Sunday, November 3, 2013

Ingin Kugapai Bintang



(Cerpen ini ditulis putri keempatku saat usianya 11 tahun, hari ini ia telah 15 tahun) 



Menggapai bintang? Itulah cita-citaku. Memang kedengarannya mustahil, tapi aku akan berusaha untuk mencapai Rekor Dunia  “Orang Pertama yang Membawa Bintang ke Bumi”.
Mungkin  setiap orang akan tertawa eh menertawakanku jika  mendengarnya. Maka, rahasia ini hanya kuberi tahu padamu. Aku selalu mengagumi bintang yang bertaburan dan berkelap-kelip di langit. Pada malam hari, aku sering memandanginya bersama ayah dan ibu. Aku sungguh ingin pergi ke sana.
            Aku  menulis cara-cara untuk menggapai bintang. Beberapa cara telah kutulis:
# Memohon pada ayah untuk pergi ke luar angkasa menaiki roket bosnya ayah. ( Ayahku seorang Astronout ).
# Meminta ibu mengajari cara mengendarai pesawat / helikopter. ( Ibuku agen mata-mata ).
# Memohon kakakku meminjam balon udaranya. ( Kakakku penyewa balon udara di tepi pantai ).
Yah... itulah beberapa cara yang kukira bisa untuk mewujudkan impianku.
Semua sudah kucoba, tapi selalu saja gagal, ayah, ibu dan kakakku tidak ada yang mau menuruti keinginanku.
            Inilah kenyataan yang kuhadapi. Hari  ini,
Aku sedang berada di kamar rumah sakit. Hanya bisa tidur terdiam. Tak bisa melakukan aktivitas yang lain. Betul-betul  hanya tidur, makan, dan ke kamar mandi. Susahnya menjadi orang yang mengidap penyakit  “kanker”. Itu yang kudengar dari bisik-bisik mereka, aku kena kanker paru-paru.
Aku hanya dapat berharap impianku tercapai. Mungkin tiba-tiba ada bintang yang jatuh di kamarku. Mungkin juga ada alien yang datang membawakan bintang untukku. Tapi, tentu tak semudah itu. Itu hanyalah angan seorang anak yang mengidap penyakit kanker, okay, it is me.
Saatnya waktu makan, suster membawakan makanan yang menjijikkan, seperti semangkuk sayur, yang isinya brokoli, kembang kol, kubis, wortel, dan entah apa nama yang lainnya. Aku di paksa memakan itu. Ihhh sungguh menjijikkan. Aku tidak mau makan itu. Saat melihat saja ingin muntah, apalagi saat memakannya, hiii. Itu seperti sayur yang diblender, ditambah dengan isinya lagi, dan diberikan padaku. Sebenarnya  kenyataannya memang tak seperti itu. Lebih baik dari yang kuceritakan, namun bagiku  itu sangat buruk.
            Suatu ketika,
Aku baru mau berbicara, sebelumnya aku tak pernah berbicara sejak masuk ke ruangan ini.
“Ibu, bintang itu sebesar apa ya?” tanyaku yang tiba-tiba. Ibu senang aku mau berbicara.
“Bintang itu lebiiih besar dari bumi, sangaaat besar,” jawab ibu sambil memperagakan. Aku kembali murung.
“Ada apa nak?” tanya ibu kemudian. Aku menggeleng saja. Lalu aku merasa dadaku sangaaat sesak. Aku sangat susah untuk bernafas. Aku menangis. Lalu ibu memanggil dokter dan aku di bawa ke suatu ruangan. Aku disuntik dan aku tertidur.
Aku bangun. Melihat keadaan sekeliling. Tak wajar seorang anak perempuan berumur 7 tahun berada di sini, Terlalu muda untuk sakit. Kata-kata ibu masih terngiang dalam benakku.
“Aku tak bisa menggapai bintang jika bintang begitu besar,” batinku. Aku sedih, dalam hati aku menangis. Aku terlalu sedih hingga tanpa sadar aku mulai menangis. Ibu kaget dan ingin kembali memanggil dokter, tapi kucegah.
            “Jangan,” kataku sambil menggenggam tangan ibu.
            Tiba-tiba sesaknya menyerang kembali dengan ganasnya. Aku menangis sambil meraung-raung  dan menggeliat. Tangan ibu yang semula kupegang kulepaskan. Dadaku sangat sakit seperti dipukul menggunakan pemukul kasti berkali-kali. Sangat sakit. Aku tak tahan menahannya. Entah apa yang harus kulakukan selain menahan.
Dokter kembali dengan ibu. Aku ditenangkan. Tapi tak bisa. Aku terus menangis. Sampai akhirnya aku mulai tenang. Lama-lama semua itu surut, kecuali sesaknya. Semakin menyesakkan.
Aku berbisik pada ibu, “Bawakan bintang ke bumi, dan tercapailah impianku ...Terhembuslah nafas terakhirku. Mataku tertutup untuk selamanya. Namun seolah aku bisa melihat Ibuku menangis sesenggrukan.
Esoknya...
Inilah hari pemakamanku. Aku dibawa ke kuburan. Ada orang yang menggali, setelah itu aku dimasukkan dan ditimbun. Orang-orang berdo’a. Ibuku menangis lagi. Wajah ayahku sedih. Tak pernah kulihat ayah sesedih itu. Biasanya  wajah ayah seharusnya selalu ceria.
 Semua orangpun pergi, kecuali ibu. Ibu memeluk batu nisanku sambil menangis, menangis dan menangis.
Ibu dan ayah akan mewujudkan  cita-citaku. Bulan depan mereka berangkat untuk misi ilmiah. Ayah dan ibu beserta tim yang lain berangkat menuju bulan, bukan ke bintang, Kata ibu kita tidak mampu mencapai bintang. Bintang sangat panas.
Perjalanan ke bulan tentu sangat lama. Akhirnya  sampai juga. Lalu ayah membawa batu bulan yang  besar ke bumi. Butuh waktu yang lama juga untuk sampai ke bumi, tapi mereka kembali dengan selamat. Tercetaklah Rekor, bahkan Rekor Dunia “Orang Pertama yang Membawa Bulan ke Bumi”.
Ibu teringat, saat –saat  terakhir hidupku. Ibu menangis lagi. Seandainya bisa, aku ingin menghiburnya :
“Jangan sedih ibu, aku sudah bahagia di sini. Aku senang ibu telah mewujudkan impianku”.
Walaupun ibu tak pernah mendengar suaraku, hanya desau angin di sela pohon kamboja.


karya : Kuni Hamda Abida (11 tahun) 

2 comments:

  1. waw mbk kuni pinter bikin crpen.. keren mak.. saya saja ga pernh bikin cerpen nih.hehehe

    ReplyDelete
  2. Makasih mak...mungkin karena dia suka membaca sejak SD jadi kata-katanya berwarna...hehe

    ReplyDelete