Bagian ke 4.
Takut
Inikah ujianku ya Allah? Saya yang seringkali berceramah
tentang pendidikan anak, bahkan hingga ke banyak kota di Indonesia. Saya yang
sering menerima konsultasi dan melakukan pendampingan anak-anak yang
bermasalah...sekarang seperti dipurukkan pada situasi yang sebaliknya. Anakku
sendiri menjadi kasusku!
Tak cukup hanya meratapi dan menyesakkan dada sendiri. Saya
menenangkan diri dan kembali ke kantor. Saya berpesan pada suami agar jika anak
pulang, segera menelepon mengabariku. Tak sabar rasanya bertanya tentang banyak
hal.
Jam 12 suamiku memberi kabar kalau anakku sudah pulang.
Saya bergegas pulang bagai terbang saja menyetir sambil
menata hati dan rencana percakapan. Saya tahu karakter anakku, hatinya sangat
lembut, tentu saya tak ingin melukai dengan berbagai tuduhan. Saya hanya ingin
mendengar cerita dulu versi dia. Itu saja.
Sampai di rumah,
kudapati ia meringkuk tidur di kamarnya di lantai 2 dalam keadaan sesak nafas
yang parah.
Kusentuh kakinya perlahan.
“Mas...”
“Aku sesak Mi...”
“Ya, Umi nebulasi sekarang....” kataku sambil menahan tangis.
Apakah tega aku menuduhnya macam-macam sedangkan ia dalam keadaan yang
demikian. Kusiapkan alat mengasapi dan
ventolin untuk mengurangi sesaknya. Selama nebulasi saya hanya memandanginya
tanpa kata-kata. Biarlah ia menyelesaikan sesak nafasnya dulu.
(Hmm sebentar ya, harus jeda dulu, sekarang saya menangis
lagi saat menuliskan ini.)
Acara nebulasi selesai. Ia berbaring dan diam mematung. Aku
duduk disampingnya setelah memberesi alat.
“ Mas mau cerita apa sama Umi...?”
“Aku takut...”
“Takut sama siapa?”
Ia mulai menangis, aku berhenti untuk menunggu tangisnya
reda.
“Gurumu tadi ke sini, katanya kamu tidak sekolah, bahkan kamu
belum pernah masuk sekolah sejak pulang umrah...’
“Aku takut pergi ke sekolah...’
“Takut sama siapa? Sama guru?” ia menggeleng sambil menyeka
air matanya.
“Sama temanmu?”
Ia mengiyakan lirih.
“Teman sekelas?” ia menggeleng.
“Teman sekelasku baik semua...”
“Kakak kelas?” ia mengangguk.
“Makanya aku minta pindah sekolah, aku takut diancam sama
kakak kelas...” katanya lirih.
“Diancam apa?”
“Aku tak bisa cerita...” ia mulai menangis lagi. Aku khawatir
sesaknya yang barusan reda kambuh lagi. Jadi aku tak melanjutkan.
“Kamu bangun sholat dan makan yuk, nanti Umi akan urus pindah
sekolah. Cuma kata gurumu mungkin kamu tidak naik kelas, jadi di sekolah yang
baru bisa jadi kamu juga tidak naik kelas...”
“Gak papa, aku tidak naik kelas yang penting aku pindah
sekolah, makannya nanti saja, aku mau tidur dulu” ia kembali meringkuk, aku
meninggalkannya setelah memberinya obat dan menyuruhnya sholat sebelum tidur.
Siang itu suamiku langsung menelepon ke sekolah yang dulu
pernah kami kunjungi, membuat janjian untuk bertemu kepala sekolah. Suamiku
berangkat untuk menanyakan apakah anakku bisa langsung pindah dan masuk esok
pagi. Alhamdulillah, diijinkan. Bahkan surat pindahnya boleh telat sehari.
Kebetulan Kepala sekolah dan guru adalah teman-temanku sendiri yang telah
mengenal anakku sejak kecil.
Begitulah hari Selasa anakku berangkat ujian dalam keadaan
sedikit sesak nafas. Aku pergi ke sekolah lamanya untuk mengajukan surat pindah
yang kedua kali. Rasanya tak punya muka layaknya orang tua yang gagal dalam
mendidik anak. Saya diminta datang lagi esok hari karena prosesnya tidak bisa
sehari. Ada berkas dan rapor yang harus diproses. Jadi hari Rabu saya akan
kembali lagi.
Menindaklanjuti laporan guru bahwa anakku pernah merokok dan
kecanduan game, saya menggeledah tas dan lemari buku anakku.
Dan sungguh saya terkejut. Kudapati dalam salah satu tas yang
sering dibawanya ada korek api dan ada cd game. Kubau-baui barang-barangnya
untuk mencari bau rokok, namun saya tidak bisa menemukan. Hingga saat itu semua
masih gelap. Apakah betul anakku merokok? Apakah betul ia membolos untuk main
game?
Sore hari kupanggil anakku ke kamar. Kebetulan rumah sepi
karena semua anak yang lain diajak pergi oleh suamiku. Kami bicara empat mata.
Setelah menanyakan kabar ujiannya hari ini, saya memulai topik yang seharusnya
kami bicarakan.
“Mas, Umi ingin kroscek beberapa laporan gurumu...”
Ia duduk terpekur menanti. Hati-hati saya bicara,
“Pertama, selama ini kalau kamu pamit berangkat sekolah, kamu
pergi kemana?”
Setelah diam sejenak ia menjawab:
“Aku bersembunyi di kos temanku, teman SMP dulu”
“Bukannya temanmu sekolah?”
“Iya, tapi aku sudah biasa masuk kamarnya. Pernah juga aku
masuk warnet, tapi cuma sekali”
“Ngapain di warnet?”
“ Aku mencopy film”
“Bukan main game?”
“Bukan, aku kan pernah janji sama umi, untuk main game hanya
di rumah saja”
Okee.
“Mengapa kamu tidak jujur saja sama Umi?”
“Aku takut Umi marah. Aku merasa tak ada yang bisa
menolongku...” Ia mulai terisak lagi.
Duuh gimana rasanya menghadapi anak
lelaki 16 tahun yang terisak-isak...Apakah aku tega memarahinya?
(Bersambung
ke bagian ke 5)
inget muridku.....hickz
ReplyDeletemak Hanna hiks...
Deleteikutan sedih mbak bacanya :( :'(
ReplyDeleteepisodenya sedih mak
Deletesedih banget mak....
ReplyDeleteyang nulis ulang sambil nangis
Deletespeechless mak :(
ReplyDeletejangan sampai mengalami mak
DeleteMenunggu episode selanjutnya bu....
ReplyDeletebesok lagi ya nangisnya bersambung
Deletejadi ikutan nangis nih, mba.....hiks..
ReplyDeletedoanya mak Santi
Deletesedih mbak bacanya, banyak belajar juga nih aku disini
ReplyDeletemari jaga anak kita mak
Deletebu ida.. deg-degan bacanya dari yang bagian 1.. ikut sedih.. semoga semua baik2 saja ya
ReplyDeletemakasih Ofi....insya Allah sekarang semua terkendali
DeleteMenunggu episode selanjutnya,,,
ReplyDeletesabaar ya
DeleteMaaak.... ikut sedih...
ReplyDeleteSubhanallah.. aku justru banyak melihat keteladanan Mak ida dan pak Cah dlm menghadapi kasus ini.
yuuk saling mendoa mak agar diberi pertolongan allah
Deletemak Ida ...
ReplyDeleteanak lelaki saya juga lembuut hatinya, suka gak tega kalo cerita2 yang tidak mengenakkan, dia juga punya asmatis meski jarang (hampir gak pernah) anfal. Jadi sediih, mak.
semoga allah menjaga anak kita mak, amin
Deleteaku nangis :'(
ReplyDeletehatimu halus mak...moga besok menikah dan punya anak-anak yang kuat amin
Delete