(Bagian ke 3)
Membolos
Sepekan setelah berpindah dokter, anakku nampak membaik...dan
kubujuk ia untuk berangkat sekolah.
Esoknya ia memang berangkat sekolah, namun lagi-lagi ia
pulang selepas dhuhur dalam keadaan kambuh lagi. Saya merasakan beban yang
berat, bahkan nyaris kehilangan akal.
Apalagi yang harus kulakukan agar ia bisa sehat? Dokter terbaik dari RS terbaik sudah menanganinya, mengapa ia tak juga sehat. Pada bulan April kebetulan ada libur Unas, jadi lumayan untuk menambah waktu istirahat.
Apalagi yang harus kulakukan agar ia bisa sehat? Dokter terbaik dari RS terbaik sudah menanganinya, mengapa ia tak juga sehat. Pada bulan April kebetulan ada libur Unas, jadi lumayan untuk menambah waktu istirahat.
Menurut anakku ia telah berusaha menemui Bapak Kasek, namun
gagal karena beliau tidak di tempat. Kami melanjutkan pengobatan sambil terus
mencari-cari penyebab sesak nafas.
Saya membuatkan kamar khusus bebas debu untuknya. Sprei saya
ganti tiap dua hari sekali, Korden juga demikian, tanpa karpet dan
barang-barang lain yang bisa menjadi sumber debu. Kebetulan memang kami sedang
merenovasi dapur, jadi rumah lumayan berdebu.
Kupilihkan kamar di lantai dua yang paling nyaman dan jauh
dari akses debu. Kamar dipel tiap hari dan jendela hanya dibuka di waktu pagi.
Kusiapkan aneka perlengkapan layaknya rumah sakit, seperti obat dan alat
nebulasi yang kupesan khusus. Jadi tidak harus kami lari-lari ke RS jika ia
terkena serangan. Selama ia sakit, sudah beberapa kali kami harus pergi ke RS pada
tengah malam sekalipun saat ia mendapat serangan. Dengat alat nebul saya bisa meng-asapi sendiri pada jam berapapun. Makanannya juga sangat
kujaga, kujauhkan dari bahan laut yang menjadi alergennya. Demikian pula
kecukupan gizinya.
Walaupun tidak sekolah, setiap hari kulihat ia berusaha
belajar agar tidak ketinggalan. Teman-temannya dua kali menengok, namun saya
tidak ikut menemui menjaga privasi mereka.
Saya dan suami berdiskusi meraba-raba sebab sakitnya. Kami
menduga ini psikis karena seringkali serangan datang di pagi hari atau di malam
hari.
“Mungkin ia merasa ketinggalan banyak pelajaran jadi tertekan
dan merasa tidak sanggup mengejar lagi” demikian pendapat suamiku. Memang
praktis 6 minggu ia tidak bersekolah. Ia juga telah melewatkan masa midterm.
Sebagai anak yang biasa mendapat nilai bagus, mungkin itu pukulan berat
baginya. Kami menjanjikan untuk segera memindahkannya setelah penerimaan rapor
kenaikan kelas, jadi ia kami minta bersabar hingga satu bulan lagi.
Usaha kami secara medis dan psikis membawa hasil, anakku
berangsur membaik sehingga saat kontrol lagi, dokter mengatakan:
“Besok sekolah ya mas, kamu sudah sembuh...tapi selalu pakai
masker jika berkendara...Banyak berolah raga, jangan main game. Makannya juga
harus banyak biar tidak sekurus ini”
Anakku mengiyakan dan esoknya ia memang berangkat sekolah.
Itu hari Kamis. Hari Jumat ia mengatakan lemas dan tidak mau berangkat lagi.
Hari Sabtu juga tidak berangkat, padahal temannya sudah memesan agar ia datang
mengambil nomer pengenal ujian semester. Berhubung hari Senin ujian, maka
berangkatlah anakku dalam keadaan masih agak sesak.
Jam 09.00 saya mendapat telepon dari rumah. Dua gurunya
datang bertamu. Bergegas saya pulang
dari kantor dan mendapati ibu Wali kelas serta guru BP duduk di ruang
tamuku. Saya merasa sangat tidak enak.
Ternyata anakku tidak sampai di sekolah!
Seolah petir menyambar di siang bolong!!
Bahkan menurut laporan guru, sejak pulang umrah ia belum
pernah masuk sekolah.
Deg!
Seakan jantungku berhenti berdenyut.
Saya berusaha menjelaskan bahwa ia memang sakit, namun selalu
berusaha sekolah saat agak sehat, jadi sekitar 4 kali ia berangkat dan sering
pulang dalam keadaan kambuh. Versi bu guru, ia tak pernah masuk sekolah. Titik.
Bahkan berkembang isu tak sedap misalnya ia pergi ke game
online dan merokok. Haduh.
Sampai di sini, kira-kira bisa dibayangkan bagaimana wajahku,
hatiku, perasaanku.
Seumur-umur punya enam anak belum pernah mengalami kasus ini.
Kulihat betapa baiknya ia di tanah suci. Kulihat betapa menderitanya ia sesak
nafas dan bagaimana kami berusaha merawatnya. Bolak-balik antri di rumah sakit
hingga jauh malam. Kadang pamit kerja untuk datang ke sekolahnya. Namun kemana
ia selama ini jika beberapa kali mengaku berangkat sekolah?
Buntu.
Saya berusaha meneleponnya, hpnya mati. Jadi kutenangkan hati
dan meminta maaf. Saya berjanji esok pagi akan ke sekolah untuk menjelaskan
setelah bertanya pada anakku. Gurunya juga menjelaskan bahwa kemungkinan anakku
tidak akan naik kelas karena presensinya tidak memadai, ketuntasannya belum dan
tidak mengikuti mid. Sekarang juga terdiskualifikasi untuk ujian kenaikan
kelas. Yah, saya tak akan membantah. Gurunya juga menasehati agar kami tidak
terlalu sibuk hingga lalai mengawasi anak...
Duuh gusti, apakah memang benar demikian? Kami telah berusaha
melakukan yang terbaik. Bukankah hingga 8 minggu yang lalu ia masih menjadi
siswa kebanggaan sekolah. Mengapa bisa berbalik menjadi gosip bahwa anakku
adalah anak nakal tukang membolos, main game dan merokok.
Inikah ujianku ya Allah?
Saya yang seringkali berceramah tentang pendidikan anak, bahkan hingga ke banyak kota di Indonesia. Saya yang sering menerima konsultasi dan melakukan pendampingan anak-anak yang bermasalah...sekarang seperti dipurukkan pada situasi yang sebaliknya. Anakku sendiri menjadi kasusku!
Saya yang seringkali berceramah tentang pendidikan anak, bahkan hingga ke banyak kota di Indonesia. Saya yang sering menerima konsultasi dan melakukan pendampingan anak-anak yang bermasalah...sekarang seperti dipurukkan pada situasi yang sebaliknya. Anakku sendiri menjadi kasusku!
Bagaimana kenyataanya? Kemana anakku
selama ini saat ia pamit ke sekolah?
(bersambung
ke bag. 4)
Postingan
pertama di sini.
Postingan
kedua di situ.
Waaah... speechless :(
ReplyDeletemak Nia beginilh jatuh bangun bersama abg
Deletenunggu yang keempatnya :D
ReplyDeletesudah tayang mak
Deletejd penasaran :(
ReplyDeleteya mak ikuti ya
DeleteMasyaAllah... ikut merasakan kegelisahannya mba...
ReplyDeletemakasih Santi dewi
DeleteGleeeeek, kageeet dan ada apa gerangan?
ReplyDeleteSalam Mak Idaaa,
post 4 sudah mak
DeleteTanah nafas..nunggu lanjutannya...sabar ya mak...
ReplyDeletemakasih mak
Delete