Saturday, May 10, 2014

Novel Sejarah Sang Patriot


 : Menikmati Roman dalam Epos Kepahlawanan Based on True Story


Dokpri

Sebagai penggemar sejarah, mendapat hadiah novel Sang Patriot dari penulisnya, Mbak Irma Devita yang cantik dan cerdas, adalah anugrah. Dalam 2 hari perjalanan saya ke Jambi, saya lalap novel ini sepanjang berkendara menuju Bandara, menanti pesawat dan duduk dalam penerbangan.

Saya biarkan beberapa orang menatap heran saat saya berurai air mata hingga terisak-isak sejak halaman pertama. Saya tidak peduli dan larut dalam penuturan cucu sang Patriot, Irma Devita.

Saya yakin, cerita yang sanggup melibatkan emosi pembaca, adalah kisah yang ditulis dengan segenap jiwa dan cinta. Dan itu tertuang sejak lembar pertama saat Irma kecil, 8 tahun, menatap takjub pada penuturan sang nenek Rukmini yang dikaguminya.

Cerita almarhum sang nenek yang telah meninggal pada usia 79 tahun, ini menyebabkan Irma membuat janji masa kecil yang kemudian ia tunaikan dalam sebuah epos kepahlawanan.

“ ...Mbah, Irma janji, suatu saat kelak Irma akan menuliskan cerita tentang mbah Kakung...”

Ilustrasi pinjam dari sini.



Dan inilah janji Irma yang ditulis dengan kerja keras lebih dari setahun, novel epos pertamanya:

Judul   Buku  : Sang Patriot Sebuah Epos Kepahlawanan
Penulis          : Irma Devita
Penerbit        : Inti Dinamika Publisher
Terbit            : Februari 2014
Tebal            : 266 Halaman
Harga            : Rp.52.000
ISBN             : 978-602-14969-0-9

Credit

Buku Sang patriot ditulis dengan alur maju mundur, yang makin membuat penasaran pembacanya. Penulis menuturkan dalam 25 episode. Prolog yang dramatik telah berhasil mengikat pembaca untuk terus melalap bagian demi bagian.

Cerita berawal dari legenda Calon Arang dan kampung Gurah yang nantinya menjadi tempat masa kecil Sroedji bersama keenam saudaranya. Sejak kecil, semesta seakan mendukung Sroedji untuk lebih “terlihat” dibanding saudaranya yang lain.Terlahir tampan dengan kecerdasan, cinta belajar dan karisma kepribadiannya, menjadikan jalan pendidikan yang seakan mustahil pada masa itu, menjadi rejekinya.

Pernikahannya dengan Rukmini adalah bagian dari taqdir Sroedji, yang menjadi Mantri Malaria di Rumah Sakit Umum Kreongan. Rukmini perempuan pintar yang sangat ingin menjadi ahli hukum ini, telah menjadi pendamping setia yang selalu menyokong langkah Sroedji. Termasuk saat Sroedji ingin mengikuti rekrutmen sebagai tentara PETA.

“Kau punya mimpi jadi tentara agar dapat membaktikan tenagamu kepada rakyat banyak. Mungkin inilah saat yang tepat untuk mewujudkannya....” (hal.47).

Menjadi ‘kadet’ Peta adalah gerbang untuk Sroedji memasuki perjuangan yang seakan tak berkesudahan. Membentuk BKR di Besuki, terlibat dalam pertempuran Surabaya, menahan Agresi Militer I hingga Wingate Action.

Agresi militer I Credit
Kiprah Brigade Damar Wulan telah menjadikan Belanda kalang kabut dan gelap mata, hingga membuat berbagai makar untuk menghabisi komandannya, Letkol Sroedji. Istri mana yang tak remuk hati jika mengetahui kepala suaminya dihargai 1000 gulden, hidup atau mati. Namun tidak dengan Rukmini, ia justru gusar, marah saat membaca selebaran suaminya sebagai buron.

“Selebaran ini bukti keberhasilanmu memimpin gerilya. Belanda kewalahan”
Rukmini juga terharu mengetahui suaminya masih hidup (hal. 177).

Irma Devita sebagai cucu perempuan, seakan masuk dalam jiwa Rukmini dalam menuturkan sudut pandang seorang istri. Rasa cinta, kekaguman, rindu dan kegelisahan teramu dengan manis. Seperti saat harus berjalan kaki dalam keadaan hamil tua dari Jember-Madiun-Kediri.

Dokpri, halaman 125.

Perjalanan berat penuh teror rasa takut dalam minimnya perbekalan berbilang bulan, digambarkan sempat mengguncang semangat Rukmini. Akhirnya dengan bujukan Rustamaji, sang adik, Rukmini berhasil bangkit dari kelelahannya yang sangat saat mengingat anak-anaknya Cuk, Pom dan Tuti.

Bagaimana Sroedji menyusun strategi dalam situasi yang sulit, barikade Belanda, kekurangan persenjataan dan perbekalan makanan. Siapa tokoh antagonis, siapa sahabat sejatinya, hingga bagaimana beliau menemui syahidnya...selengkapnya anda cari jawaban dalam novel Sang Patriot.

Melihat foto jenazah Alm. Letkol Sroedji, membuatku merinding teringat janji Allah, bahwa tubuh para syuhada tetap terjaga. Betapa tidak, mendapatkan gambaran bahwa sejak kematiannya, Letkol Sroedji telah diseret sepanjang puluhan kilometer dan mendapat banyak luka tusukan bayonet. Lalu diabaikan di terik matahari selama 2 hari. Bahkan tulang kepalanya retak serta jarinya tak utuh lagi...namun dalam foto, jenazah itu walau terlihat bengkak, nampak cukup ‘bersih’kulitnya.

Dokpri

Irma menyempurnakan haru biru pembaca dengan dua puisi. Karyanya yang berjudul: Sajak Sang Pejuang dan karya bundanya yang berjudul Bapak.

Saya nukilkan bagian akhir puisi bundanya (hal. 165):

Bapak

.....
Hanya dari mulut ibu, kami mengenal sosokmu yang gagah, sabar dan penyayang
Menurut ibu,
Engkaulan suami pilihan surga baginya,
Itulah mengapa,
Ibu memutuskan untuk tidak menukar cintanya kepadamu
Dengan cinta yang baru,
Hingga akhir hidupnya

Sekarang aku sudah mulai menua, bapak...
Sudah mulai kufahami arti kehidupan yang engkau wariskan kepadaku
Teladan yang sama akan kuwariskan pula pada anak cucuku,
Tentang kasih pengabdian tanpa syarat
Dan kecintaan yang besar terhadap bangsa dan keluarga.

***

Apakah menjadi cucu pejuang itu suatu keberuntungan?

Tidak jika gagal mewarisi semangat kepahlawanannya. Namun Irma Devita adalah satu yang beruntung, terbukti dengan semangat juangnya untuk menguak sejarah sang kakek dan menuliskan ulang sekalipun dengan bersusah payah dalam mengumpulkan bahan: Membaca 25 buku sejarah, wawancara panjang, dan mengejar arsip hingga ke data intelejen dan arsip militer Belanda.

Sungguh, Indonesia butuh lebih banyak lagi Irma-Irma lain, generasi muda yang mewarisi semangat cinta bangsa, untuk lebih banyak lagi menggali sejarah para pahlawan yang belum terangkat. Agar sejarah besar bangsa ini dapat ditulis ulang dengan utuh dan lebih adil.

O ya, semoga para pembuat kurikulum melirik novel ini untuk menjadi bacaan wajib para pelajar dalam membangun karakter kepahlawanan dan lebih menghargai kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan keringat, darah dan airmata para pejuang.

Selamat menikmati!

***

Catatan akhir:

Saking terpikatnya dengan novel epos ini, saya membacanya dua kali dengan melalap hingga titik komanya. Naah berikut catatan saya:

Sedikit kekurangan editing ada di halaman 71, baris kedua alinea terakhir yang kehilangan spasi.
Hal 73, baris pertama alinea terakhir juga kehilangan spasi.

Dua kata yang mengganggu bagi saya ada di halaman 170 baris ke 6 (...Mati sia-sia...) dan baris ke 24 (...mati konyol...), menurut saya perlu lebih dihaluskan karena kurang sesuai dengan paduan kisah secara umum. Semestinya tak ada yang mati sia-sia atau konyol dalam perjuangan...sekalipun kematian tersebut karena kecerobohan atau salah strategi.



16 comments:

  1. Itu dapat tandatangan sang penulis kah? Keren :)

    ReplyDelete
  2. Review nya menarik Mak Ida... semoga menang

    ReplyDelete
    Replies
    1. hihi amin makasih mak. pakai acara mencari wangsit ...saking melihat tulisan lain juga keren

      Delete
  3. Memang mengharukan ya Mak novel ini, penuh dg semangat nasionalisme.
    Btw, yg halaman 170 itu mungkin dimaksudkan untuk menggambarkan kejadian saat itu dimana para prajuritnya ngeyel sdh dibilangin tapi keukeuh aja dan pas kejadian pada lupa semua latihan yg sdh diajarkan.. yah saya maklum sih dg situasi saat itu apalagi kondisi prajurit saat itu.. :)
    Semoga bacaan ini bisa masuk ke sekolah2 ya Mak dan semoga sejarah bangsa ini semakin banyak yg menelitinya kembali lalu menulisnya dengan sebenar-benarnya.. amiiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. amiin...butuh kesungguhan dan kerja keras untuk menulis ulang sejarah negeri ini.

      Delete
  4. Ulasan yang tajam dan mengena
    Semoga berjaya dalam lomba
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih kunjunganya pakdhe. Pesannya selalu menyejukkan.

      Delete
  5. Ah mbak Ida memuji review saya, padahal review mbak Ida lebih keren lagi. Jadi pengen baca novelnya lagi, padahal udah berkali-kali saya baca hihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul tulisan mak winny sampai saya copas untuk contoh besok lagi kalau bikin review suer mak...

      Delete
  6. Baca novel ini serasa belajar sejarah tapi dengan cara yang asyik ya Mbak. Saya juga menikmatinya saat baca hingga tuntas. Tak mudah bagi penulis yang seorang praktisi hukum.
    Review-nya juga kece, sampai titik koma diulas dan dibaca berulang. Semoga semangat Sroedji bisa kita tiru di bidang yang kita geluti ya Mbak. Sukses selalu untuk Anda!

    ReplyDelete
  7. umi..reviewnya keren buangt sih miii...
    keren ya mi mbak irma..aku kagum loh....
    aku sempet mewek pas baca bagian2 akhirnya...

    sukses ya umi buat GA nyaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku mewek sejak halaman pertama...iya mbak Irma super kereen

      Delete
  8. Bu, terima kasih atas partisipasinya :)

    ReplyDelete