Sunday, March 23, 2014

Rumah Rapi Vs Jejak Cinta


Wahai ayah bunda, sebagai orang tua kadang memiliki dilema antara keinginan agar rumah selalu rapi bersih dan...sedikit kebebasan ruang untuk anak “berekspresi.” Eh iya enggak sih? Jangan-jangan hanya aku saja.
Ada keluarga yang memilih rumahnya tetap rapi dan sunyi, melarang anak ”memberantakkan” atau membuat “kegaduhan”. Namun juga ada yang ekstrim memperbolehkan anak melakukan apa saja.

Dimana posisi kita?
Mana yang lebih kita inginkan? Rumah yang selalu bersih dari corat-coret tapi anak-anak kekurangan ruang ekspresi atau anak yang tak diatur dan diberi banyak kebebasan?


Ah anda yang punya pilihan. Anda juga bisa membuat versi lain, mengapa harus terpaku pada pilihan yang saya buat...hihihi...pertanyaan kok menyesatkan.

Saya tersentuh dengan puisi cinta dan kerinduan yang saya baca di buku Tarbiyatul Aulad fil Islam karya Ustadz Abdullah Nasih Ulwan. Izinkan saya mengutip tulisan indah tentang Al-Ustadz Umar Baha’ al-Umairi yang membuat syair ketika 8 anak-anaknya mengadakan perjalanan dari Al-Mushif ke Halab.

Dimana kegaduhan dan kebisingan syahdu
dimana belajar yang selalu diselingi senda gurau
dimana masa kanak-kanak  yang semarak
dimana boneka dan buah-buahan yang berserakan di lantai

Dimana rengekan tanpa tujuan
dimana pengaduan tanpa sebab
dimana tangis dan tawa, duka dan ceria
yang timbul secara bersamaan

Dimana perebutan untuk duduk disampingku
ketika mereka akan makan dan minum
Mereka saling berdesakan untuk duduk di sisiku
dan dekat denganku dimana saja mereka bergerak
Dengan dorongan fithrah
mereka menghadap denganku
pada saat mereka takut dan senang

Ketika mereka senang senandung mereka adalah ‘”bapak”
ketika mereka marah ancaman mereka adalah “ bapak”
ketika mereka jauh bisikan mereka adalah “ bapak”
ketika mereka dekat, ratapan mereka adalah “ bapak’

kemarin mereka memenuhi rumah kita
sayang, mereka telah pergi
seakan-akan kesunyian menimpakan beban yang berat ke dalam rumah ini
ketika mereka pergi
sunyi rumah ibarat tenangnya orang sakit
seisi rumah diselimuti kesedihan dan kedalahan
mereka telah pergi
ya, mereka telah pergi

namun tempat tinggal mereka adalah hatiku
mereka tidak jauh, tidak pula mereka dekat
kemamana saja jiwaku yang berpaling
aku selalu melihat mereka
kadang mereka diam
kadang mereka lom[at di dalam benakku

di dalam rumah yang tak  pernah mengenal lelah ini
masih kurasakan sendau gurau mereka
masih kulihat pancaran sinar mata mereka
ketika mereka berhasil
masih kulihat linangan air mata mereka ketika mereka gagal

di setiap sudut rumah
mereka tiinggalkan suatu kesan
disetiap pojok rumah
mereka tinggalkan kegaduhan

aku melihat mereka
pada kaca-kaca jendela yang mereka pecahkan
pada dinding-dinding yang mereka lubangi
pada pegangan pintu yang mereka patahkan
pada daun pintu yang mereka gambari
pada piring-piring sisa makan mereka
pada bungkus permen yang mereka lemparkan
pada belahan apel yang mereka sisakan
pada lebihan air yang mereka tumpahkan

kemana saja mataku memandang
aku selalu melihat mereka
bagaikan sekumpulan burung dara yang terbang melayang
kemarin mereka singgah di Kornail
sekarang mereka berada di Halab

Air mataku yang aku tahan dengan tabah
ketika mereka bertangisan saat mereka pergi
hingga ketika mereka bertolak
mereka telah merenggut jantung dari rongga dadaku
kudapatkan diriku bagaikan seorang bocah
yang penuh dengan perasaan
air mataku jatuh tertumpah bagaikan air bah

kaum wanita akan merasa heran
bila melihat seorang lelaki menangis
namun lebih heran lagi jika aku tidak menangis
tak selamanya tangis itu cengeng
aku seorang bapak
aku punya keteguhan sebagai kaum lelaki

Itulah kejujuran ungkapan cinta dan kerinduan seorang ayah. Begitu juga  contoh rumah cinta bagi beliau. Bukan rumah yang rapi disebabkan ketatnya aturan orang tua pada anak. Mungkin sedikit berantakan, dengan dinding yang bergambar lukisan tangan si kecil. Anak-anak sering menjadikan lantai dan dinding rumahnya sebagai kanvas. Bahkan perabot rumah. Mungkin kaca yang pecah atau air membasahi karpet. Tetapi beliau melihat semua ‘jejak- jejak’ putranya dengan sayang dan kerinduan. Itulak ‘jejak cinta’.

Dan kita, bagaimana melihat “jejak cinta” anak-anak kita?


Anak-anak hanya ingin bermain. Belajar melalui bermain. Mari berikan ruang yang cukup untuk eksplorasi mereka, sekaligus mengajarkan tanggungjawab sejalan dengan usianya. Dan “jejak cinta’ mereka, kelak menjadi kenangan yang kita rindukan.

20 comments:

  1. Ah, saya jadi ingat. Dulu sewaktu saya dan kedua adik masih kecil, sepertinya umur sebelum TK. Ibu dan Bapak membiarkan kami menghias dinding seluruh rumah. Menghias ala anak TK tentunya, jadi merupakan gambar oret-oretan yang malah merusak pemandangan rumah. Hebatnya, setiap kali ada tamu yang datang, kemudian berkomentar betapa kotornya dinding rumah kami, Ibu bukannya malu, tetapi selalu sigap menjawab: itu bukan kotor, tetapi karya seni. kami punya tiga pelukis handal di rumah
    Ah, kangen!

    ReplyDelete
    Replies
    1. senangnya punya ayah ibu yang luar biasa...jadi beginilah anaknya bisa jadi blogger

      Delete
  2. saya pun memberi mereka ruang untuk berskspressi mbak, walau tetap ada aturan yg harus mereka patuhi, yakni: bereskan sendiri mainan mereka, atau mainannya saya buang saja, karena mereka tidak menghargai milik mereka sendiri. alhamdulillah sih, berhasil. kadang saya sengaja belikan peralatan dan bahan-bahan untuk crafting mereka. snagat membantu untuk tumbuh kembang mereka serta melatih otot motorik dan ketrampilan mereka.

    ReplyDelete
    Replies
    1. mama yang hebat nih...semoga ananda tumbuh menjadi anak yang bertanggungjawab

      Delete
  3. masa kanak-kanak memang masa yg tak terlupakan, memberi ruang untuk anak bermain menikmati masa kanak2 mereka sekaligus belajar bertangung jawab, rumah saya juga mak berantakan namun adik saya yg bungsu jg belajar merapikan kmbali mainannya stlah bermain...nice share :)

    ReplyDelete
  4. betul sekali bu,, rumah kami dulu juga seperti itu, banyak coretan di temboknya.. lantai rumah pun berubah jadi gua,, soalnya lantainya dari tanah.. alhamdulillah, kami berkesempatan menikmati masa kanak-kanak tersebut dengan baik.. hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. setiap masa bisa menjadi saat ang menyenangkan ya Utari

      Delete
  5. Saya menjadikan rumah saya ramah anak, ada coretan dan mainan berserakan. Tapi ketika ia sudah tidur, saya rapikan lagi mainannya. Kalau belum tidur, belum dirapikan mak:)

    ReplyDelete
    Replies
    1. hihi entar kalau anak sudah agak gedean bisa bantuin emaknya beresin ya...

      Delete
  6. selalu seneng mbaca tulisan Mak Ida :D
    dan di rumah kami, banyak sekali jejak cintanya hehe

    ReplyDelete
  7. Super makjlebb mbak.. :')
    Saya termasuk yg membiarkan rumah berantakan.. karena masa2 ini tak kan selamanya.Saya sadar se-sadar2nya bahwa suatu saat nanti saya akan merindukan mainan yg berserakan ,remah roti dimana-
    mana,dan semua tingkah polah anak2.
    Tapi ada kalanya stress jg lihat rmh ngg pernah rapi,hehe..
    Nice article mb , tfs dan salam kenal ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. salam kenal...senang dikunjungi dan memang mak jlebb hihi

      Delete
  8. aaah jadi keingetan rumahku yang rapi hanya saat anakku tidur.... tapi senang, itu pertanda ada orang yang aku sayangi di rumahku... :))

    ReplyDelete
  9. kalau saya biasanya boleh main dalam satu ruangan, tapi kalau mau ganti permainan syaratnya harus dirapikan terlebih dahulu. Sebelum tidru saya suruh mereka merapikan juga :)

    ReplyDelete
  10. kl saya mah kemproh mak...yo ben lah dibilang gitu. rumah tuh br bs diberesin habis anak2 mandi sore sekitar jam 16 gitu deh. sblum itu ya jgn tanya. jd kl suami pulang sblm maghrib n lihat rumah belum rapi, ya maaf, salah sendiri pulangnya kecepetan...hehehe

    ReplyDelete