Sunday, December 22, 2013

CINTA IBUKU SEPANJANG HAYAT

Ibu dan aku

Sejak 15 tahun yang lalu, 3 tahun setelah ayah meninggal, ibu memilih tinggal bersamaku. Setiap hari kulihat ibu berusaha keras untuk meringankan beban hidupku.

Saya ibu dengan 3 anak kecil kala itu, setiap hari adalah atraksi antara membagi waktu untuk anak-anakku, mencari rejeki untuk menyekolahkan dua adikku dan juga melakukan kerja dakwah. Keberadaan ibu seperti malaikat penolong yang mengambil alih banyak hal yang tak sanggup kujangkau dengan tanganku. Ibu mengasuh anak-anak saat saya tidak ada. Sekalipun ada asisten rumah tangga, namun mereka bukanlah tumpuan untuk mengasuh anak-anakku. Adapun ibuku, bukankah sudah terbukti dengan olahan tangannya dan dengan petunjuk dari Allah, kami anak-anak ibu menjadi anak baik.

Ibu bersama anak ke 3

Pagi hari adalah pertempuran paling heboh. Anak-anak harus bersiap ke sekolah. Sering kudapati pada malam hari ibu sudah menjajar tempat minum dan seragam anakku, agar pada pagi hari saya tak perlu mencari barang-barang itu. Bahkan acapkali kudapati air mentah dalam ceret sudah nangkring di atas kompor, tinggal menyalakan kompor. Biar saya tak perlu repot mengisinya. Semua kebaikan itu dilakukan hingga anakku bertambah menjadi 6. Sekarang ibuku sudah 68 tahun. Kondisinya jauh menurun, maka banyak kularang melakukan ini itu lantaran khawatir jatuh sakit. Jika saya terlalu cerewet, ibu akan mengatakan:

“ Biarlah aku membantumu. Aku tahu kamu habiskan waktu untuk berdakwah, dan inilah cara jihadku...”

Atau jawaban lain yang membuatku meneteskan air mata.
“Aku ingin menebus rasa bersalahku. Sejak kamu SD, kakakmu mulai sakit, kami sering kurang memperhatikan kamu. Perhatian kami dan biaya hidup banyak tersedot untuk membiayai kakakmu. Biarlah aku menebusnya, dengan memperhatikan anak-anakmu...”

Kakakku, Ibu dan aku

Jawaban kedua ini membuatku terkejut ketika pertama kali dilontarkan oleh ibuku. Memang kuingat masa kecilku yang berat. Masih sejak SD, saya harus mengurus dua adik, mulai dari memasak, menyiapkan urusan sekolah, membersihkan rumah, mencuci baju dan lain-lain pekerjaan yang biasa dilakukan ibu. Jika kakak mulai opname, minimal selama satu bulan. Selama itulah aku menggantikan ibu. Ayahku tetap berangkat ke kantor, sepulang kantor akan menengok kami, memberi uang jatah, dan membantu pekerjaan berat seperti mengisi bak mandi. Lalu sorenya berangkat ke RS yang berjarak 35 km dari rumah kami, untuk menemani ibu menjaga kakak. Esok pagi-pagi, ayah berusaha pulang agar bisa mengantar kami sekolah. Beberapa kali saya pingsan lantaran kecapekan.

Bagiku, semua episode masa berat itu adalah heroisme yang menempaku menjadi seperti sekarang. Sungguh, saya terkejut saat ibu merasa banyak bersalah dengan masa kecil saya. Bagaimanapun penyakit yang diderita kakak adalah pemberian Allah. Jika aku menjadi ibu, tentu juga akan memprioristaskan kesehatan kakak tanpa bermaksud mengabaikan anak-anak yang lain.

Ibu menunggui anak bungsu

Saya justru bersyukur melewati masa yang menempa saya menjadi pekerja keras dan trampil melakukan apa saja. Jika sekarang saya memiliki sifat-sifat baik, maka itu adalah cerminan teladan dari ibuku. Ibuku yang pekerja keras, ulet, tabah, kreatif, mandiri, dan suka melayani yang kusaksikan setiap hari hingga kini. Keteladanan dalam kesahajaan itulah yang menjadi inspirasiku.

Saya bersyukur dikarunia ibu yang penuh perhatian dan cinta. Kudoakan selalu kebaikan dan kebahagiaan untuk ibu. Semoga Allah berikan semua balasan kebaikan dengan syurgaNya, amin.

Selamat hari ibu....bakti dan sayang kami untukmu.


 

7 comments:

  1. Terharu.... *jadi kangen sama mama....

    ReplyDelete
  2. terharu mak, beruntung bisa tinggal dengan ibu hingga hari tuanya...met hari ibu ya mak...

    ReplyDelete
  3. Selamat hari ibu untuk ibu ida dan eyang..

    ReplyDelete
  4. foto yg terakhir, suka sekali. ekspresinya penuh arti :)

    ReplyDelete
  5. makasih mrs amidy. buku sudah saya kirim ya. Mak Muktia, itu hasil karya anakku.

    ReplyDelete