Monday, December 1, 2014

Perempuan yang Berjuang dalam Badai



(Ini adalah kisah Ibu sahabatku, seorang ibu yang merawat tiga penderita kanker dan memiliki anak-anak yang bermasalah hukum)

“Biarlah kuurus anakmu yang sakit-sakitan ini...” kata perempuan muda itu pada adiknya.
Ya ia bukanlah perempuan yang kaya raya, tetapi hatinya seluas samudra. Melihat adiknya yang kesulitan ekonomi di pelosok Gunung Kidul itu, ia menawarkan diri mengambil anak angkat, salah satu kemenakannya.

Kemenakan perempuan berusia tujuh tahun itu badannya ringkih. Sejak kecil sakit-sakitan. Tubuhnya kurus dan pucat menagih iba pada setiap yang memandangnya. Bude yang akan mengambilnya telah memiliki 2 anak lelaki, jadi ia mengambil kemenakan perempuan, sebut saja Lastri.

Demikianlah kesehatan Lastri membaik dalam perawatan budenya yang punya usaha katering kecil-kecilan. Dengan itu makanan dan gizi Lastri tercukupi. Tak seperti kala bersama emboknya di gunung, lebih sering makan nasi tiwul lauk oseng pepaya atau sayur rebung tanpa gizi memadai. Mereka hanya bisa makan hasil kebun karena tak punya cukup uang uang berbelanja.
 
Badai kelud ini tak seberat badai kehidupan ibu Amini

Kakak angkatnya yang juga sepupunya tidaklah bisa dikatakan baik. Mereka cenderung nakal dan suka merepotkan ibu angkatnya. Namun setidaknya mereka tak pernah mengganggunya.

Setelah mengambil Lastri, Amini memiliki satu anak lagi, laki-laki.

Dalam keadaan fisik yang lemah, budenya tetap menyekolahkan Lastri, hingga lulus SMA. Lastri lalu menikah dengan pemuda pilihannya. Di kemudian hari ia menyadari bahwa ia telah salah pilih.

Pernikahannya tidak bahagia. Suaminya meninggalkannya saat tahu Lastri menderita anemia yang berat pada masa kehamilan pertamanya. Ternyata ia menderita kanker darah. Tentu karena ia sedang hamil, maka ia tak bisa berobat. Setelah melahirkan bayinya, Lastri makin terpuruk.

Budenya tetap telaten mengurusnya, akhirnya Lastri meninggal hanya beberapa bulan setelah melahirkan bayi kecil. Cerita Lastri memang telah berakhir, namun kisah hidup budenya yang sebut saja namanya Amini, terus berlanjut.

Sekarang ia punya momongan bayi kecil sebatang kara, cucu dari anak angkatnya. Namun ia mengajarkan si kecil ini untuk memanggilnya ibu. Setiap kali menatap si bayi, Amini akan berurai air mata mengenang penderitaan hidup ibu bayi itu. Juga menerawang masa depan si bayi yang diberi nama Dewi.

Dewi tumbuh sehat  dan pesat. Itulah matahari dalam keluarga ibu Amini. Tiga anak lelakinya bak berandalan. Mereka menjadi nakal dan susah diatur karena pengaruh salah pergaulan.

Setiap kali sedih dengan anak lelakinya,  ibu Amini menghibur diri dengan kelucuan Dewi. Adapun ayah Dewi, entah dimana dan entah bagaimana kabarnya.

Kegembiraan tak selamanya hadir. Datang berita bak petir di siang bolong. Suami Amini terdeteksi menderita kanker paru. Ya ia memang perokok berat yang tak mau insyaf. Telah lama batuk-batuk namun tak jua mau berobat. Setelah sesak tak tertanggungkan dan batuk darah, barulah ia mau periksa. namun

Sekarang Amini merawat suaminya. Selama lima tahun ia banting tulang, menghidupi keluarga dan membiayai pengobatan suaminya. Usaha kateringnya hampir bangkrut lantaran kurang terurus.

Sekian waktu dalam penderitaan yang sangat, suaminya akhirnya berpulang. Air mata Amini tumpah merelakan tubuh kurus belahan hatinya memasuki liang lahat. Amini kembali tenggelam dalam lembah duka yang dalam.

Dewi adalah penghiburnya lantaran pada masa SD itu Dewi sering menjadi bintang kelas dengan kecerdasannya. Kasih sayang Amini tercurah untuk Dewi yang belum begitu faham asal-usul dirinya.

Adapun tiga anak lelakinya. Sungguh adalah ujian yang lainnya.
Musibah datang silih berganti. Anak pertamanya kena narkoba, hingga harus direlakannya masuk ke panti rehabilitasi narkoba setelah tertangkap polisi. Anak keduanya masuk penjara karena ikutan gengnya mencuri di sebuah toko.

Bayangkan seorang janda paroh baya. harus mengikuti sidang-sidang dan menengok putranya di penjara. Membantu putranya yang melepaskan diri dari jerat narkoba. Dan membiayai seorang cucu angkat yang sebatangkara.

Dunia seakan kiamat pada tahun itu. Amini terhempas dalam jurang yang dalam. Dalam proses hukum itu ia berkenalan dengan seorang polisi duda yang jatuh kasihan padanya. Singkat cerita si polisi banyak membantunya dan akhirnya Amini sepakat untuk menikah. Sesungguhnya ia teramat lelah menjalani hidup sendirian dalam kubangan masalah yang begitu berat.

Bayangkan, kemarin-kemarin seringkali pada malam hari ia harus berkeliaran mencari putranya yang tak kunjung pulang. Kadang ia harus memapah si sulung yang mabuk berat untuk bisa sampai ke rumah pada dini hari. Amini berharap, seorang lelaki pendamping hidup akan menguatkannya. Sekalipun usianya sudah hampir 50 tahun.

Namun siapa yang tahu tentang masa depan?
Tak lama, hanya beberapa bulan setelah menikah, ternyata sang suami jatuh sakit. Makin lama makin berat. Vonis itu datang. Suaminya, polisi yang gagah perkasa itu  mengidap kanker usus besar.

Mula-mula hanya sering berdarah saat buang air besar. Dikira ambeian biasa. Dalam pemeriksaan yang intensif karena kondisi fisiknya menurun drastis, datanglah kepastian itu.

Dunia kembali gelap bagi Amini. Anak pertamanya belum lagi keluar dari panti rehabilitasi. Anak kedua masih dipenjara. Dan kini untuk ketiga kalinya. Ia harus merawat penderita kanker.

Amini memang terlahir sebagai perempuan kuat. Ia dengan penuh ketabahan menjalani semua. Bersama Dewi yang beranjak remaja, mereka bahu membahu mengurus pasien dan menjalankan usaha kateringnya.
Dalam keadaan ekonomi yang berat, mereka terus tegak melawan badai rumah tangga.

Merawat penderita kanker usus besar itu lebih berat lagi. Suaminya tidak bisa buang air dan harus dibuatkan lubang pembuangan. Setiap kali harus dirawat dari infeksi sekunder dan baunya luar biasa.

Allah Maha Besar. Keadaan sulit ini yang membuka hati anak pertama dan kedua. Hidayah telah datang.

Melihat tubuh ibunya yang makin kurus dan terus bekerja lembur untuk menghidupi keluarga, dua anak lelaki ini menjadi sadar. Saat mereka keluar dari tempatnya masing-masing, mereka seolah terlahir sebagai jiwa yang baru. Mereka bekerja keras membantu sang ibu mencari biaya hidup dan pengobatan.

Tuhan berkehendak lain, setelah semua daya upaya, sang suami itu akhirnya meninggal.
Amini kembali berkubang duka. Namun ia tak bisa lama-lama meratapi nasibnya. Kenyataan hidup harus dihadapinya. Kini dua anaknya telah bangkit sedikit demi sedikit bisa membantunya membiayai kuliah Dewi.

Apakah derita Amini telah berakhir? Ternyata tidak juga.
Kabar buruk datang lagi. Penyakit gula darah kini menjadi jodoh baru melalui masa tuanya. Sudah agak terlambat mengetahuinya. Amini terpaksa berhenti bekerja. Ia harus menjalani diet ketat untuk menjaga kesehatannya.

Saya bertemu Ibu Amini, sebagai pasien gula ia nampak tegar, sehat dan ramah. Sekalipun gurat-gurat derita telah terprasasti pada wajahnya. Namun ia tak mengeluhkannya. Termasuk saat ia tak dapat lagi merasakan sakit karena pengaruh penyakit gulanya.

Mozaik kisah hidupnya telah menguras air mataku.
Setiap kali saya tercenung dan bertanya-tanya...adakah perempuan yang sekuat Amini?



Catatan: Saya pernah minta ijin untuk membuat novel kehidupan ibu sahabatku ini. Karena belum kesampaian, kutulis saja dalam kisah pendek ini.





25 comments:

  1. Berat perjalanan Ibu Amini ya Mak Ida. Namun sungguh beliau orang yang sangat kuat dan tegar. Berkali-kali kehilangan namun berkali-kali mampu menjalani jalan hidupnya. Semoga bu Amini bisa mengatasi penyakitnya.

    ReplyDelete
  2. waduh sedihnya cerita kehidupan ibu amini ya mbak ida, tapi memang sungguh luar biasa kuat dan tetap tegar beliau.

    ReplyDelete
    Replies
    1. bener perjalanan hidupnya membuat kita tak layak mengeluh

      Delete
  3. wah alhamdulillah gak sabar nunggu baca lewat buku ^-^

    ReplyDelete
  4. Ya Allah, ujiannya banyak sekali...ujianku ternyata belum seberapa :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mak. hidup ini menjadi berat pada sebagian orang

      Delete
  5. Masya Allah Mak ... mewek saya membacanya. Perempuan sekuat bu Amini ujiannya dahsyat sekali ya. Semoga surga balasannya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amiin mak mugniar. kapan-kapan saya ceritakan kebaikan bu amini yang lainnya lagi. ia masih punya segudang kebaikan

      Delete
  6. Subhanallah... Semoga Ibu Amini selalu dilimpahi kasih sayang teramat banyak dari Allah... amiiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. amiin...alhamdulillah walaupun masa tuanya tetap berat namun secara ekonomu sudah ditopang anaknya.

      Delete
  7. Sungguh mengharukan , dijaman seperti ini masih ada yg kayak gitu.

    ReplyDelete
  8. Perempuan langka, luar biasa ketabahannya.

    ReplyDelete
  9. Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
    Segera didaftar
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
  10. Saya kirim email ya padhe. japri monggo direspon

    ReplyDelete
  11. Kenak banget di hati,,,,bagus cerpennya Mbak,,,

    ReplyDelete
  12. Benar-benar ketangguhan seorang ibu luar biasa! Seringkali seorang lelaki dituntut untuk kuat, tetapi dengan kesabaran perempuan lebih kuat daripada lelaki yang konon katanya diwajibkan kuat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih pak taufiq...seninya harus kuat dalam kelembutan

      Delete
  13. Sedihnya mak Ida.....Selamat Hari Ibu dan selamat tulisannya telah menang kontes.

    ReplyDelete
  14. Wah, artikelnya menang kontesnya Pakde, Selamat yah sudah terpilih menjadi pemenang

    ReplyDelete