Tuesday, September 8, 2015

Gondongen

Bangun tidur, Revo tidak segera bangkit. Ia masih saja berbaring sambil memegangi pipinya.
"Umi, aku keram?"
"Kram?" Spontan saya memijit betisnya. Revo memang pernah kram kaki.
"Bukan kaki, tapi di sini" ia menunjuk pipinya.
Waah...

Beberapa hari yang lalu, di grup ortu siswa, ramai pembicaraan tentang gondong, karena ada satu siswa yang kena. Jadi...kini giliran Revo.

Itu Jumat pagi. 

Sebenarnya rumus untuk inveksi virus itu jelas, tingkatkan imunitas, kendalikan panasnya, banyak istirahat dan gizi yang memadai. Sekalipun demikian, karyawan, supir, tetangga memiliki saran kearifan lokal.

"Dikalungi pace bu!"
Pace alias buah noni, diikat tali dan dijadikan kalung. 


"Diolesi blawu, bu!"
Blawu itu pewarna biru untuk menjadikan pakaian putih, nampak lebih biru...haha.

Yaah...terserahlah. Saya agak sulit menerima kearifan lokal tersebut.

Alhamdulillah, makan, minum semuanya mudah kecuali satu hal saja: istirahat.
Revo sudah lama menantikan saat menjenguk abangnya. Ya Sabtu-Ahad itu.

Jogja-Semarang tidak dekat. Macet wiken bisa memakan waktu tempuh 4 jam. Apakah ia akan kuat. 


"Aku kuat!"
Waah semangat '45.

Jadilah kami berombongan berangkat ke Semarang pada Sabtu pagi jam 08.00. Saya sendiri sedang flu berat plus sesak nafas dan tensi menjulang. #penyakit tua.

Alhamdulillah ada dua kakak yang ikut, jadi bisa gantian mengurus Revo selama perjalanan.

Panas tinggi dan bengkak besar di kelenjar parotis.
"Umi, aku seperti kodok!" Keluhnya.
Memang wajahnya jadi gendut lucu. Sekalipun makin ganteng, tapi ya enggak maulah, sakit sih!

Ahad malam panas makin tinggi. Bangun tidur, ia memegangi lehernya.
"Umi, kodoknya makin besar..."
Kuelus dia dengan prihatin. Pagi itu, kita semua mengaji, mendoakan kesembuhan untuk Revo.
Sekalipun menginap di hotel dengan fasilitas kolam renang yang aduhai, semua terpaksa gigit jari karena saya larang berenang.

"Kasihan Revo kalau kalian berenang" kata saya.
"Kenapa aku enggak boleh berenang?" Tanya Revo.
"Pertama, kamu sedang demam tinggi. Kedua, nanti orang se-kolam renang jadi kodok juga..."
Revo tertawa dengan cara saya memberi alasan.

Tak urung kami harus membawanya jalan-jalan seputar kota. Revo tak mau tinggal di kamar hanya dengan saya. Ia ingin selalu bersama abangnya.

Setidaknya, ia gembira menikmati kebersamaan yang langka.

Sekarang sudah Selasa, panasnya sudah sangat berkurang. Tapi bengkaknya masih ada. Masih sakit untuk mengunyah makanan.

Oya, hal yang semestinya tidak dilakukan adalah banyak omong, banyak tertawa, berteriak, menangis keras atau makan yang keras. Karena akan terasa makin menyakitkan. Namun tentu berat untuk menghindari itu dalam acara liburan keluarga. Masak sih, enggak boleh melucu.

Begitulah kisah gondongen Revo. Hari ini 2 temannya juga terkena. Adapun Revo, biarlah agak lama liburan di rumah. Khawatir membawa wabah jika segera bersekolah.

Akibatnya....akibatnya adalah, uminya pusing tujuh keliling mencarikan kesibukan untuk Revo yang bete.

Btw, hati-hati  terhadap penderita gondongen, karena mudah menular. Semoga yang membaca ini jauh dari semua penyakit, amiin.

Mohon doa juga ya...untuk kesembuhan Revo.

8 comments:

  1. semoga cepat sembuuuh yaaa mba...kebayang pasti tidak nyaman sekali itu..

    ReplyDelete
  2. cepet sembuh ya Revo, Alvin juga pernah mbak itu menular dari temanya

    ReplyDelete
  3. cepat sembuh ya Revo..biar bisa menikmati makanan dgn puas :)

    ReplyDelete
  4. banyak yang mengira gondongen ini sama dengan gondok, padahal beda
    semoga cepat sembuh buat Revo

    ReplyDelete
  5. saya pernah mengalaminya waktu SMP. teman-teman keheranan karena saya mendadak jadi gemuk, hehe.. penyebabnya karena virus katanya, dan saya tertular teman sebangku saya.

    ReplyDelete
  6. kasian banget klo terjadi sama anak-anak.. semoga cepet sembuh buat revo,

    ReplyDelete