Monday, October 21, 2013

SIAPAKAH KELUARGAMU, BAPAK TUA ?


Suatu pagi, 07.00 bulan Mei 2002 di depan kantor sebuah Bank Swasta, jalan Solo. Gerimis pagi lembut meluruhkan mendung.
Suamiku memarkir kendaraannya hendak mengambil uang. Tukang parkir, seorang bapak tua, melambaikan tangan mengarahkan posisi mobil. 

Aku terpana. Kakek tua itu, kuperkirakan usianya mendekati 80-an atau bahkan lebih. Begitu tuanya, hampir seluruh rambutnya telah putih. Bahkan kumis dan jenggot serta alisnya telah memutih. Ia berjalan sangat pelan, dengan gemetar pula. Orang jawa bilang "buyuten" artinya gemetar yang tak ada habisnya.
"Dia tukang parkir tak resmi," jelas suamiku melihat keherananku. "beginilah jam kerjanya, sebelum tukang parkir resmi datang dan setelah tukang parkir resmi pulang". 
Suamiku tersenyum pada bapak tua, bapak tua membalas senyum itu seadanya. Giginya tinggal beberapa gelintir diantara bibirnya yang keriput. 

Sambil memangku bayiku di mobil, kuperhatikan bapak tua itu. Sebuah topi lusuh menutup kepalanya yang kecil. Seragam parkir yang lusuh dan sedikit kedodoran tidak dikancingkannya penuh, menampakkan kaus dalam yang telah pudar warnanya. sendal jepit yang tepes, sebuah tongkat yang nampak sama tuanya dengan dirinya, celana hitam yang juga lusuh. Ia menyandang tas kumal, nampak sebuah botol air kemasan berisi air teh sedikit menyembul dari tasnya. Ia berdiri di trotoar diantara gerimis yang masih rinai membasahi topinya.

Sebuah mobil datang lagi, agak beberapa jauh dari posisi berdirinya. bapak tua berusaha mendekat dan memberi isyarat dengan tertatih. Aku menahan nafas menyaksikan ia berusaha turun naik trotoar yang hanya setinggi dua puluh limaan centi, dengan susah payah.

Ketika mobil kami beranjak pergi, bapak tua berusaha berjalan agak ke tengah untuk membantu mengatur lalu lintas. Ia nampak begitu ringkih di tengah derasnya arus kendaraan pagi. Kami pun berlalu. Tapi fikiranku tidak beranjak dari sosoknya. Aku menerawang dan mataku membasah.

Wahai bapak tua, dimanakah keluargamu ? Tidakkah diusiamu yang senja engkau harusnya duduk manis di rumah mengenang masa mudamu sambil memperhatikan anak cucumu bercengkerama ? Dan siapakah keluargamu yang tega membiarkanmu bekerja ? Ataukah engkau tidak lagi punya anak istri yang merawatmu ?

Tanyaku tetap bergantung. 
Mengapa tadi aku tidak turun dan bertanya padanya untuk menuntaskan keingintahuanku. 
Untuk sekedar ingin tahu ? 
Tidak. Aku tengah mengasah rasa peduliku. 

Hujan lebat turun tiba-tiba, di sepanjang jalan orang panik berlarian mencari tempat berteduh. 
Dan air mataku menderas seperti derasnya hujan.. 
"Mengapa ?" suamiku heran. Aku menggeleng.
"Bapak tua itu ..." kubayangkan ia tak bisa berlari untuk berteduh ketika hujan menderas tiba-tiba. Dimanakah rumahnya ?
Ingin aku tidak sekedar mengatakan itu. Ingin aku bilang pada suamiku, mungkinkah kita menyantuninya ? Namun usul itu tidak pernah keluar dari mulutku. Aku membayangkan rumah kontrakan kami yang sudah penuh sesak. Kami dan lima anak kami, Ibu kandungku yang menunggui cucunya, dua mbak yang menolongku setiap hari, seorang kemenakanku yang tinggal juga bersama kami. Tak ada lagi kamar untuk orang baru. Belum lagi mengingat penghasilan kami yang pas-pasan untuk hidup selama ini. 

Ah itulah egoisme. Selalu merasa kurang yang membuat kita enggan menolong orang lain. Mungkin keluarga bapak tua tersebut benar-benar tidak mampu dan ia masih harus menanggung nafkah di hari tuanya. Semoga ada orang yang benar-benar lapang harta dan jiwanya, yang digerakkan Allah untuk menolong bapak tua itu.

***


Sepenggal episode itu membawaku berfikir tentang fenomena kehidupan modern dewasa ini. Pola keluarga inti membuat pasangan baru pergi meninggalkan rumah orang tuanya. Mandiri. Dan orang-orang tua tinggal sendiri dalam rumah-rumah mereka, jauh dari anak cucu, merawat dirinya sendiri atau ditemani seorang pramurukti (perawat orang jompo) bagi yang mampu. 

Mengapa kita tidak kembali kita kepada keluarga besar, dimana tinggal dalam satu atap ada kakek nenek paman dan bibi sehingga sebagai keluarga besar kita dapat saling menolong. Dapat mengajari anak untuk bersikap santun pada orang tua. 
Tanpa kebaikan orang tua, mana mungkin kita ada dan hidup sehat seperti sekarang ini. Juga mengajarkan pada anak, dan juga pada diri kita, bahwa suatu saat kelak kita akan tua, mungkin pikun dan tak mampu lagi merawat diri. Sehingga semasa kita masih muda mari menanam kebaikan sehingga dihari tua selalu ada tangan terulur membersamai kita melewati masa-masa tua yang mungkin terasa berat.

Saya sangat percaya bahwa kebaikan pasti berbalas kebaikan. Mungkin yang membalas adalah orang yang sama sekali tidak terkait dengan kebaikan kita saat ini. Mungkin pula orang yang pernah merasakan kebaikan Bisa jadi juga balasan itu tidak kita terima segera. Mungkin tertunda hingga pada saat-saat sulit tiba-tiba ada tangan terulur. Kalau tokh tidak di dunia, pastilah Allah tidak lalai membalasnya di akhirat.

Demikian pula dalam berbuat baik pada orang tua, anak-anak atau kerabat kita. Hidup manusia penuh rahasia. Tidak dapat dipastikan bahwa kita akan memiliki fisik yang sehat selamanya. Bisa pula Allah mengambil apa yang dikehendakinya bagian dari tubuh yang dititipkan pada kita. Bahkan tentu nyawa kita sekalipun.

Kebaikan pasti berbalas kebaikan. Rasa kasih kita akan membuahkan kasih, santun akan berbuah santun. Maka, semasa ada kesempatan, marilah kita menanam budi baik. Juga mengajari anak-anak kita dengan budi baik, melalui nasihat dan teladan. 

7 comments:

  1. Hiksss
    semoga ortu saya, mertua (in future) dan saya sama suami nanti enggak terlunta-lunta seperti itu. selalu miris dan terenyuh lihat mereka yang sudah sepuh masih berjuang seperti ini.

    ReplyDelete
  2. Amin, semoga kita menjadi anak yang berbakti ya mak. terimakasih telah berkunjung

    ReplyDelete
  3. kisah yg mengharukan tapi penuh nasihag mak,, bahwa sudah tua tapi masih semangat untuk bekerja.
    semoga kita bisa memuliakan orangtua di hari tuanya,membuat mereka bahagia,bangga dan ridho terhadap anak2nya.. :)

    ReplyDelete
  4. iya mak, suka sedih ngeliat bapak tua atau ibu tua yang bekerja. Tapi mungkin kita tidak boleh langsung menghakimi dimana anaknya? kita tidak pernah tahu masa lalu bapak atau ibu tersebut. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang berbakti kepada orang tua. Aamiin

    ReplyDelete
  5. eh iya mak, mau follow blog mak ini gimana ya? diliat-liat kiri kanan ngga ada buat subscribe atau follorw

    ReplyDelete
  6. Anita, ini alamat blog saya :
    http://ida-nurlaila.blogspot.com
    untuk twiter di @lailacahyadi
    untuk FB.Ida nur Laila atau Nur Layla
    untuk email di : lailacahyadi@yahoo.com
    makasih sudah mampir.

    ReplyDelete