Monday, July 23, 2012

Menepis Pengaruh Negatif Media Informasi dan Komunikasi


Oleh : Ida Nur Laila

Pada era globalisasi ini, privacy individu menjadi sesuatu yang langka dan sulit. Bagaimana tidak, informasi, melalui media informasi telah merambah ke seluruh pelosok dunia. Menembus rumah-rumah bahkan ruang-ruang pribadi kita.. Kita tak dapat menutup telinga dan mata begitu saja karena semua itu telah menyatu dalam derap kehidupan modern.
Di jalan, tidak ada yang bebas dari pajangan iklan, kios-kios menjajakan majalah dan koran, dalam bus, kereta api, mobil lagu-lagu dari tape, radio atau televisi tak ketinggalan. Pula di rumah makan, pusat-pusat pelayanan semacam rumah sakit, apotik bahkan kantor-kantor!
Yang lebih merisaukan tentu saja televisi dalam rumah-rumah kita. Mengapa merisaukan ?Televisi sebagai media audio visual merupakan sarana efektif untuk mensosialisasikan ideologi, gaya hidup serta pembuat opini yang unggul.Televisi dikatakan telah menjadi orang tua kedua, atau bahkan menggantikan peran orang tua, bahkan George Gerbner, seorang pakar komunikasi dan peneliti TV AS menyebut TV sebagai “ agama masyarakat industri “.

Sederhana saja contoh tentang kuatnya pengaruh televisi, anak-anak(dan orang tua juga) begitu begitu akrabnya-kadang tergila-gila- dengan tokoh-tokoh yang sering mereka tonton seperti sinchan, doraemon, nobita dsb. Berawal dari rasa senang hingga menjadi mania mendorong seseorang meniru prilaku tokoh pujaannya, disadari atau tidak, sekalipun untuk sesuatu yang menyimpang.
Ini baru televisi, belum lagi jika internet telah menjadi barang yang terjangkau dan dimiliki oleh setiap rumah sebagaimana televisi yang saat ini menjadi media hiburan paling favorit.
Selamatkan Keluarga dan Anak-Anak Kita
Allah memerintahkan untuk menjaga diri dan keluarga kita dari api neraka ( QS. At-Tahrim :6). Peringatan tersebut bukanlah sesuatu yang mudah pada saat ini, kaitannya dengan penjajahan media informasi kepada keluarga kita. Pada sisi pendidikan seksual saja -yang menjadi topik kali ini- televisi, radio dan media cetak telah menjadi  media sosialisasi yang mengerikan. Banyak gambar-gambar porno dipajang di tepi jalan.
Konon ukuran porno kita berbeda. Sebagian berpandangan, dikatakan porno jika menampakkan manusia tanpa selembar benangpun,  adapun selama masih ada sedikit penutup masih diketegorikan semi porno dan legal untuk dicetak atau ditayangkan. Gambar-gambar itu telah menjadi konsumsi sehari-hari bergai usia, sehingga saking biasanya kita menjadi tak jengah lagi akan keberadaannya.
Tidak sedikit iklan-iklan yang mengkonotasikan mesum. Iklan anak-anakpun tak luput dari sosialisasi hubungan khusus laki-laki perempuan. Saya sedih menyaksikan sebuah iklan biskuit anak-anak yang menggambarkan seorang anak perempuan meminta cium sebagai penukar biskuit yang diminta teman kecilnya, laki-laki. Atau iklan keju yang menayangkan ucapan terimakasih seorang anak perempuan dengan ciuman malu-malu atas pertolongan seorang anak laki-laki. Dan masih banyak lagi.
Anak-anak dengan lahap menelan iklan-iklan ketika mereka menghabiskan jam-jamnya di depan televisi.Pesan-pesan tersebut terpatri lekat dalam benak mereka, tak saja untuk memiliki dan membeli suatu produk, tapi juga mengikuti gaya hidup yang ditawarkan.
Meningkatnya perilaku penyimpangan seksual dan kekerasan seksual terutama pada dan oleh anak-anak, sedikit banyak dipengaruhi oleh apa yang mereka tonton. Pengakuan seorang anak muda yang –ma’af- menggagahi ibunya, katanya selepas menonton film yang merangsang tidak mendapatkan pelampiasan lain selain ibunya. Belum lama juga serombongan anak belia memperkosa temannya sendiri dengan alasan yang sama. 

No comments:

Post a Comment