Saturday, October 12, 2013

PORTIR NO 26


Jam 3 pagi, stasiun Tugu, menanti kereta menuju Mojokerto.

Stasiun relatif sepi, seorang portir stasiun yang membantu kami, mengangkat satu koper kulit warna hitam ukuran sedang, dua kardus sedang berisi buku yang lumayan berat, sebuah ransel.
Berbaju kuning dan nomer di dada maupun di punggungnya tertulis angka 26 berwarna hitam dan jelas.

“Tugas sampai jam berapa?” tanyaku sambil lalu, saat kami berdiri menanti kereta turangga yang telat satu setengah jam.
Wajahnya yang tirus menyungging sedikit senyuman.
Kuperkirakan usianya sekitar tiga puluhan tahun.

“ Saya tugas jam 10 pagi sampai jam 10 malam. Atau jam 10 malam sampai jam 10 pagi. Lalu besoknya libur “
“Jadi sehari masuk, sehari libur ?”
“ Iya “
“ Kalau pas libur ngapain ? Tidur ?”
Ia mengangguk tersenyum.
“ Berapa jumlah portir di stasiun ini ?”
“ Kalau dulu, setiap tugas 50 0rang, lalu ganti 50 lagi. Namun sekarang paling hanya 30 orang.”
“ Bapak ini karyawan atau bukan ?”
“ Bukan bu, saya ya hanya kerja angkat-angkat saja”
“ Tapi kan tidak setiap orang boleh melakukan...?”
“ Iya bu, kepala stasiun tahu, siapa yang pakai nomer seperti saya ini. Ada daftarnya. Kepala stasiun yang dulu pernah akan mengurangi jumlah protir. Tapi kan tidak enak bu, sama teman sendiri, siapa yang akan disingkirkan. Akhirnya ya biarlah nanti yang mulai tua, tidak digantikan dengan yang baru...”

Aku tersentuh dengan penjelasannya.
Ternyata di kalangan para portir itu juga ada kesetiakawanan yang kuat. Sama-sama mengais rejeki. Sama-sama orang usah , kata mereka.
Apakah semangat demikian hanya ada pada orang susah dan orang kecil ya.

Aku tak sempat merenung karena tanda kereta akan datang telah berbunyi. Sebagai penutup, aku masih bertanya satu hal lagi.
“ Sehari bisa dapat penghasilan berapa pak ?” ia menggeleng.
“ Tidak tentu bu, kadang ramai, kadang sepi.”

Aku maklum dan tidak memaksanya.
Kereta tiba, dan kami naik. Ia naikkan semua barang kami. Sampai menutup bagasi atas dengan sopan. Dan wajahnya berbinar saat menerima lembaran uang jasa yang diulurkan suamiku.

“ Terima kasih pak, terimakasih pak, semoga perjalanannya lancar...,” hanya 20 ribu rupiah dan ia sudah nampak girang.
Aku mengangguk, dan itulah akhir wawancara menjelang subuh.
Entah kapan saya bisa menemui portir no 26 ini. Ia hanyalah salah satu dari banyak portir yang kutemui di stasiun atau di bandara.
Semoga mereka dimudahkan mengarungi pergulatan hidup.
Diberi rizki yang sesuai dan ketentraman hidup yang berkah. Amin.

Bagaimanapun, ia telah banyak membantu.

Jogjakarta, 8 Desember 2012


No comments:

Post a Comment