Wednesday, February 26, 2014

PARANGTRITIS SUATU KETIKA

Senja selalu indah di pantai

Parangtritis adalah pantai terkenal di Jogja. Sudah sejak lama menjadi tempat larung, labuhan dan berbagai upacara adat tradisional. Poros Merapi-Kraton-Parangtritis diyakini sebagai garis mistis yang saling terhubung. Wallahu a’lam.
Hey. Saya tak hendak bicara soal itu. Ini yang ringan-ringan saja, sepenggal episode liburan kami di Parangtritis.


Kadang gagalnya suatu acara adalah berkah bagi fihak lain.
Akhir pekan ini, panitia Makassar membatalkan eh tepatnya mengundurkan jadwal training Wonderful Family, itulah berkah bagi kami. Maka hari Sabtu Ahad ini adalah hari keluarga lengkap. Kebetulan si nomer dua juga sedang libur akhir semester. Jadi sempurna deh.

Ahad pagi-pagi kami bertolak ke Parangtritis. Sudah beberapa waktu kami tidak mengunjungi pantai kebanggaan warga Jogja.

Rupanya telah ada beberapa perubahan.
Seolah baru menyadari, di sepanjang jalan menuju lokasi pantai, kulihat losmen dan penginapan berlomba-lomba menawarkan harga yang murah.
“Ada kamar Rp. 25.000,-“
“Kamar Rp.25.000,-. Ada TV bos...”

Waah...
Senang juga hari gini masih ada wisata yang murah meriah fasilitasnya.
Namun sisi lain, ada rasa miris dalam hatiku.
“Dengan harga segitu, mudah sekali bagi para mahasiswa untuk ‘ngamar’...mungkin itulah salah satu bagian dari hal yang mendukung pergaulan bebas...” komentarku pada suamiku yang menyetir di sampingku.
Beliau hanya berguman mengiyakan.

Kira-kira dugaanku itu dibenarkan oleh beberapa yang kusaksikan. Saat aku mengambil satu kamar untuk transit, di sebuah losmen terdekat dengan pantai, yang berada di lantai dua dan memiliki view ke pantai, aku terkejut berpapasan dengan mereka yang keluar masuk losmen. Wajah-wajahnya masih sangat muda. Penampilannya seperti mahasiswa. Aku menepis bayangan buruk yang melintas dalam benakku.
Astaghfirullah.... ya Allah, ampuni aku....

Kamar berukuran 3 x 4 m2 itu memiliki fasilitas minimal. Sebuah tempat tidur ukuran 180 cm x 2 m, sebuah TV ukuran 21 inc., kipas angin, meja rias dan sebuah kursi. Juga ada kamar mandi yang cukup layak. Airnya sungguh jernih. Harga sewa hanya Rp.50,000. Ada balkon yang bersih dan kursi seadanya.

Sementara di lantai bawah, ada kamar-kamar tanpa jendela keluar dan (mungkin) tanpa kamar mandi. Mungkin itulah yang disewakan seharga Rp.25.000 per hari.

Kupikir, apakah mereka mendapat untung ya, menyewakan kamar dengan harga yang sangat murah. Apalagi kami keroyokan, pergi ber 9 orang dan hanya mengambil satu kamar untuk transit, mandi dsb.
 
Namun penginapan itu juga sekaligus rumah makan dengan menu sebagaimana warung-warung sebelah menyebelah. Jadi mendapat juga keuntungan lantaran kita makan dan minum di situ.

Dari balkon lantai dua, pandangan ke laut selatan sedikit terhalang dengan cemara yang mulai merimbun. Satu sisi bagus juga ada penanaman pohon cemara, agar tidak terlalu panas. Tapi view ke pantai jadi berkurang samar-samar di sela dedaunan.

Parang tritis pagi itu cerah, dan kami bergembira bersama ratusan pengunjung lain. Bermain air, bermain pasir, naik ATV, naik andong, naik kuda dan menyaksikan orang lain bermain layang-layang. Bahkan ada paralayang yang melintas di atas kepala. Dan pemandangan yang baru bagiku, sekelompok anak usia SD yang bermain selancar air.

Pasir pun jadi alat bermain
 

Berteduh di bawah payung yang berjajar rapi dan tikar yang disediakan penduduk setempat dengan membayar sewa Rp.25.000 sepuasnya, kami juga membeli aneka jajanan yang dijajakan silih berganti. Pisang rebus, kacang rebus, nasi pecel, arem-arem, bakpao, risoles dan siomay. Tak lupa es klamud. Semua dengan harga yang sangat terjangkau.


Pedagang asongan menghampiri, ada kacamata, aneka kerajinan dari kerang, penjual wayang dan juga tukang tato. 

Seorang gadis belia berwajah manis dengan penampilan yang agak lusuh menadahkan tangan.

Aku melambai agar ia mendekat dekat tempat kami berjongkok. Namun wajah ragu-ragunya menghalangi langkahnya. Akhirnya aku yang mendekat dan bertanya-tanya.

“Namanya siapa? Jenengmu sopo?“ tanyaku berulang-ulang. Ia tidak segera menjawab.

“Mia...” jawabnya lirih.
“Rumahmu mana?”
Ia menyebut suatu tempat yang aku juga tidak tahu dimana letaknya.
“Kamu sekolah? Kelas berapa?”
Ternyata ia mengaku bersekolah di SD di desanya, kelas 5. Aku setengah tidak percaya. Wajahnya menunjukkan usia 14-15 tahun. 
“Mengapa kamu mengemis? Mengapa tidak kerja yang lain, bantu di warung atau bagaimana?”
“Saya ngemis untuk biaya sekolah bu, nanti kalau sudah lulus saya tidak ngemis lagi....”

Ada rona kesedihan, sekilas saja, saat mengatakan itu.
Kutanyakan nama orang tuanya, ia mengaku ikut budenya. Orang tuanya ada di Ambarawa. Aku bertanya beberapa hal lagi yang tidak semua bisa dijawabnya.  Antara ragu dan percaya, aku memilih percaya saja. Ia berlalu setelah membungkuk dan mengucap terimakasih dengan uang yang kuberikan.

Anak-anakku bertanya, mengapa aku mewawancarai pengemis. 
“Kan kasihan mi, kenapa umi tanya-tanya...ia jadi bingung...” begitu komentar mereka.
“Emang Umi kasih berapa kok pakai nanya-nanya...?”
Ketika kujawab nominal yang kuberikan...mereka mengatakan:
“Oo pantas...ia senang sekali...”
“Umi ingin tahu tentang kehidupan orang susah...barangkali ada yang bisa dibantu....”

Kupikir, jangan-jangan ada organisernya sehingga si pengemis belia itu agak menjaga jarak dengan pertanyaanku....wallahu a’lam.

Ini fenomena yang sering terjadi di tempat wisata. Pengemis. 
Kapan ya tempat pariwisata bebas dari para pengemis...?
Namun tentu harus ada penanganan yang utuh untuk mengatasi masalah sosial ini. Menampilkan citra pariwisata yang bersih, indah namun juga membawa kemanfaatan bagi penduduk sekitar, adalah tantangan bagi pemda setempat. Banyak jalan yang bisa ditempuh, tinggal mau atau tidak untuk bekerja lebih keras mewujudkannya.

Lukisan alam

Di Parang tritis pagi itu, aku belajar banyak, namun baru ini yang kuceritakan...
Besok lagi ya, jika ada waktu kutuliskan...

6 comments:

  1. Alhamdulilah saya sudah pernah mengunjunginya, tapi ingin kesana lagi ah hehhe

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya Titis, bagusnya kalau pagi atau sore hari, tidak panas dan tidak ramai.

      Delete
  2. kakak saya dapat suami orang parangtritis dan punya losmen sekaligus tempat makan namanya losmen trisari dewi (lho kok malah promosi hehehe). Kok saya belum pernah denger ya tentang kasus pengemis baik dari keluarga ipar maupun dari orang sana.

    ReplyDelete
    Replies
    1. pengemis tidak banyak, tapi hampir selalu ada mak

      Delete
    2. ternyata mas farid nugroho...sory udah ngantuk semua dipanggil mak

      Delete