebuah tiang, salah satu dari tiang payung di depan pintu perempuan. Aku memotret mereka berpasangan di depan tiang cinta mereka.
Demikian pula saat di Mina, Arafah dan Muzdalifah. Suami istri duduk berdampingan dalam bus, jika turun saling berbimbingan. Beban barang bawaan dibawakan oleh suami. Belanja oleh-oleh berdua. Jika mengantri makan, banyak suami yang mengambilkan istrinya. Kadang mereka makan sepiring berdua walaupun hanya di emper tenda, atau dibawah menara ponsel. ...hmm romantis ya.
Aku duduk dengan nenek di bus, aku turun membimbing nenek dan membawakan barang-barang nenek. Jika makan aku mengantri untuk nenek. Aku makan bersama nenek....hmm romantis juga kan....
Ada saat terasa kerinduan kepada suami. Membasah air mataku, seandainya suamiku dsini, ada yang menggandeng tanganku, ada yang melindungi aku dari desakan dan dorongan orang saat thowaf, ada yang duduk di sampingku  saat akan sholat. Ada yang mengantar dan menunggui saat aku ke toilet.
Saat menuliskan inipun, 2 hari menjelang kepulanganku ke tanah air, aku menangis.
Aku tidak menahan air mataku. Kubiarkan mengalir membasahi pipi dan kerudungku. Toh banyak orang menangis saat sholat, berdoa, sa’i atau thowaf. Dengan alasan masing-masing. Jadi saat aku sendiri dan kadang menangis oleh campuran berbagai macam perasaan, kubiarkan saja air mata yang menderas.  Kunikmati saja.
Aku berdoa, suamiku di tanah air, juga tengah melakukan  ketaatan pada Allah, apapun itu bentuknya. Apakah menjaga anak-anakku, menemani mereka belajar dan bermain,  sholat ke masjid, rapat, ceramah, menulis buku atau melakukan pekerjaan rumah tangga.
Beliau sudah mengizinkan aku menyempurnakan rukun Islam , sendirian.
Sesuatu yang layak aku syukuri. Aku tidak boleh cengeng dan manja terbawa perasaan.  Pasti, insya Allah, Allah menolongku dan memampukan aku. Sedangkan bunda Hajar saja ditinggalkan Nabiyyullah Ibrahim as, di dekat Kabah, sendirian hanya bersama bayinya. Saat Mekkah masih gersang dan belum berpenghuni. Tanpa tanam-tanaman, tanpa tetangga, tanpa teman, tanpa sanak saudara, tanpa ada binatang.
Sekarang aku bersama rombongan, bersama shahabat, bersama teman-teman. Sekarang ada pembimbing, ada panitia, dan ada petugas hotel.
Allah pasti menolongku, seperti keyakinan bunda Hajar. Alhamdulillah aku tidak pernah tersesat, di Masjidil Haram maupun masjid Nabawi. Ke toilet juga dimudahkan. Tidak pernah diganggu ornag kemanapun aku pergi. Teman-teman selalu membantu dan melindungi aku.
Aku berdoa, semoga suatu saat aku diizinkan Allah datang kembali mengunjungi Baitullah, bersama suamiku. Entah berhaji lagi atau berumrah. Berkesempatan melakukan ibadah romantis.
Aku berharap, semestinya memang berharap, bukan berandai-andai, kepergianku ke tanah suci tanpa suami, diridhoi oleh Allah. Serta membawa hikmah dan kemanfaatan. Amin.  Ibuku dan suamiku telah meridhoiku, kini aku selalu berharap ridho Allah.
Walaupun demikian, perasaan kemanusiaan seorang istri, seorang perempuan, kadang muncul. Datang dan pergi, timbul tenggelam.
Menyaksikan kebersamaan penuh cinta dari rekan serombongan,  pak Elan dan bu Awie, Pak Hamim dan Bu Retna, Pak Mahfudz dan Bu Fathonah, Pak Dwi dan Bu Amrul, ...dan masih banyak lagi pasangan dalam jamaah satu rombongan, aku jadi bisa berempati pada rekan-rekan yang belum mendapatkan jodohnya di tanah air. Beginikah perasaan mereka jika menyaksikan keluarga yang nampak harmonis dan bahagia? Ada sisi sepi dalam hati yang sulit disembunyikan.
Kunikmati dan kuhirup aura cinta kasih yang mereka tebarkan. Kubenam dalam-dalam, di dadaku, di hatiku, di benakku untuk memenuhkan semua cinta dan rindu untuk suamiku di tanah air.
Jadi saat menulis ini, kubiarkan air mataku mengalir, penuh kerinduan, penuh kecintaan....
Ya Allah, kekalkanlah cinta kasih kami, hingga ke syurgaMu.
Namun saran saya bagi yang merencanakan ke tanah suci, jangan berhaji sendirian, berangkatlah bersama suami....kecuali jika anda memang belum bersuami atau tidak bersuami.
Di dua tanah suci ini, ada saja tempat-tempat yang menimbulkan romantisme. Di Arafah ada jabal Rahmah, tempat perjumpaan Nabi adam dan Hawa setelah terpisah sekian lama semenjak turun ke dunia. Banyak pasangan suami istri berbimbingan mendaki bukit batu, Jika di tanah air, belum tentu mereka sempat naik gunung berdua.
Perjalanan haji dan umrah, sungguh bagus untuk membangun romantisme dan kedekatan antara suami istri. Mereka dapat melakukan banyak hal bersama tanpa terganggu anak dan urusan dunia. Memiliki banyak waktu untuk berdialog menjalin hati. Aku sarankan bagi keluarga-keluarga yang ingin lebih bahagia dan romantis, mengatasi masalah kehidupan mereka, untuk pergi berhaji atau umrah berpasangan. Renungan yang disampaikan para ustadz akan mencerahkan pasangan. Disempurnakan dengan  saling mohon maaf dan bertaubat di Arafah, Semoga membekas selamanya ...hingga di tanah air... hingga meregang nyawa kelak.
Haji, dapat menjadi sarana mengokohkan bangunan keluarga. Dan membangun romantisme, subhanallah !

No comments:

Post a Comment