Saturday, November 7, 2015

Sholat Istisqo

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Tausiyah Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)
Beberapa bulan ini, beberapa daerah sedang mengalami musim kemarau panjang.Banyakdaerah yang kekeringan,susah mencari air bersih, bahkan terjadi kebakaran hutan.
Ada beberapa upaya mengatasi kekurangan air tersebut, seperti dengan menggali/mengebor tanah lebih dalam lagi hingga ratusan meter, menyediakan tangka air keliling, hingga mengadakan hujan buatan.
Namun sesungguhnya, ada satu lagi upaya yang tidak hanya mengandalkan kekuatan tenaga dan pikir semata.Tetapi upaya ibadah, memohon kepada Allah Sang Maha Kuasa, Yang Maha Segalanya, Yang menciptakan musim kemarau dan yang mengirimkan hujan, yakni mengadakan shalat istisqa, shalat minta hujan.
Pengertian Istisqa
Istisqa secara bahasa artinya meminta air minum dari orang lain untuk diri sendiri atau untuk orang lain.
Di dalam Kitab Fathul Bari Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan, shalat istisqa adalah shalat meminta hujan kepada Allah, ketika terjadi kekeringan, dengan aturan dan tata cara tertentu.
Shalat Istisqa (entitashukum)

Waktu dan Tempat Shalat Istisqa
Pada kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyasarah dinyatakan bahwa shalat istisqa dilakukan pada waktu kapanpun, selain waktu yang terlarang untuk shalat.
Adapun tempatnya dilakukan di tanah lapang, sebagaimana shalat id, kecuali di Mekah, dilakukan di Masjidil Haram.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abdullah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu  disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam keluar menuju tanah lapang kemudian shalat istisqa, beliau menghadap kiblat dan membalik kain pakaian atasan beliau.
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘Anhu menambahkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika keluar untuk melaksanakan shalat istisqa, beliau berjalan dengan tunduk, tawadhu, khusyu, dan penuh perendahan diri kepada Allah.
Ini berbeda ketika keluar untuk shalat Idul Fitri dan Idul Adha dalam keadaan bersuka cita.
Hukum Shalat Istisqa
Shalat istisqa hukumnya sunnah muakkadah (Sunnah yang sangat dianjurkan, seperti shalat id), ketika terjadi musim kering/kemarau panjang.
Ibnu ‘Abdil Barr menyimpulkan bahwa para ulama telah bersepakat bahwa keluar beramai-ramai untuk shalat istisqa  dengan doa dan memohon kepada Allah untuk menurunkan hujan ketika musim kemaran hukumnya adalah sunnah, yang telah disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam.
Tata Cara Shalat Istisqa
Pelaksanaan shalat istisqa hampir sama dengan pelaksanaan shalat id, tidak diawali dengan adzan maupun iqamah. Hanya diumumkan saja kepada umat bahwa akan dilaksanakan shalat istisqa jam berapa dan di tempat mana.
Ulama ahli fiqih menganjurkan, agar tiga hari sebelum  shalat istisqa dilaksanakan, terlebih dahulu seorang pemimpin atau ulama setempat menyerukan kepada masyarakat agar melaksnakan puasa (shaum) sunah dan bertaubat meninggalkan segala bentuk kemaksiatan serta kembali beribadah, menghentikan perbuatan yang zalim dan mengusahakan perdamaian.
Kaum Muslimin dan muslimat yang melaksanakan shalat istisqa, sebaiknya memakai pakaian yang sederhana, tidak berhias dan tidak pula memakai wewangian.
Hal ini seperti disebutkan di dalam hadits :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَاضِعاً مُتَبَذِّلاً مُتَخَشِّعاً مُتَرَّسِلاً مُتَضَرِّعاً فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلِّيْ فِى الْعِيْدِ
Artinya: Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam keluar dengan penuh tawadhu’, berpakaian sederhana, penuh kekhusyuan, tidak tergesa-gesa, lalu memohon dengan penuh kesungguhan, kemudian beliau melakukan shalat dua rakaat seperti Shalat pada hari raya.” (H.R. Imam Ibnu Majah).
Setelah semua berkumpul di tanah lapang, imam shalat yang sekaligus khatib berdiri di depan makmum, kemudian shalat dua rakaat. Setelah itu dilanjutkan dengan khutbah.
Pada rakaat pertama setelah takbiratul ihram (takbir pertama), dilanjutkan bertakbir 7 (tujuh) kali dan pada rakaat kedua setelah bangkit dari sujud, bertakbir 5 (lima) kali.
Setelah takbir ketujuh, kemudian membaca doa iftitah, surat al-fatihah, dan surat. Tidak ada surat tertentu yang dianjurkan untuk dibaca, sehingga bisa membaca surat apapun.
Ruku’, i’tidal, sujud, dan seterusnya sampai berdiri pada rakaat kedua, sama dengan shalat seperti biasanya. Begitu juga pada rakaat kedua, setelah takbir 5 (lima) kali, membaca al-fatihah, surat, begitu setersunya sampai salam. Setelah itu imam shalat melaksanakan khutbah.
Namun sebagian ulama ahli fiqih juga berpedapat bahwa tata cara shalat istisqa adalah sebagaimana shalat sunnah biasa, yaitu sebanyak dua rakaat tanpa ada tambahan takbir dan lainnya sebagaimana pada shalat id.
Hal ini didasari hadits dari Abdullah bin Zaid, yang menyebutkan bahwa “Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam keluar menuju lapangan. Beliau meminta hujan kepada Allah dengan menghadap kiblat, kemudian membalikan posisi selendangnya, lalu shalat dua rakaat. (pada hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
Ini juga menunjukkan beliau khutbah dan berdoa terlebih dahulu, baru kemudian shalat istisqa.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi setelah menjelaskan dua tata cara ini mengatakan bahwa mengerjakan yang mana saja dari dua cara tersebut adalah boleh dan baik.
Mendengarkan khutbah shalat istisqa (abuazmashare2014)
Khutbah Istisqa
Khutbah shalat istisqa sendiri memiliki beberapa ciri atau ketentuan tersendiri antara lain: Khatib disunahkan memakai selendang/sorban.
Pada khutbah pertama hendaknya membaca  istighfar 9 (sembilan0)  kali sedangkan pada khutbah kedua 7 (tujuh) kali. Isi khutbah berupa anjuran untuk memperbanyak beristighfar dan merendahkan diri kepada Allah, serta berkeyakinan bahwa permintaannya akan dikabulkan oleh-Nya.
Pada khutbah kedua khatib berpaling, dari yang sebelumnya menghadap jamaah, kemudian berpaling menghadap ke arah kiblat (membelakangi makmum) dan berdoa bersama-sama, dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi. Di samping itu, khatib mengubah posisi sorban yang diletakkan pada bahu/pundak, yaitu dengan meletakkan posisi yang di atas dibalik ke bawah, serta yang kanan dibalik ke kiri dan sebaliknya. Hal tersebut sebegai tanda pengharapan kepada Allah agar mengubah kondisi kemarau menjadi penuh hujan rahmat dan manfaat.
Seperti disebutkan di dalam hadits:
    عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْماً يَسْتَسْقِيْ، فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلاَ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ، ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللهَ، وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ رَافِعاً يَدَيْهِ، ثُمَّ قَلَّبَ رِدَاءَهُ: فَجَعَلَ اْلأَيْمَنَ عَلَى اْلأَيْسَرِ وَاْلأَيْسَرِ عَلَى اْلأَيْمَنِ
Artinya: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam keluar pada hari beliau meminta hujan (istisqa), kemudian beliau shalat bersama kami tanpa adzan dan tanpa iqamah. Beliau berkhutbah dan berdoa kepada Allah dan menghadapkan wajahnya ke kiblat serta mengangkat kedua tangannya, kemudian beliau membalikkan sorbannya yaitu dengan meletakkan yang kanan di kiri dan yang kiri di kanan.” (HR. Imam Ibnu Majah).
Adapun anjuran untuk memperbanyak istighfar pada hari istisqa, sesuai dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bahwa persyaratan agar Allah menurunkan hujan adalah banyak memohon ampun.
اِسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً * يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَاراً
Artinya: “Mintalah ampun kalian kepada Tuhan kalian, sesungguhnya Dia Maha Pengampun, Dia-lah yang menurunkan hujan dari langit untuk kalian dengan begitu derasnya.” (QS. Nuh : 10-11).
Dianjurkan bagi mereka yang menghadiri pelaksanaan shalat istisqa’ untuk membawa anak-anak kecil, orang tua dan binatang ternak. Sebab  musibah kemaraupanjang tersebut mengenai mereka semua.

1 comment: