Friday, February 24, 2012

Masjid Nabawi : Jatuh Cinta Yang Kualami di Tanah Suci (41)


Oleh : Ida Nur Laila


Sungguh indah masjid nabawi yang terhampar megah di hadapanku. Lebih indah dari foto-foto yang pernah kulihat. Lampu-lampu bersinar di menara yang menjulang. Ornamen jendela , pintu, dinding, semua nampak indah bagiku. Saat memasukinya, aku makin terpesona dengan berbagai  ornamen interior masjid.
Di dalam masjid terhampar karpet merah tebal untuk alas sholat. Antara tempat laki-laki dan perempuan, dibatasi oleh sekat dari kayu berukir, sekat ini memiliki pintu-pintu atau gate yang menghubungkan 2 area terpisah ini. Saat hendak memasuki roudhoh, gate itu dibuka satu persatu.
Masjid nabawi, bukan  hanya memuaskan mata, tapi juga memuaskan batin. Aku duduk berlama-lama menghirup auranya dalam-dalam. Mengisi seluruh rongga dadaku yang telah lama merindu pada tempat warisan nabi ini. Dini hari itu adalah saat pertama aku mengunjungi tempat suci ini. Bersyukur aku diijinkan Allah mengunjungi tempat mulia ini.

Keutamaannya dinyatakan oleh Nabi saw., sebagaimana diterima dari Jabir ra.:
"Satu kali sholat  di masjidku ini, lebih besar pahalanya dari seribu kali salat di masjid yang lain, kecuali di Masjidil Haram. Dan satu kali salat di Masjidil Haram lebih utama dari seratus ribu kali salat di masjid lainnya" (Riwayat Ahmad, dengan sanad yang sah).
Ketika hari mulai terang, aku memanjakan mataku  memandangi seluruh bagian masjid. Atapnya, dindingnya, karpetnya, para petugasnya, seluruh jamaah yang hadir. Kubah bagian dari atap akan menutup saat menjelang waktu dhuha. Bergesernya kubah atap sangat halus, nyaris tanpa suara, hingga kadang jamaah tidak menyadarinya.
Aku memandangi dan merenungi berbagai macam jamaah, warna kulitnya, bahasanya, cara berbicaranya, karakternya.  Mereka telah datang dari berbagai penjuru dunia, menempuh perjalanan yang jauh, semua dengan niat suci beribadah. Dan kini kami para jamaah bernaung dalam satu atap.
Di halaman aku menyaksikan langit yang berubah warna, dari gelap menuju terang hingga cerah terang benderang dalam siraman hangat matahari pagi. Orang yang duduk asyik masyuk berdzikir, membaca Alqur’an tanpa hirau orang yang lalu lalang. Duduk bergerombol bersama rekannya atau menyendiri. Ibu yang bersama anak-anaknya, kadang beserta bawaannya yang banyak bertumpuk di sampingnya.
Masjid nabawi sungguh memikat hatiku. Kubayangkan Rasulullah berabad yang lalu, menyambangi masjid setiap hari. sholat lima waktu dan menggelar majelis taklim. Bermusyawarah dan beriktikaf di masjid yang tentu kala itu bentuknya sangat sederhana. Masih berlantai pasir . Hingga kini, area masjid yang asli telah ditandai dengan tiang dan ornamen atap yang berbeda dari masjid perluasan.
Kucoba menghadirkan suasana ruhiyah kenabian saat itu. Ketika para shahabat sholat dan bershof rapi di belakang nabi. Ketika mereka duduk mengelilingi nabi dan berlomba dekat dengan nabi, menanti perkataan nabi yang mulia. Kubayangkan para shahabat besar, Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Azzubair, Ibnu Mas’ud, Bilal...duduk mengelilingi nabi. Kadang bersimbah air mata ketika mendengar taushiyah nabi, kadang tersenyum gembira ketika Rasul bercanda....Ah semoga kelak di syurga aku diijinkan untuk menghadiri majelis nabi.
Masjid Nabawi adalah masjid kedua yang dibangun oleh Rasulullah saw., setelah Masjid Quba yang didirikan dalam perjalanan hijrah beliau dari Mekkah ke Madinah. Masjid Nabawi dibangun sejak saat-saat pertama Rasulullah saw. tiba di Madinah.  Lokasinya  ialah di tempat unta tunggangan Nabi saw. menghentikan perjalanannya. Saat itu banyak tawaran dari penduduk Madinah untuk mempersilahkan Rasulullah tinggal dalam rumah mereka. Rasulullah membiarkan untanya memilihkan lokasi tempat tinggal beliau. Lokasi itu semula adalah tempat penjemuran buah kurma milik anak yatim dua bersaudara Sahl dan Suhail bin ‘Amr, yang kemudian dibeli oleh Rasulullah saw. untuk dibangunkan masjid dan tempat kediaman beliau.
Awalnya, masjid ini berukuran sekitar 50 m  × 50 m, dengan tinggi atap sekitar 3,5 m Rasulullah saw. turut membangunnya dengan tangannya sendiri, bersama-sama dengan para shahabat dan kaum muslimin. Tembok di keempat sisi masjid ini terbuat dari batu bata dan tanah, sedangkan atapnya dari daun kurma dengan tiang-tiang penopangnya dari batang kurma. Sebagian atapnya dibiarkan terbuka begitu saja. Selama sembilan tahun pertama, masjid ini tanpa penerangan di malam hari. Hanya di waktu Isya, diadakan sedikit penerangan dengan membakar jerami.
Kemudian melekat pada salah satu sisi masjid, dibangun kediaman Nabi saw. Kediaman Nabi ini tidak seberapa besar dan tidak lebih mewah dari keadaan masjidnya, hanya tentu saja lebih tertutup. Selain itu ada pula bagian yang digunakan sebagai tempat orang-orang fakir-miskin yang tidak memiliki rumah. Belakangan, orang-orang ini dikenal sebagai ahlussufah atau para penghuni teras masjid.
Setelah itu berkali-kali masjid ini direnovasi dan diperluas. Renovasi yang pertama dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khathab di tahun 17 H, dan yang kedua oleh Khalifah Utsman bin Affan di tahun 29 H. Di zaman modern, Raja Abdul Aziz  dari Kerajaan Saudi Arabia meluaskan masjid ini menjadi 6.024 m² di tahun 1372 H. Perluasan ini kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, Raja Fahd di tahun 1414 H, sehingga luas bangunan masjidnya hampir mencapai 100.000 m², ditambah dengan lantai atas yang mencapai luas 67.000 m² dan pelataran masjid yang dapat digunakan untuk salat seluas 135.000 m². Masjid Nabawi kini dapat menampung kira-kira 535.000 jamaah. Apakah setelah itu ada renovasi lagi, aku belum mendapat sumber informasi. Karena seorang ustadzah menyampaikan bahwa masjid ini mampu menampung 1 juta jamaah. Wallahu a’lam.
Dalam masjid yang sekarang, terdapat makam Rasulullah, Abu Bakar ra, dan Umar ra. Rasulullah saw. dimakamkan di tempat meninggalnya, yakni di tempat yang dahulunya adalah kamar Ummul Mukminin Aisyah ra., isteri Nabi saw. Kemudian berturut-turut dimakamkan pula dua shahabat terdekatnya di tempat yang sama, yakni  Abu Bakar Al-Shiddiq dan Umar bin khatthab. Karena perluasan-perluasan Masjid Nabawi, ketiga makam itu kini berada di dalam masjid, yakni di sudut tenggara (kiri depan) masjid. Saya sempat mendekat ke makam Rasul dan mengucapkan salam dan shalawat saat mengunjungi raudhoh.  Juga memberi salam kepada Abu Bakar dan Umar bin Khatthab.
Aisyah sendiri, dan banyak lagi shahabat yang lain, dimakamkan di pemakaman umum Baqi. Dahulu terpisah cukup jauh, kini dengan perluasan masjid, Baqi jadi terletak bersebelahan dengan halaman Masjid Nabawi. Sayangnya saya tidak sempat mengunjungi makam baqi, hanya lewat  melintas dalam bus saat perjalanan, dan melihat dari kejauhan. Beberapa teman sempat  ziyarah ke makam Baqi’.
Memasuki masjid Nabawi dari pintu perempuan, mula-mula memasuki halaman berpagar besi,  halaman ini cukup luas dan beratap payung yang bisa membuka dan menutup. Setelah itu ada selapis pagar lagi untuk membatasi dengan halaman yang khusus diperuntukkan perempuan. Halaman ini juga dinaungi payung. Pada halaman dalam ini ada beberapa karpet merah yang dibentangkan di kanan dan kiri halaman. 
Terdapat dua area toilet perempuan yang sangat memadai dari sisi jumlah, walaupun fasilitasnya cukup sederhana. Toilet terawat bersih dan dijaga juga oleh para asykar dan petugas cleaning servis perempuan. Semua memakai penutup wajah.. Tentang toilet ini telah saya ceritakan terdahulu.
Para penjaga laki-laki memiliki pos di gerbang ini. Mereka tegas mengingatkan dan melarang para laki-laki memasuki halaman khusus untuk perempuan. Setelah memasuki halaman, kita akan segera bisa memasuki pintu masjid yang dijaga oleh para asykar yang berpakaian serba hitam dan bercadar. Mereka teliti sekali memeriksa isi tas dan barang bawaan pengunjung masjid.
Diantara barang yang dilarang untuk dibawa memasuki masjid adalah spidol, kamera, HP berkamera, makanan, dan mungkin juga senjata atau benda tajam seperti gunting. Namun ada saja akal pengunjung untuk menyelundupkan barang–barang tersebut misal dengan menaruh HP berkamera di kaus kaki atau saku baju.membawa makanan diantara mukena atau kerudung yang dibawa.Hhmm ada-ada saja.
Pengunjung yang membawa tempat minum atau botol air tidak dilarang. Entahlah jika membawa jerigen besar. Dalam masjid disediakan banyak sekali tempat minum dispenser jumbo berisi air zam-zam. Ada yang dingin dan ada yang suhu kamar. Para asykar melarang keras penggunaan air zam-zam untuk berwudhu.
Terpasang di halaman dan dalam masjid, bentangan pita merah putih pembatas antara area duduk dan area lalu lalang para jamaah. Seorang teman mengomentari warna pita tersebut.
“Mengapa berwarna merah putih? Apakah karena jamaah dari Indonesia paling banyak...?”
“Atau jamaah Indonesia yang paling susah diatur...?”
“Ah kita husnudzon saja bahwa pembuatnya hanya memproduksi pita merah putih...”
Itu hanya gurauan diantara kami yang sangat  sensitif dengan warna bendera kita.
Dalam masjid banyak asykar dan cleaning servis. Mereka sangat berusaha menjaga kebersihan dan ketertiban dalam masjid. Suara para petugas bercadar yang kira-kira cantik-cantik ini sering terdengar melengking mengingatkan para jamaah .
“ ibu...ibu masuk-masuk...jangan duduk...jangan duduk!”
Suara itu terdengar lucu sekalipun diucapkan dengan tegas, lantara logatnya yang tidak pas dengan telinga Indonesia.
Jika ada yang ketahuan memotret atau merekam bagian dalam masjid, maka petugas akan meminta ponselnya dan menghapus gambar tersebut.
“ Haram memotret...!” begitu larang mereka.  Namun ada saja yang diam-diam berusaha memotret. Kufikir jika kita datang untuk beribadah, mengapa kita melakukan sesuatu yang dilarang...
Jika ingin memotret, aku sengaja membawa kamera dan sholat di halaman masjid. Disini tidak dilarang kita membuat dokumentasi sepuasnya.
Inilah interaksi pertamaku secara fisik dengan Masjid Nabawi. Kalau ada istilah di masjid hatiku terkait, maka masjid nabawi telah membuat aku jatuh cinta. Aku selalu akan kembali, bismillah.





No comments:

Post a Comment