Monday, January 21, 2013

BERTEMU PAK HIDAYAT

Revo dan laut



" Namanya siapa pak ?"
" Hidayat..."
" Hidayat Nur Wahid ...?"
" Bukanlah bu....." ia tertawa malu.

Sosoknya lumayan mungil untuk seorang lelaki. sebagian rambutnya telah abu-abu. Ia mengaku memiliki 1 cucu.

Sekalipun asalnya dari Bandung, pak Hidayat memilih mengais rejeki di Jogja dan sekitarnya . Kadang di candi Borobudur, Candi Prambanan, dan sekarang bertemu dengan kami di Parangtritis.

Dagangannya sungguh sederhana dan praktis. mencangklong sebuah tas hitam berukuran sedang, kira-kira berisi stok barang dagangan, dan menenteng satu pak pulpen dan kertas, ia berkeliling menyapa pengunjung di rumah makan pinggir Parang tritis, termasuk kami.

" Oleh-oleh kenang-kenangan dari parang tritis bu...pak...ini pulpen langsung diberi nama. Hanya Rp.2000,- saja..."
suaranya khas logat sunda, sekalipun ia mengaku sudah lama tinggal dan menetap di magelang.

Anak-anakku tertarik dan semua mendaftarkan namanya untuk dituliskan grafir di pulpen warna-warni itu. bahkan mereka mendaftarkan nama anak-anak tetangga.

Kulihat carangnya menggores dengan alat semacam pisau kecil, menulis dengan tulisan indah yang rapi. Lalu digosok dengan cat.
Jika pulpen warna gelap, digosok dengan cat putih. Untuk pulpen yang warna terang, catnya hitam. hanya butuh kurang dari satu menit mengerjakan setiap pesanan.

Sesekali ia tersenyum melihat permintaan anakku yang aneh-aneh.
" Kalau gambar burung bisa pak... ?"
" Gambar bunga...?"
Ia menggeleng.
" Tidak bisa neng..."

Ingin aku menguak kehidupan orang-orang yang giat seperti ini .
" Sudah lama pak kerja seperti ini...?"
" ya sudah empat lima tahun...dulu saya menjual sepatu...sekarang sudah tua, cari yang ringan saja..."
" Sehari jika ramai dapat berapa pak...?"
" Yaah tidak mesti bu...kadang dua ratus ribu...kalau sepi cuma duapuluh ribu..."

" Pulpennya satu pak berapa pak...?" 



Pulpen pake nama karya pak Hidayat....


Aku suka matematika jadi ingin kuhitung berapa sih pendapatan bersih pak Hidayat dikurangi ongkos produksi dan belanja modal.
Namun ia menolak.
" Namanya etika dagang...saya tidak bisa sebutkan ibu..." ia berkata sopan.
Anak-anakku memprotesku.
" Umi kenapa tanya-tanya begitu..."
" Eh siapa tahu nanti kalau pensiun, umi juga bisa jualan pulpen seperti bapak ini..." aku bercanda.
Pak Hidayat tertawa.
" Ibu ini bisa saja..."
" Tulisan saya jelek pak...jadi yang beli pasti tidak bisa membaca namanya sendiri jika saya yang bikin grafirnya..." jawabku.
kami tertawa bersama...mengingat tulisan tanganku yang memang tidak indah.

Untungnya jika menulis di fb tidak perlu menulis tangan...cukup mengetik, jadi teman-teman tidak tahu tulisan tangan saya....


Anak-anak mengamati hasil grafir di pulpen masing-masing.
" Tulisannya bagus ya...ini fontnya apa ya...?"
" Helvetika nero...?"
" Monotype corsiva...?"
" Lucida handwritting...sepertinya..."
" Pak fontnya bisa dirubah tidak...? Aku mau comic sans...."
Mereka bicara bersahutan. dan pak Hidayat menggeleng. ia tidak faham apa pembicaraan anak-anak.

Waah mungkin pak Hidayat tidak pernah mengetik pakai komputer ya...
" Bapak ini pasti juara menulis halus saat sekolah SD dulu..."
komentar salah satu anakku.
" Ternyata belajar menulis halus berguna ya..."
kata yang lainnya.

Demikianlah kami belajar kegigihan dan kerja keras dari seorang lelaki paruh baya menjelang tua. Memanfaatkan keahlian yang dimiliki untuk mengais rejeki.
Kulihat wajah penuh gembira dan kesyukuran mengetahui kami memborong banyak barang dagangannya.
Anak-anakku juga nampak gembira.
semoga mereka telah belajar tentang kehidupan sederhana dari seorang pedagang asongan,

di tengah dunia modern yang tidak sederhana ini.

Parangtritis, 20 januari 2013

No comments:

Post a Comment